Duar! Duar!
Suara petasan silih berganti. Seolah tak membiarkan malam ini terlarut dalam tenang dan hening. Suara takbir, taluhan bedug, juga tak kalah memeriahkan suasana lebaran iedul fitri saat itu. Dari tadi siang ibuku sudah sibuk di dapur memasak berbagai menu lebaran mulai dari opor ayam, ketupat, sambal goreng ati, hingga kerupuk yang lengkap dengan bawang goreng juga.
Aneka kue kering seperti nastar, kastangel hingga coklat sudah tertata rapi di meja tamu. Bahkan bunga sedap malam pun tak ketinggalan ikut memeriahkan dengan semerbak wanginya. Ayahku biasanya sibuk di masjid. Selain menjadi panitia zakat fitrah, ayah biasanya juga ikut takbiran dengan bapak-bapak lain. Adapun dua adik laki-lakiku, biasanya mereka suka konvoi takbiran bersama teman-temannya.
Sedangkan aku hanya di kamar, menikmati duniaku sendiri. Diantara adik-adikku, aku paling suka mengurung diri di kamar. Hanyut dalam bacaan-bacaan puisi Chairil Anwar. Meskipun suara sekitarku bising, entah mengapa dalam duniaku teramat sunyi dan tenang.
“Kakak, makan ketupat opor lagi yuk”, ibuku berteriak memanggilku dari ruang makan. Seperti biasa, disaat begini biasanya hanya ibu yang selalu menyadarkanku dari duniaku.
“Iya bu, sebentar”, tak lama kemudian aku pun keluar kamar menghampiri ibuku.
“Sayang, ngapain aja sih di kamar? Gak bosen?”, ibu selalu saja menanyakan hal yang sama jika atu terlalu betah di kamar.
“Enggak, aku kan baca buku”.
“Oh iya, baju-baju kakak udah di packing? Besok habis Shalat Ied kita berangkat mudik loh”.
“Udah kok bu, baju ibu pun udah kakak siapin”.
“Oh ya? Makasih sayang, tau aja ibu belum sempet siapin baju. Ibu mau cek barang-barang ibu dulu ya”, ibu berlalu sambil mencium keningku.
Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan haru dan masih ingin mengobrol dengan ibu rasanya.Tidak lama kemudiam adik-adikku yang masih berumur 7 tahun dan 10 tahun pulang dengan heboh dan gaduh.
“Asalamualaikum!”, ucap mereka secara serentak. Mereka pulang dengan baju basah berkeringat sambil ngos-ngosan.
“Aduh aku capek banget nih kak gara-gara Kakak Ardi jalannya cepet-cepet banget”, Aldo, adikku yang paling kecil mengadu padaku yang masih asik makan ketupat opor buatan ibu.
“Ih justru kamu yang jalannya lama banget. Kalau gak cepet-cepet nanti kan kita ketinggalan rombongan takbiran”, seperti biasa, Ardi adikku yang paling besar akan membela diri jika adik bungsuku mengadu padaku.
“Ya sudah, kalian berdua ganti baju dulu sana. Abis itu kita makan ketupat opor bareng”, ucapku sambil tersenyum melihat kelucuan mereka berdua.
“Oke kakak!”, ucap mereka secara kompak.
Meskipun bukan anak kembar, mereka selalu kompak dalam segala hal. Meskipun terkadang ada saja keributan yang mereka lakukan, tapi pada akhirnya mereka akan saling mencari jika salah satunya tidak di tempat. Aku benar-benar merindukan Ardi dan Aldo. Seandainya saja saat ini mereka ada di hadapanku, pasti sudah ribut dan berdebat tentang segala hal dan aku hanya tersenyum melihat kelucuan mereka.
Keesokan harinya, jam tujuh pagi kami sekeluarga sudah di lapangan masjid dekat rumahku. Entah mengapa meski masjid kosong, para warga memilih melakukan Shalat Ied di lapangan. Seperti biasanya, setelah Shalat Ied usai kami pulang sambil bersalam-salaman dengan warga sekitar. Saling meminta maaf untuk kesalahan di hari kemarin dan memulai lembaran baru yang lebih baik.
Setibanya di rumah, sebelum melakukan makan bersama, aku dan adik-adikku selalu sungkem meminta maaf kepada ayah dan ibu lalu bergantian maaf-memaafkan antara aku dan adik-adikku. Setelahnya biasanya ibu akan mengeluarkan menu lebaran yang ia masak dari kemarin siang. Inilah momen yang paling kusukai lebaran bersama dengan keluargaku. Kebersamaan, dan tentunya bersama ketupat opor ayah ibu.
Memasuki tahun keenam, kelihatannya aku masih harus bersabar bertugas di negara orang. Lebaran tahun ini jatuh di Bulan Mei, bertepatan dengan Musim Semi di Wageningen. Melihat banyak keluarga berkumpul dan piknik di taman kota membuatku semakin rindu berlebaran bersama keluargaku.
Tamat.
Penulis: Nur Lintang (Mahasiswi Universitas Indonesia).