spot_img

Cara Bijak Islam Menyikapi Perbedaan Pandangan

Perbedaan dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu yang niscaya. Bukan hanya dalam konteks negara dan bangsa dengan penduduk yang beragam, dalam ranah keluarga pun perbedaan pandangan tidak bisa dinafikan adanya. Seorang Ayah memiliki kebiasaan yang berbeda dengan seorang Ibu. Satu anak memiliki hobi yang tidak sama dengan anak yang lain. Pun, dalam ranah keyakinan dan agama, perbedaan pandangan adalah hal yang biasa. Itu karena, tidak semua sumber-sumber agama berbunyi secara spesifik menghukumi sesuatu, namun kadang bermakna umum, sehingga berpotensi ditafsirkan dengan beragam pandangan.

Islam mengajarkan cara-cara bijak di dalam menghadapi perbedaan yang dihadapi umatnya. Bahkan, saat Nabi Muhammad masih hidup saja, perbedaan itu sudah ada di kalangan para sahabat. Misalnya ketika dalam masa perjanjian Bani Quraizhah, di saat para sahabat hendak pergi ke perkampungan Bani Quraizhah guna memerangi orang-orang Yahudi yang berkhianat dengan perjanjian Islam. Saat itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar jangan sampai ke tempat tersebut sebelum sampai salat Ashar. Para sahabat berbeda pandangan menangkap apa yang dimaksud Rasulullah. Sebagian dari mereka salat Ashar di perjalanan, sebelum sampai perkampungan. Sementara sebagian yang lain salat Ashar di perkampungan Bank Quraizhah yang menjadi tujuan para sahabat.

Para sahabat kemudian mengadukan kepada Rasulullah terkait para sahabat yang berbeda pandangan memahami apa yang Nabi maksudkan. Nabi tidak sama sekali marah, apalagi mengatakan sebagian dari mereka kafir dan tidak taat syariat. Nabi justru tersenyum melihat apa yang dilakukan para sahabat memahami apa yang diri beliau sampaikan. Syaikh Mutawalli Al-Sya’rawi menyebut, meski apa yang disampaikan Nabi tidak mengandung pesan khusus, tetapi beliau sedang mengajarkan para sahabatnya untuk terbiasa dengan perbedaan pandangan. Hal itu niscaya karena cara pandang orang satu sama lain berbeda.

Ini berbeda dengan cara pandang kelompok intoleran, yang seringkali memahami perbedaan pandangan sebagai kesesatan dan bid’ah. Seolah, cara pandang di dunia ini hanya satu dan hanya benar apa yang ada pada diri mereka. Selainnya salah. Sementara di waktu yang lain enggan mau membangun dialog yang interaktif, sehingga kesalahpahaman seringkali terjadi. Padahal meskinya, adanya berbagai Mazhab dalam Islam yang masyhur diketahui umat Islam, cukup menjadi bukti bahwa perbedaan pandangan adalah suatu hal yang niscaya. Tak perlu diperdebatkan sampai keluar keringat dingin. Bila para ulama berbeda pandangan sudah biasa, mengapa kita harus ribut dan saling lempar kebencian.

Allah SWT banyak memberikan pesan penting terkait keniscayaan perbedaan dalam Islam. Misalnya dalam QS. Al-Maidah ayat 48, Ia berfirman yang artinya, “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.”

Ayat ini betapa terang memberi informasi bahwa setiap umat telah diberikan oleh Allah syariat dalam bentuk yang berbeda-beda. Allah tidak sekali-kali akan menyamakan persepsi dan pandangan semua orang terhadap suatu hal, termasuk cara pandang beragama. Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menyebut, Allah akan menetapkan syariat yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, tujuannya agar Dia bisa menguji semua manusia di balik perbedaan syariat tersebut. Tidak berbeda dengan Az-Zuhaili, Imam As-Sa’di menyebut, Allah menjadikan syariat bagi umat manusia secara dinamis dari waktu ke waktu. Ini karena dunia terus mengalami perubahan, sehingga syariat pun bersifat dinamis, sesuai dengan kebutuhan umat manusia pada masanya.

Yang juga penting, dalam ajaran Islam, untuk menyikapi perbedaan pandangan adalah dengan melalui dialog. Nabi Muhammad saat di Madinah selalu berdialog baik dengan para sahabatnya atau dengan umat beragama lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Beliau mendialogkan masalah-masalah kenegaraan, bahkan sampai masalah agama. Nabi meskipun memimpin, tidak memaksakan apa yang diyakininya untuk diterima oleh orang-orang non Islam. Sebaliknya, Islam melarang umatnya menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi perbedaan, baik kekerasan verbal maupun tindakan. Sebagai agama yang mulia, semua ajarannya bersifat mulia, tidak merendahkan pemeluk agama-agama yang lain. Wallahu A’lam.[]

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles