Penulis: Nurul Khair (Ahlul Bait International University of Teheran, Iran)
“Jiwa merupakan kesempurnaan dan substansi pertama yang dimiliki oleh manusia. Aktualitasnya menentukan kebahagiaan individu di realitas”- Mulla Sadra.
Tulisan ini, merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Menelisik Kebahagiaan Insan dalam Wacana Filsafat Barat dan Islam: Kebahagiaan Menurut Filsuf Barat” untuk menyempurnakan dan mengkritik berbagai diskursus kebahagiaan dalam peradaban filsafat barat melalui pandangan Mulla Sadra, salah satu filsuf dan pemikir Muslim abad 16 dengan merujuk salah satu magnumopusnya, “al-Hikmah al-Mutāliyah fī al- Asfār al-Aqliyyah al-Arba’ah”. Dalam magnumopusnya yang berjudul, “al-Hikmah al-Mutāliyah fī al- Asfār al-Aqliyyah al-Arba’ah”, Mullā Ṣadrā menjelaskan bahwa manusia dapat mencapai kebahagiaan abadi melalui aktualitas jiwa. Aktualitas jiwa dalam pandangan Mullā Ṣadrā ialah proses keterlepasan keberadaannya dari tubuh menuju yang lebih sempurna. Keterlepasan jiwa terhadap tubuh menggambarkan keberadaannya yang bersifat mandiri dan tidak terikat oleh materi untuk memperoleh kesempurnaan yang transendental. Akan tetapi perlu diketahui bahwa keberadaan jasmani juga berfungsi sebagai wadah aktualitas bagi jiwa di realitas. Aktualitas jiwa dalam pandangan Mulla Sadra ialah proses keterlepasan eksistensi manusia pada entitas materi dengan melibatkan kesempurnaan akal sebagai fakultas tertinggi jiwa untuk mengetahui sesuatu bersifat hakiki dan non-hakiki di realitas. Kesempurnaan akal manusia untuk mengetahui sesuatu bersifat hakiki dan non-hakiki didasari oleh kemampuan menganalisis dan mengkaji seluruh keberadaan eksternal dengan melibatkan pancaindra.
Mulla Sadra menjelaskan bahwa pengetahuan awal manusia terhadap seluruh entitas diperoleh melalui persepsi pancaindra untuk menghasilkan gambaran partikular. Kemudian, gambaran partikular akan dianalisis oleh akal untuk memproduksi konsep-konsep universal yang mendeskripsikan korespondensi pengetahuan internal (akal) dan eksternal (pancaindrawi). Korespondensi antara pengetahuan internal dan eksternal merupakan cara memperoleh kebenaran dalam paradigma manusia, sehingga ia dapat mengetahui sesuatu sesuai dengan realitas. Mulla Sadra menjelaskan bahwa proses korespondensi antara pengetahuan internal dan eksternal didasari oleh wujud. Sebab, Mulla Sadra menyakini bahwa wujud ialah sesuatu prinsipilitas, sehingga keberadaan dan pengetahuan manusia bergantung pada wujud. Wujud dalam pandangan Mulla Sadra bukan sebatas pada materi, sebagaimana pemahaman para filsuf barat, akan tetapi wujud ialah bersifat universal berlaku pada setiap domain keberadaan manusia, sehingga setiap individu dapat memahami kesempurnaan eksistensi terjadi pada lingkup immateri dan materi. Implikasinya, manusia dapat memperoleh sebuah kesempurnaan bersifat holistik melalui aktualitas jiwa di realitas.
Kesempurnaan holistik dalam diri manusia menjelaskan bahwa jiwa memiliki ragam perjalanan yang bersifat bertingkat-tingkat untuk mengaktualkan dirinya di realitas. Perjalanan bertingkat-tingkat dialami oleh jiwa untuk mencapai aktualitas mendeskripsikan bahwa wujud atau eksistensi manusia bersifat gradasi. Mulla Sadra memandang bahwa terjadinya gradasi dalam wujud didasari oleh keunikan wujud untuk menyempurnakan ragam insan di realitas. Keunikan wujud untuk menyempurnakan ragam mahiyah berbeda dalam pandangan Ibn Sina menjelaskan bahwa wujud bersifat partikular, sehingga setiap entitas memiliki keberadaan lebih sempurna dan kurang sempurna. Perbedaan antara Ibn Sina dan Mulla Sadra, ialah wujud tidak bersifat plural dalam Hikmah Muta’aliyah, akan tetapi wujud memiliki ragam tingkatan untuk menyempurnakan jiwa sehingga setiap individu memiliki aktualitas jiwa berbeda-beda. Perbedaan aktualitas jiwa manusia didasari oleh kesempurnaan manusia untuk menganalisa objek realitas, sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan terhadap hakikat realitas.
Pengetahuan terhadap hakikat realitas akan mengaktualkan jiwa manusia untuk bergerak secara bebas menuju kesempurnaan melampai ragam materi di realitas. Pergerakan jiwa melampai materi mendeskripsikan proses transendental eksistensi manusia menuju wadah yang lebih tinggi untuk menyederhanakan keberadaannya di realitas. Kesederhanan keberadaan manusia bersifat transendental mengantar setiap individu untuk mengetahui entitas absolut sebagai sumber keberadaan dan kesempurnaan eksistensi di realitas. Pengetahuan manusia terhadap entitas absolut mendeskripsikan corak spiritual yang senantiasa mengalami kesempurnaan melampai keberadaan materi dengan melibatkan aktualitas jiwa sebagai proses mencapai kebahagiaan di realitas. Dengan demikian, diketahui bahwa kebahagiaan spiritual dalam pandangan Mulla Sadra bersifat holistik yang meliputi kebahagiaan teoritis dan praktis, sehingga setiap individu dapat mencapai kebahagiaan abadi yang tidak bergantung pada kebahagiaan materi yang bersifat parsial, sebagaimana penawaran para filsuf barat. Di satu sisi, kebahagiaan spiritual dalam kerangka pemikiran Mulla Sadra memberikan solusi dan cara pandang baru dalam wacana kebahagiaan filsafat.[]
Referensi:
Herwansyah, “Pemikiran Filsafat Ibn Sina: Filsafat Emanasi, Jiwa, dan Wujud.
Ibrahim Kalin, “Between Physics and Metaphysics: Mulla on Nature and Motion”.
Mulla Sadra, Al-Hikmatuh al-Mutālīyah fī al-asfār al-aqliyah al-arba’ah, jilid 1.
Sheikh, M, Seed. Islamic Philosophy.
Sayyed Muhammad Khamenei, Mulla Sadra’s Trancendent Philosophy.
Mullā Ṣadrā, al-Syawāhid al-Rubūbiyah fī al-Manāhij al-Sulūkīyah.
Andrew Copson & A.C. Grayling, The Wiley Blackwell Handbook of Humanism.
Fibriamayusi, Thomas Hobbes: Rasionalitas dan Konsepnya Tentang Manusia dan Kekuasaan Negara.
Daya Negri Wijaya, “Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan Jhon Locke”.
Donlad Palmer, Looking at Philosophy: The Unbearable heaviness of Philosophy Made Lighter.