Bagi masyarakat Jawa, weton merupakan persoalan penting yang dimanfaatkan untuk menentukan hari kelahiran, ritual adat, hari-hari baik, dan bahkan untuk menentukan siapa jodohnya. Penggunaan weton yang paling populer adalah untuk menghitung apakah sebuah hubungan percintaan akan baik atau tidak. Jika dari perhitungan tersebut mengeluarkan hasil yang buruk, maka terpaksa pasangan yang bersangkutan harus berpisah.
Weton adalah bagian tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur Jawa. Weton sendiri adalah hari lahir seseorang dengan pasaran Jawanya, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kata weton berasal dari Bahasa jawa Wetu yang berarti keluar atau lahir. Tradisi budaya ini dilakukan dengan harapan agar pernikahan bisa langgeng dan harmonis hingga hanya ajal yang dapat memisahkan.
Sejak awal tersebarnya Islam di Indonesia khususnya di Jawa para wali tidak menghilangkan maupun mengganti kebudayaan dan tradisi yang diyakini di daerah tersebut, meskipun ajaran atau budaya itu jauh dari ajaran agama Islam, akan tetapi para wali memasukkan nilai-nilai Islam kedalam tradisi budaya tersebut.
Sekilas tentang Weton
Dalam kalender Jawa, satu pekan terdiri dari 7 hari yang ditambahkan dengan hari pasaran Jawa. Hari pasaran Jawa terdiri dari lima, yakni: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Penamaan nama pasaran juga berasal dari nama-nama roh atau leluhur zaman terdahulu. Nama-nama roh tersebut adalah Batara Legi, Batara Pahing, Batara Pon, Batara Wage, dan Batara Kliwon. Arti dari hari pasaran tersebut yakni merujuk pada jiwa manusia yang disebut “Sedulur Papat Lima Pancer” (terdiri dari 5 arah dalam jati diri seseorang, yakni Lor, Kidul, Kulon, Wetan, serta Pancer (Tengah). Artinya, nama-nama hari tersebut digunakan sebagai titik penerangan seseorang menurut hari kelahirannya.
Respon Ulama
Pemahaman yang harus dibangun adalah bawa perhitungan weton merupakan bentuk ikhtiyar (usaha) seseorang untuk menentukan hal yang ingin dicapai, namun hasilnya harus diserahkan hasilnya secara totalitas kepada Allah SWT.
Penetapan hukum weton dengan menggunakan ‘urf (tradisi) sebenarnya mengembalikan hukum sesuatu pada hukum asalnya. Hal ini sesuai dengan sebuah kaidah yang berbunyi:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Artinya: Pada dasarnya hukum segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya.”
Jika kita menyikapi begitu, sebagian ulama memperbolehkan. Ini bisa kita lihat dalam kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, Hamisy Bughyatul Mustarsyidin, hal. 206;
مسألة: إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات
Artinya: Jika seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Ibnul Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafii bahwa jika ahli astrologi berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi demikian di hari demikian sedangkan yang mempengaruhi adalah Allah. Maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk (bukan Allah).
Menurut Ibn Ziyad, perhitungan weton itu tidak menjadi masalah selama ia masih meyakini bahwa hanya Allah lah yang mengatur semua urusan manusia dan meyakini bahwa tugas manusia hanyalah berusaha sedang hasilnya dipasrahkan 100% seutuhnya kepada Allah SWT.
Kesimpulan
Pada intinya boleh menggunakan konsep weton dalam pernikahan karena ia bagian dari bentuk ikhtiyar/usaha manusia, tetapi jangan sampai menciderai syariat Islam yakni dengan meyakini bahwa jika tidak mengikuti perhitungan weton maka ia akan celaka atau hidupnya akan menderita dan sengsara. Seseorang harus tetap meyakini bahwa semua hari/waktu adalah baik bagi Allah SWT. Sebagian masyarakat Jawa masih menggunakan perhitungan weton, namun juga tidak sedikit yang sudah meninggalkannya.
Wallahu ’Alam.[]
Makasih ilmunya ustadz