Islam adalah agama yang berkemanusiaan, fleksibel, dan tidak ribet alias menyusahkan. Aktivitas sehari-hari yang sering dilakukan dan sulit dihindari adalah seperti menelan air ludah, dahak, sikat gigi, maupun mencicipi makanan bagi mereka yang hobi memasak.
Persoalan itu muncul ketika aktivitas tersebut dilakukan saat seseorang berpuasa. Sedangkan perkara yang dapat membatalkan puasa adalah masuknya segala sesuatu baik makanan, minuman, atau sesuatu dari lobang depan dan belakang. Lantas seperti apa hukumnya melakukan aktivitas tersebut?
Menelan Ludah/Air Liur
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama bersepakat menelan air ludah atau air liur tidak membatalkan puasa. Hal ini berlaku jika air liur sering terbiasa keluar karena sulit dihindari.
ابتلاع الريق لا يفطر بالاجماع إذا كان على العادة لانه يعسر الاحتراز منه
Artinya: “Menelan air liur itu tidak membatalkan puasa sesuai kesepakan para ulama. Hal ini berlaku jika orang yang berpuasa tersebut memang biasa mengeluarkan air liur. Sebab susahnya memproteksi air liur untuk masuk kembali. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu, juz 6, hal. 341)
Air liur yang tidak membatalkan puasa ketika ditelan baik sengaja ataupun tidak ini mempunyai tiga syarat.
Pertama, air liur harus murni. Artinya tidak boleh ada benda lain yang merubah warna air liur itu sendiri. Seperti penjahit yang memasukkan benang ke dalam mulut. Kemudian pewarna benang tersebut ada yang mengontaminasi warna air liur sehingga tidak kembali putih atau bening. Maka hal itu membatalkan puasa.
Atau pula ada orang yang air liurnya terkontaminasi oleh darah sebab luka pada gusi kemudian tertelan, juga membatalkan puasa.
Kedua, air liur yang masuk ke tubuh adalah air liur yang keluar dari tubuhnya sendiri dan tidak keluar dari batas mafu, yaitu bibir bagian luar. Di sinilah terdapat sedikit kemiripan antara batas dhahir wudhu dan shalat yang terjadi pada bab puasa.
Jadi, air liur yang sudah keluar dari tenggorokanyang semula dianggap sudah bagian luar namun karena hajat, selama tidak melewati bibir luar, tidak membatalkan puasa.
Ketiga, dalam menelan liur secara wajar sebagaimana adat umumnya.
Apabila ada orang yang dengan sengaja mengumpulkan air liurnya sampai terkumpul banyak, paara ulama sepakat, tidak membatalkan puasa tanpa ada perbedaan pendapat.
Dahak
Syekh Taqiyyudin menjelaskan bahwa tertelannya ingus ke bagian dalam (jauf) ketika ingus sudah sampai di bagian luar hukumnya tergantung kondisi yang mengiringinya.
ولو نزلت نخامة من رأسه وصارت فوق الحلقوم نظر إن لم يقدر على إخراجها ثم نزلت إلى الجوف لم يفطر وإن قدر على إخراجها وتركها حتى نزلت بنفسها أفطر أيضا لتقصيره
Artinya: “Ketika ingus turun dari kepala dan berada di bagian atas tenggorokan maka hukumnya diperinci, jika seseorang yang puasa tidak mampu mengeluarkannya (Jawa: melepeh) lalu ingus itu turun kembali menuju bagian dalam (jauf) maka puasanya tidak batal, namun jika mampu untuk mengeluarkannya dan ia meninggalkan hal tersebut sampai ingus itu dengan sendirinya turun (Menuju bagian dalam) maka puasanya dihukumi batal, karena ia dianggap ceroboh (karena tidak mengeluarkan ingus) (Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 205).
Menelan ingus pada saat puasa dengan sengaja, ketika ingus sudah berada di bagian luar (bagian atas tenggorokan) maka dapat membatalkan puasa. Berbeda halnya ketika ingus tersebut keluar lalu tertelan kembali dan tidak mungkin untuk dikeluarkan, maka puasanya tetap dihukumi sah.
Sikat Gigi
Jumhur ulama sepakat bahwa bersiwak atau membersihkan gigi tidak membatalkan puasa. Namun menurut Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, bersiwak hukumnya makruh bila telah melewati waktu zhuhur hingga sore hari.
ومكروهات الصوم ثلاثة عشر: أن يستاك بعد الزوال
Artinya: “Hal yang makruh dalam puasa ada tiga belas. Salah satunya bersiwak setelah zhuhur,” (Syekh Muhammad Nawawi, Nihayatuz Zein, hal. 195).
Sedangkan bersiwak atau menggosok gigi akan menghilangkan bau mulut. Namun bila bau mulut mengganggu seperti habis makan makanan berbau, maka sebaiknya bersiwak. Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali.
Sedangkan istinsyak adalah memasukkan air ke dalam lubang hidung untuk dibuang kembali. Keduanya boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk ke dalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
Mencicipi Makanan
Hukum mencicipi makanan saat berpuasa adalah boleh. Dengan catatan makanan tersebut harus segera dikeluarkan dari mulut (diludahkan). Jangan sampai makanan berdiam terlalu lama di mulut, apalagi sampai tertelan. Jika sampai tertelan, bukan makruh lagi, tapi juga batal puasanya.
وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي
Artinya: “Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita, dan orang tua yang berkepentingan mengobati buah hatinya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh. (Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi, Hasiyah asy-Syarqawi, juz 1, hal. 881)
Singkat cerita, melakukan aktivitas di atas bagi mereka yang puasa sejauh ia berkepentingan yang dibenarkan syar’i tidak masalah. Semoga puasa Ramadhan tahun ini dan di tahun-tahun berikutnya kita selalu diberikan kekuatan oleh Allah SWT untuk selalu bisa melaksanakan puasa dengan sempurna selama satu bulan penuh.
Wallahu A’lam.[]