Islam adalah agama yang rahmah, mengedepankan kasih sayang. Terbukti, dalam beberapa proses penetapan hukum suatu ibadah, Islam tidak terkesan membebani di atas kemampuan manusia. Hal ini yang membuat Islam mudah diterima dan tidak memberatkan.
Di antaranya adalah dalam pensyariatan kewajiban puasa Ramadhan. Pada awalnya, puasa Ramadhan tidak dilakukan seperti yang kita lakukan sekarang. Tapi ada proses yang orientasinya adalah meringankan umat nabi Muhammad Saw.
Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hikmah besar dari adanya proses pensyariatan puasa secara bertahap adalah untuk meringankan. Sebagai ibadah yang melibatkan kekuatan fisik dan ketabahan batin, tentunya tidak bisa serta merta diterapkan sekaligus, Islam menyadari akan hal itu. Ada tiga tahap dalam proses pejawiban puasa. Berikut kami jelaskan.
Tahap pertama,
Pada tahap ini kewajiban puasa bersifat opsional. Artinya siapapun, berhak memilih antara puasa dan tidak. Hanya saja bagi yang memilih tidak berpuasa berkewajiban untuk membayar fidyah. Hal ini dijelaskan dalam Al Quran surat Al Baqarah: 184,
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 184)
Menurut sebagian ulama, maksud ayat di atas adalah adanya kewajiban opsional bagi umat Islam untuk memilih antara puasa atau tidak. Bagi yang memilih untuk tidak berpuasa maka wajib bayar fidyah (memberi makan orang miskin).
Mengingat puasa adalah ibadah yang berat, maka pada tahap pertama ini kewajibannya hanya bersifat opsional. Puasa silahkan, tidak juga boleh. Tapi tetap bayar fidyah bagi yang tidak puasa
Tahap kedua,
Pada tahap kedua ini puasa bukan lagi sebagai kewajiban opsional. Tetapi mulai diberlakukan sebagai kewajiban yang otoritatif (mu’ayyaan). Mengingat umat Islam sudah terbiasa dengan ibadah puasa. Artinya siapapun yang sudah memenuhi syarat dan tidak ada uzur (halangan) wajib untuk berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam Al Quran surat Al Baqarah: 185,
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
Hanya saja ketenuan waktunya adalah berpuasa ketika sudah memasuki waktu Isya hingga magrib tiba. Akan tetapi hal ini terasa memberatkan bagi umat Islam. Andai saja belum sempat makan pada waktu antara magrib dan isya, maka harus tetap berpuasa sampai megrib berikutnya tiba.
Pada suatu hari ada salah satu Sahabat nabi bernama Qais bin Shirmah al-Anshari. Tertidur ketika waktu antara magrib dan isya, belum sempat berbuka. Hingga akhirnya bangun sudah lewat isya, mau tidak mau harus berpuasa sampai magrib berikutnya. Tapi pas siang hari ia jatuh pinsan karena tubuh letih.
Akhirnya Qaispun mengadukan hal ini kepada Rasulullah. Lalu turunlah ayat al Quran surat Al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan bahwa pada waktu malam boleh makan, minum dan melakukan hubungan suami istri. Sehingga waktu puasa dimulai sejak imsak sampai magrib seperti sekarang.
Artinya:
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Tahap Ketiga,
Pada tahap ketiga ini adalah tahap terakhir. Artinya tahap ini sudah final. Ketentuan puasanya adalah seperti yang kita lakukan sekarang. Sahur sebelum ismsak dan berbuka ketika sudah magrib. Tahap terakhir ini dimulai sejak turun surat Al-Baqarah ayat 187 di atas.
Demikianlah kiranya bagaimana Islam menetapkan syariat puasa. Adanya proses itu sudah menggambarkan betapa Islam adalah agama yang rahmah, penuh kasih sayang. Dari hikmah agung itu, semoga di bulan mulia ini kita tetap menampilkan Islam dengan wajah welas asihnya. Tetap menebarkan kasih sayang antar sesama. Wallhu a’lam.
Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Sa’idushidiqiyah Jakarta).