Al-Qur’an merupakan kitab pedoman yang berisi pelajaran untuk mengatur kehidupan umat manusia, salah satunya pergaulan antara sesama manusia di dunia. Salah satu pelajaran dan pedoman penting dalam Al-Qur’an adalah mengenai aturan dan praktik berhijab.
Dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 59 disebutkan:
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam konteks masyarakat modern, hijab lebih dipahami sebagai bagian dari cara berpakaian, bahkan sebagian individu memahami hijab sebagai mode atau fashion dalam mempercantik diri. Hal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan industri untuk memproduksi kreasi dan gaya hijab melalui penyiaran iklan, melibatkan media TV maupun online, dengan memperlihatkan sisi kecantikan praktik hijab, demi meraup suatu keuntungan.
Hal ini pun dapat mempengaruhi pandangan masyarakat modern untuk mempraktikan hijab. Akan tetapi, tidak digunakan sebagaimana mestinya, di mana hijab digunakan untuk membatasi pandangan laki-laki dan perempuan sebagai sumber hawa nafsu dalam diri manusia.
Dalam potongan QS. An-Nûr [24]: 31, Allah menegaskan:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dari potongan ayat ini, tentu paradigma hijab yang dipahami sebagai mode atau fashion telah mendistorsi makna dan kedudukan praktik hijab sebagai salah satu pedoman atau pelajaran hidup di dunia. Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis ingin menjelaskan kembali makna hijab dan alasan praktik hijab sebagai salah satu pedoman dan pelajaran dalam kehidupan umat Muslim melalui pandangan Murtadha Mutahhari.
On the Islamic Hijab merupakan salah satu karya Murtadha Mutahhari yang dikutip langsung untuk mengetahui kedudukan hijab secara filosofis. Kedudukan hijab dalam pandangan Murtadha Muthahhari, dimulai dengan mendefinisikan hijab, yaitu sebagai pembatas yang diambil dari makna etimologi, yaitu حجاب yang berarti dinding pembatas. Ia juga meminjam definisi dari pandangan Ibn Khaldun dalam karyanya yang berjudul Al-Muqadimmah menggunakan kata hijab sebagai jarak dan pemisah antara masyarakat dan pemerintah.
Sampai di sini, kita dapat memahami bahwa hijab secara etimologi, berarti dinding batasan yang memisahkan antara kedua keberadaan.
Dari penjelasan etimologi, Murtadha Muthahhari mengutip potongan QS. An-Nûr [24]: 31, yaitu َقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ untuk membatasi pandangan pria dan wanita merupakan dua keberadaan yang berbeda secara jenis, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pandangan adalah jembatan untuk memantik pergerakan hawa nafsu, sehingga pada dasarnya hijab dalam penafsiran Murtadha Muthahhari.
Dalam potongan QS. An-Nûr [24]: 31, menurut Muthahhari ialah membatasi hawa nafsu untuk menghidari perempuan dari tindak dan perbuatan yang merugikan eksistensinya. Di sini, kita dapat memahami bahwa peran utama hijab dalam pandangan Murtadha Muthahhari ialah membatasi hawa nafsu antara laki-laki dan perempuan di tengah pergaulannya.
Di satu sisi, menjadi catatan penting juga bahwa Murtadha Mutahhari menambahkan bahwa praktik hijab dalam etika berpakaian, merupakan sebuah jalan untuk mengaktualkan hijab dalam hawa nafsu manusia, sebagaimana dikutip melalui QS. Al-Ahzâb [33]: 59, yang berbunyi:
Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Melalui QS. al-Ahzab [33]: 59, Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa pemantik utama membatasi hawa nafsu manusia ialah perintah penggunaan hijab atau jilbab dalam etika berpakaian. Tentu, jilbab atau hijab yang dipraktikan tidak seperti dalam konteks modern, melainkan sebagai pembatas pandangan jasmani agar perempuan terhindari dari gangguan laki-laki yang akan mengarahkan dirinya pada sebuah kerugian.
Dengan memahami konsep hijab menurut Murtadha Muthahhari, kita dapat mengetahui bahwa hijab secara fungsi memiliki dua praktik, yaitu hijab materi yang bertujuan untuk membatasi pandangan kaum laki-laki kepada wanita dan hijab immateri yang bertujuan untuk membatasi hawa nafsu manusia, sebab hawa nafsu sebagai objek pembatasan hijab tidak bersifat material melainkan immaterial. Keduanya, yaitu hijab materi dan immateri, mendeskripsikan kedudukan hijab untuk membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa hijab dalam pandangan Murtadha Muthahhari bermaksud berusaha mengembalikan makna dan kedudukan hijab dalam pergaulan umat Muslim di era modern yang senantiasa menjaga jarak satu sama lain. Sebagaimana perintah-Nya yang termuat dalam Al-Qur’an, yang menjadi pedoman dan berisi pelajaran bagi kehidupan manusia di sepanjang zaman.
Sumber :
1. Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya. Surabaya: Halim Publishing dan Distributhing, 2013.
2. Ade Nur Istiani, Konstruksi Hijab Fashion bagi Moslem Fashion Blogger, Lampung: Universitas Lampung, 2015.
3. Murtadha Mutahhari. On the Islamic Hijab.
Penulis: Nurul Khair, (Mahasiswa Magister Ahlul Bait University, Tehran).