Fiqih merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki kedudukan sangat penting. Hampir setiap waktu dan tempat, kehidupan seorang Muslim selalu bersinggungan dengan fiqih. Saat di rumah, di perjalanan, bahkan, saat di tengah hutan rimba sekalipun, fiqih tidak pernah absen. Pendek kata, fiqih sudah menjadi bagian tubuh dalam diri seorang Muslim.
Dalam fiqih, dikenal empat madzhab yang secara resmi digunakan Muslim dunia dalam mengambil hukum-hukum Islam, yaitu Madzhab Hambali, Maliki, Syafi’i, dan Hanafi. Adanya empat madzhab besar itu tidak menghindarkan munculnya perbedaan pendapat. Namun, kendati berbeda, tiap-tiap imam madzhab memiliki kuadlifikasi pengambilan hukum dari sumber-sumber representatif.
Bermadzhab adalah sebuah keharusan. Tetapi, jangan sampai berpegang pada salah satu madzhab fiqih, lantas, membuat seseorang jumud dan -lebih jauh lagi- tidak mengakui dan mengutuk pendapat-pendapat di luar madzhabnya. Untuk itu, mengetahui perbedaan sekaligus mengetahui semua dasar perbedaan itu menjadi sangat perlu. Dengan demikian, perbedaan adalah sebuah khazanah, bukan masalah.
Kiranya penting bagi kita untuk mengetahui karya monumental ulama besar Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Rusyd. Ia menulis sebuah kitab perbandingan madzhab fiqih sangat populer, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Sekilas Tentang Ibnu Rusyd
Tentang siapa Ibnu Rusyd, penulis kira sudah banyak dituliskan dalam berbagai media. Tetapi, tidak salah kiranya disampaikan saja secara singkat sosok ulama ensiklopedis itu.
Ibnu Rusyd merupakan penduduk Kordoba dan seorang qadhi. Dari ayahnya, Ibnu Rusyd meriwayatkan dan berhasil manghafal al-Muwaththa’, kitab pegangan utama pengikut madzhab Maliki. Ia belajar fiqih kepada Abu al-Qasim bin Saykuwal, Abu Marwan bin Masarrah, Abu Bakar bin Samhun, Abu Ja’far bin Abdul Aziz, dan Abu Abdillah al-Maziri. Ia juga belajar kedokteran kepada Abu Marwan bin Juzaiwal.
Ibnu Rusyd berhasil menguasai fiqih, filsafat, dan kedokteran. Dalam usia kurang dari 53 tahun, ia telah memegang supermasi kehakiman di Andalusia maupun Maroko. Ibnu Rusyd meninggalkan karya-karya ilmiah yang sangat berguna, antara lain Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Pada zamannya, kitab ini memiliki pengaruh besar.
Ibnu Rusyd memiliki kedudukan terhormat di kalangan para penguasa, tapi kedudukan ini tidak dimanfaatkannya untuk mencari jabatan ataupun menghimpun kekayaan. Kendati begitu tersohor, Ibnu Rusyd tetap sebagai sosok yang rendah hati. Ia wafat pada 595 H dan lahir pada 520 H, satu bulan sebelum wafatnya sang kakek, al-Qadhi Abu al-Walid Ibnu Rusyd.
Tentang Bidayatul Mujtahid
Bidayatul Mujtahid merupakan salah satu kitab terpenting karya Ibnu Rusyd yang sampai kepada kita. Sejumlah ulama kontemporer menggambarkan kualifikasi Ibnu Rusyd melalui karyanya ini. Ibnu Rusyd tidak mendalami ilmu tentang persoalan khilafiyah untuk mendukung madzhab tertentu sekaligus menurunkan madzhab lain, tetapi dia mendalaminya untuk membandingkan madzhab-madzhab dan menunjukkan titik-titik perbedaan dari segi maknanya.
Ibnu Rusyd dianggap sebagai pelopor Fiqih Perbandingan dan orang terdepan di antara penekun bidang ini.
Karena objektifitasnya dalam menjelaskan perbedaan madzhab fiqih, sampai-sampai kadang Ibnu Rusyd mendukung pendapat ganjil dengan menomorduakan pendapat mayoritas ulama. Penilaian Ibnu Rusyd adalah bertumpu pada sejauhmana kekuatan sebuah dalil, kendati tidak dipakai mayoritas ulama. Klasifikasi Ibnu Rusyd dalam kitabnya pun terbilang unik, dalam bab-bab ibadah, ia memasukan pembahasan yang tidak dilakukan ulama fiqih kebanyakan, seperti Sumpah, Nazar, Kurban, Sesembelihan, Buruan, dan akikah.
Ringkasan Bidayatul Mujtahid
Kitab fenomenal Bidayatul Mujtahid itu kemudian diringkas oleh Dr. Jasser Auda. Selain menyarikan seluruh pembahasan di dalamnya, di beberapa tempat, ia juga menyelipkan pendapat pribadinya. Ini merupakan tradisi baik dalam khazanah keilmuan Islam, dan sudah dipraktikkan oleh para cerdik pandai (ulama) terdahulu.
Meski cukup ringkas, Dr. Jasser Auda tidak luput untuk mencantumkan alasan atas pendapatnya, maksud, ataupun sanadnya, agar pembaca khulashah (ringkasan) ini dapat lebih paham. Upaya Dr. Jasser Auda dalam menyusun ringkasan ini layak diapresiasi. Ia menyertakan tambahan-tambahan yang, biasanya, berfokus pada penjelasan maksud, tarjih, atau kritik suatu pendapat.
Di banyak tempat, Dr. Jasser Auda lebih mengedepankan perujukan ‘urf (adat) untuk memahami hukum syari’at. Dalam syari’at, ‘urf cukup memiliki peran. ‘Urf dipertimbangkan ketia tidak ada nash atau untuk menafsirkan nash serta membatasi maknanya, dan lain-lain sebagaimana ditetapkan dalam ushul fiqih.
Namun, beberapa persoalan yang dikembalikan kepada ‘urf oleh Dr. Jasser tidak lagi mengandung kemungkinan ra’yu (rasio) menjadi dasar fiqih, melainkan harus merujuk pada dokter pakar. Seperti dalam persoalan cacat yang bisa menimbulkan hak pembatalan akad nikah, baik dari pihak istri atau suami. Derita cacat itu bisa dikatakan mampu menimbulkan hak pembatalan akad nikah, jika menurut dokter pakar tersebut cacat tidak bisa disembuhkan lagi. Fakta sekarang, sudah semakin banyak cacat yang bisa disembuhkan.
Rasanya, tulisan yang singkat ini, tidak mungkin menguraikan lebih detail ringkasan Bidayatul Mujtahid oleh Dr. Jasser Auda tersebut. Namun, pada intinya, karya yang merupakan ringkasan dari Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd ini sangat perlu kita kaji. Tujuannya, memperkaya khazanah fiqih sekaligus khilafiyah-khilafiyah beserta dalilnya. Dengan demikian, kita mampu memahami ragam pendapat dalam fiqih dan lebih bijak lagi menyikapi perbedaan.
Identitas buku:
Judul: Ringkasan Bidayatul Mujtahid
Penulis: Dr. Jasser Auda
Penerjemah: Kaserun Hidayatullah Subagyo
Penerbit: PT Qaf Media Kreativa
Cetakan: I, Maret 2019
Tebal: 594 halaman
ISBN: 978-602-5547-37-9
Peresensi adalah Muhamad Abror, Mahasantri Mahad Aly Saiidusshiddiqiyah Jakarta