spot_img

Jihad, Khilafah dan Terorisme

Ilustrasi: liputan6
Isu sensitif dalam agama Islam salah satunya adalah persoalan jihad. Jihad menjadi sorotan kajian baik di dunia Timur maupun Barat. Hal ini sebab jihad merupakan tindakan mulia bagi seorang Muslim. Siapa saja yang berjihad akan mendapatkan posisi mulia di sisi Allah Swt. Sebaliknya, siapa meninggalkannya, sementara Negara membutuhkannya, maka dianggap berdosa.
Sayangnya, jihad yang dasarnya memiliki jangkauan luas dalam berbagai bidang, dimaknai oleh sebagian kelompok Islam sebagai pembunuhan kepada orang-orang non Islam. Jihad yang berakar dari kata “ja-ha-da“, yang makna dasarnya adalah bersungguh-sungguh, memiliki cakupan makna yang luas, seperti sungguh-sungguh dalam membangun ketangguhan umat dari sisi ekonomi atau politik, sungguh-sungguh dalam beribadah, dan sungguh-sungguh dalam hal-hal positif lainnya, yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Karena jihad selalu dimaknai oleh sebagian kelompok Islam sebagai peperangan melawan non Islam, jihad kerapkali diimplementasikan dalam bentuk pembunuhan terhadap siapapun yang tidak sepaham dan ikut kepada pemerintah yang diklaim enggan berhukum dengan hukum Allah. Pemaknaan jihad ekslusif ini diaktualisasikan dengan bom bunuh diri, seperti misalnya bom Bali I, bom Bali II, bom Kampung Melayu, bom Gereja Surabaya, dan banyak selainnya, yang justru membunuh orang-orang tak berdosa.
Selain dimaknai sebagai pembunuhan dan peperangan kepada non Islam, jihad juga dimaknai sebagian kelompok fundamentalisme dengan cita-cita mendirikan negara Islam atau khilafah islamiyah. Hizbut Tahrir (eks Ormas HTI jika di Indonesia) misalnya, memaknai jihad – selain peperangan melawan orang kafir – juga sebagai tindakan yang sungguh-sungguh dalam mengkampanyekan dan mendirikan Negara khilafah islamiyah.
Pemaknaan jihad yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir dengan maksud memperjuangkan khilafah islamiyah tentu saja bertentangan dengan makna dasar jihad sebagai kesungguh-sungguhan dalam hal yang positif dan maslahat bagi umat manusia. Sementara HT dalam cita-cita khilafahnya, tidak jarang melakukan aksi-aksi kekerasan. Meskipun kerapkali tidak diakui oleh kelompok tersebut.
Dina Y Sulaemah, menyatakan, kekerasan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dalam perjuangan mendirikan khilafah islamiyah tidak dapat ditutup-tutupi. Seperti misalnya, Hafidz Abdurrahman, eks-DPP HTI, pernah menyerukan untuk melumpuhkan dan membunuh Rezim Bashar Ashad guna mendirikan negara khilafah secara cepat di Suriah. Selain itu, Ismail Yusanto, eks-Jubir HTI, pernah menyerukan agar jajaran pemerintah Indonesia dan Polri menyerahkan kekuasaan kepada Hizbut Tahrir.
Selain itu, dilihat dari jejaring kelompok yang lain, HTI juga memiliki keterikatan dengan kelompok-kelompok teroris. Jabhat An-Nushrah misalnya, kelompok yang disebut oleh counterextimisme.com sebagai kelompok teror dan brutal, didirikan oleh Mus’ab Al-Zarqawi yang merupakan mantan Hizbut Tahrir. Selain itu, kelompok Al-Muhajirin, sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas 50% aksi teror di Inggris sejak 1995, didirikan oleh Omar Bakri Muhammad yang juga merupakan mantan Hizbut Tahrir.
Dari kenyataan di atas dapat dibaca bahwa perjuangan khilafah yang dilakukan sekelompok umat Islam seperti HT bukan sebagai bentuk jihad. Jihad, tidak lain, adalah kesungguh-sungguhan untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat, bukan membuat kekerasan atau kegaduhan. Selain itu, fakta poraporanda di belahan negara-negara Islam seperti Suriah, Afghanistan, dan lainnya, yang disebabkan oleh cita-cita khilafah kelompok ISIS, juga menguatkan bahwa perjuangan khilafah bukanlah ajaran jihad, namun murni sebagai terorisme.
Terorisme sendiri merupakan perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menimbulkan rasa takut secara luas, dapat merusak fasilitas-fasilitas publik, dan bersifat masal. Disadari atau tidak, perilaku dan cita-cita mendirikan negara khilafah islamiyah bukan memberikan kebaikan bagi umat Islam, akan tetapi hanya membuat ketakutan dan rasa cemas umat manusia. Sehingga, tindakan demikian tidak pantas dikatakan sebagai perilaku jihad, namun justru bersifat teror.
Menurut Musthofa Al-Maraghi dalam tafsirnya, jihad dalam bentuk peperangan memang dapat saja dilakukan kembali di masa modern, namun hanya manakala orang Islam dicegah untuk beribadah dan atau disakiti secarsa fisik secara terus-menerus karena mempertahankan agamanya. Di lain hal itu, jihad dapat dimaknai secara kontekstual. Jihad dapat dimaknai kesungguhan dalam bekerja, belajar, berpolitik, berbudaya, beragama dan sebagainya, selagi dalam rangka memberikan kemaslahatan untuk umat secara luas.
Penulis: Tim Redaksi. 
Tulisan asli dimuat di www.fkmthi.com.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles