Penulis: Nurul Khair, MA (Ahlulait International University of Tehran, Iran).
Wacana kebahagiaan merupakan salah satu isu yang masih diperbincangkan dalam peradaban kehidupan manusia yang dilatarbelakangi oleh harapan, keinginan, dan tujuan untuk memaknai hidup yang lebih baik di realitas. Dalam peradaban filsafat Barat, problem kebahagiaan dikaji dan ditelaah melalui pendekatan materialisme yang dipahami sebagai sesuatu yang tampak atau sesuatu yang bersifat kebendaan. Menurut para filsuf barat, seperti Karl Marx dan David Hume keberadaan materi merupakan kesadaran pertama yang dimiliki oleh manusia untuk mengalami kenikmatan dan kepuasan dalam hidupnya. Kepuasan dan kenikmatan yang dialami oleh setiap individu mendeskripsikan materi sebagai sumber kebahagiaan individu. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa materi tidak selamanya memberikan kenikmatan dan kepuasan untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dalam beberapa kasus, seperti kasus Boris Berezovsky, seorang miliader asal Rusia, dikenal juga sebagai orang terdekat Presiden Vladimir Putin, ditemukan gantung diri di Ascot, Berkshire. Rekan-rekannya menduga ia depresi, karena kalah dalam investasi klub bola yang dimiliki, hingga kehilangan banyak uang.
Kasus Boris Berezovsky menjelaskan bahwa materi tidak mengantarkan manusia pada kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya, materi mengantarkan setiap individu pada perasaan tidak puas untuk terus memiliki segala sesuatu di realitas. Thomas Hobbes menganalogikan manusia ibarat jam tangan yang bergerak secara mekanistik untuk memuaskan kepentingannya sendiri, yaitu untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri dalam mencari kenikmatan. Gerak mekanistik dalam keberadaan manusia didasari oleh hasratnya yang dipandang sebagai substansi inti, sehingga segala perbuatan dan tindakan manusia didasari oleh hasrat. Menurut Thomas Hobbes, hasrat membimbing manusia untuk mencari dan menemukan kenikmatan dan kepuasan dalam diri individu, sebagaimana manusia modern memandang kebahagiaan dirinya dapat dicapai melalui kekuatan materi-materi di realitas. Jika setiap individu bergerak berdasarkan keinginan hasratnya, maka meniscayakan sistem persaingan bebas yang didasari oleh ego. Artinya, setiap manusia akan bergerak memenuhi kepuasan materi untuk dirinya sendiri dan mengabaikan kebutuhan individu lain. Akibatnya, sebagian individu akan merasakan penderitaan sebagai dampak persaingan bebas di realitas. Implikasinya, kebahagiaan yang berlandaskan pada materi tidak mengantarkan kebahagiaan holistik dalam kehidupan manusia.
Lebih lanjut, konsep kebahagiaan dalam peradaban filsafat berarti tidak sekadar menjelaskan kebahagiaan manusia harus bersandar pada materi, akan tetapi juga berlandaskan pada kehendak bebas. Menurut Friedrich Nietzshe dalam karyanya berjudul Human All too Human menjelaskan kehendak bebas merupakan cita-cita bagi setiap manusia dalam hidupnya. Secara eksistensi, manusia dapat menentukan arah hidupnya untuk mencapai sebuah kesempurnaan dan kebahagiaan di realitas, sebagaimana tujuan pokoknya. Pandangan kebebasan manusia juga dipertegas Friedrich Nietzsche dalam karyanya Thus Spake Zarathustra bahwa manusia merindukan sebuah kebebasan dalam dirinya. Sebuah kebebasan akan mengantarkan manusia menuju kebenaran eksistensi. Friedrich Nietzsche berusaha mendeskripsikan kebebasan manusia merupakan tujuan utama kehidupan manusia dengan melibatkan kekuatan berpikir dan bertindak.
Penjelasan Friedrich Nietzsche pun dipertegas oleh Heidegger dalam karyanya Being and Time menjelaskan manusia memiliki struktur kualifikasi, yaitu ruang dan waktu. Setiap manusia memiliki struktur kualifikasi yang sama, baik nabi, penjahat, filsuf, dan ulama. Akan tetapi, proses mengaktualkan struktur kualifikasi melalui berbagai kemungkinan merupakan sesuatu yang berbeda. Manusia harus membuka diri dan berinteraksi secara bebas bersama realitas. Manusia dapat mencapai nilai-nilai kebahagiaan melalui kehendak bebas. Kehendak bebas mengimplikasikan kuatnya eksistensi manusia di realitas. Semakin manusia berkehendak secara bebas, semakin kuat eksistensi dirinya.
Berdasarkan ragam wacana kebahagiaan filsafat barat, dapat diketahui bahwa kebebasan bertindak dan hasrat merupakan indikator utama untuk mencapai sebuah kebahagiaan dalam keberadaan manusia. Manusia yang tidak bergerak secara bebas berdasarkan kehendaknya dipandang sebagai entitas yang tidak bahagia di realitas. Kebebasan berkehendak dalam pandangan filsuf barat menitikberatkan urgensi hasrat sebagai identitas inti manusia di realitas. Nafsu mengarahkan manusia untuk bergerak berdasarkan kemauan yang diinginkan dan tidak akan melakukan suatu tindakan yang tidak disukainya. Eksistensi manusia yang dipengaruhi oleh hasrat tidak jauh berbeda dengan hewan berkehendak berlandaskan kemauannya, sehingga eksistensi manusia dalam peradaban barat tidak mendeskripsikan kedudukan individu sebagai manusia, melainkan memposisikan eksistensi manusia seperti hewan yang bergerak berdasarkan hasrat. Implikasinya, eksistensi manusia mengalami degradasi yang mendeskripsikan tidak terciptanya kesempurnaan tertinggi sebagai syarat memperoleh sebuah kebahagiaan di realitas. Dengan demikian, dipahami bahwa konsep kebahagiaan dalam peradaban filsafat Barat dari masa klasik hingga modern tidak mengantarkan manusia pada proses kebahagiaan hakiki.[]