Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia yaitu, agama yang suci selalu dijadikan sebagai senjata ampuh untuk merubah sistem berpolitik dan sosial. Agama dijadikan sebagai manifestasi dalam kebebasan ekspresi, sehingga bermunculan kelompok dengan karakter yang berbeda-beda. Kelompok-kelompok tersebut pada dasarnya mengikuti ajaran Islam dan mempercayai Al-Quran serta Hadits.
Namun, mereka mempunyai metode yang berbeda untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dikembalikan kepada agama, bahkan ada yang berbentuk kekerasan dan tawuran sekalipun, atau sering disebut dengan cara yang radikal serta berujung pada tindakan terorisme.
Terjadinya radikalisme, karena pemahaman agama yang terlalu tekstual terkait keadilan. Mereka tidak membuka mata terhadap pandangan yang lain atau terlalu berfokus hanya pada teks saja. Mereka tidak menafsirkan kandungan makna dari setiap kata yang ada dalam Al-Quran dan Hadits.
Selain itu, mereka menelan mentah-mentah tanpa dibarengi dengan fikiran yang kritis. Bagi mereka, yang bertentangan dengan teks Al-Quran dan Hadist itu sesat dan haruslah di musnahkan. Tanpa berfikir panjang, fikiran merekalah yang salah, mereka tidak menafsirkan setiap arti yang dimaksud di dalamnya.
Tidak sedikit yang terjadi kesalahpahaman dalam setiap arti yang ada di dalam ayat-ayat Al-Quran. Salah satu contoh dari kesalahpahaman tersebut, yakni tentang jihad dan perang. Dimana mereka tidak memperhatikan makna dan konteks kesejarahannya dengan benar dan tidak komprehensif, sehingga menghasilkan pemahaman yang berbeda dengansemeskinya.
Apabila kita bisa memahami konteks dengan benar, maka tidak akan terjadi kesalahpahaman dan tahu seperti apa kebenarannya, sehingga tidak terjerumus pada radikalisme. Tidak akan pernah terjerumus pada tindakan tawuran.
Menurut Said Aqil, kita sebagai orang Indonesia, harus memahami Islam secara utuh serta dibutuhkan kecerdasan. Karena, orang yang cerdas tidak akan gampang terdoktrin oleh aliran yang radikal, sehingga dapat melahirkan Islam yang moderat.
Kita sebagai orang Indonesia, harusnya bangga dengan image yang disandangkan pada negara tercinta kita ini, yakni negara yang demokrat, yang bisa menerima perbedaan, baik itu perbedaan keyakinan maupun berbedaan antar suku.
Namun, lebih diharuskan lagi, kita harus sesuai dengan image Indonesia yang dikenal dunia sebagai negara yang moderat. Saling menghargai, tidak saling menyalahkan dan tidak saling menghakimi. Kita seharusnya malu apabila kelakuan kita tidak sesuai dengan cermianan tersebut.
Melihat fenomena seperti ini, Said Aqil menerapkan jalan tengah melalui tawwasuth (moderat), yakni tidak ekstrim, inklusif, toleran dan damai. Selain itu, juga dibutuhkan pemikiran yang cerdas dan tidak lagi terpaku pada tekstual.
Teks itu memang penting utuk menjadi acuan kita, tapi jika kita tidak menyeimbanginya dengan pemikiran yang kritis dan cerdas, maka kita akan terjebak oleh teks itu sendiri. Bukannya menampilkan wajah agama yang toleran, tapi tawuran.
Kita harus cerdas dalam mengamati sesuatu, harus jelas maksudnya, harus jelas pula tujuannya. Jangan sampai kita dibodohi sama teks. Dalam artian, kita harus berhati-hati dalam mengambil segala keputusan. Apalagi, keputusan yang mencakup soal hidup dan matinya orang lain. Jangan terlalu gegabah dalam mengambil suatu tindakan, apalagi dalam keadaan yang tergesa-gesa dan emosional.
Dengan demikian, kita sebagai umat muslim, harus bisa memahami makna Islam secara utuh dan menyeluruh. Jika kita tidak memahami makna Islam secara utuh, maka akan menyebabkan terjadinya radikalisme.
Indonesia membutuhkan orang-orang yang cerdas dan mau berusaha mencari tau keberannya, bukan butuh orang yang bisanya hanya diem-diem bae. Indonesia butuh generasi yang mampu menampilkan Islam secara toleran, bukan Islam tawuran.
Sebuah adagium mengatakan, “Jadilah pribadi yang cerdas dalam mengamati berbagai hal dan bisa mengendalikannya, jangan sampai kita yang diamati dan dikendalikan oleh berbagai hal.”
Penulis: Fitri Siska S. (Mahasiswi Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta).