Penulis: Dr. Abdul Aziz, M.A., MA.Hk. (Dosen STAI Nurul Iman, Parung Bogor)
Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya informasi tentang penyekapan, pemukulan, penganiayaan, dan pembunuhan hewan anjing. Mereka beranggapan bahwa anjing merupakan hewan yang menjijikkan, rendahan, dan najis mughalladzah (berat konsekuensinya) jika bersentuhan dengan tubuh hewan tersebut.
Disadari atau tidak masyarakat masih merasa gelisah dan khawatir jika berhadapan dengan hewan satu ini. Tidak sedikit masyarakat bertanya-tanya bagaimana sesungguhnya hukum bersentuhan hewan anjing dan keberadaanya di lingkungan sekitar masyarakat.
Secara ilmiah, hewan anjing termasuk kategori hewan yang diakui cerdas, mudah diajari, dan hewan ini diakui sebagai hewan yang tidak dipersoalan sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw. Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa ada anjing yang sangat legendaris dan diistimewakan yakni anjing Ashabul Kahfi yang selalu menjaga, memelihara, dan sekaligus menjadi teman bermainnnya. Bahkan menurut Riwayat, Sayyidina Hasan dan Husen cucu Raulullah semasa kecil pernah bermains seraya memegang, menyentuh, mengangkat anak anjing.
Ada beberapa pandangan ulama berkenaan dengan status anjing sebagai hewan najis. Apakah yang najis dari hewan tersebut hanya air liurnya saja, jilatannya, tubuhnya ketika basah, atau memang seluruh anggota tubuh hewan tersebut najis tanpa terkecuali?
Ulama Sepakat tentang Najisnya Air Liur Anjing
Para ulama tidak berbeda pendapat ketika menyebutkan najisnya air liur anjing. Sebab ada banyak hadits shahih terkait kenajisan air liur anjing. Oleh karena itu bila sebatas air liuarnya, umumnya para ulama menyepakati kenajisannya.
Disebut dalam sebuah riwayat,
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فيِ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا-متفق عليه
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: Bila anjing minum dari wadah air milikmu harus dicuci tujuh kali. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan,
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُم إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Rasulullah SAW bersabda”Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. (HR. Muslim dan Ahmad).
Ulama Tidak Sepakat Atas Najisnya Badannya Anjing
Ketika berbicara masalah hukum kenajisan badan binatang anjing, para ulama terpecah setidaknya menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian mengatakan bahwa tubuh anjing bukan termasuk najis, sementara sebagian yang lain menetapkan kenajisannya.
Berikut beberapa dalil yang coba diketengahkan menurut pandangan 4 imam mazhab:
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Para ulama mazhab Al-Hanafiyah umumnya berpendapat bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu bukan merupakan najis ‘ain. Yang najis dari anjing hanyalah air liur mulut dan kotorannya saja.
Al-Kasani (w. 587 H), salah satu dari ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya, Badai’ Ash-Shanai‘ sebagai berikut:
وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سِوَى الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ لِمَا نَذْكُرُ
Dan yang mengatakan bahwa (anjing) itu tidak termasuk najis ain, maka mereka menjadikannya seperti semua hewan lainnya kecual babi. Dan inilah yang shahih dari pendapat kami.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Al-Mazhab Al-Malikiyah juga mengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, maka wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.
Ibnu Abdil Barr An-Namiri (w. 463 H) salah satu ulama dari mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah, sebagai berikut:
ومذهب مالك في الكلب أنه طاهر
Dan pendapat mazhab Malik tentang anjing adalah bahwa anjing itu suci.
3. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat.
Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) yang juga merupakan icon mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin juga menetapkan kenajisan anjing.
وَأَمَّا الْحَيَوَانَاتُ، فَطَاهِرَةٌ، إِلَّا الْكَلْبَ، وَالْخِنْزِيرَ، وَمَا تَوَلَّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا
Adapun hewan-hewan semuanya suci kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satunya.
Dari keterangan di atas, hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu pun secara logika juga najis, baik air kencing, kotoran maupun keringatnya.
4. Mazhab Al-Hanabilah
Dalam masalah kenajisan tubuh hewan, umumnya para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah berargumen sejalan dengan pendapat para ulama mazhab Asy-Syafi’iyah,yaitu bahwa tubuh anjing yang masih hidup itu najis.
Syamsuddin Abul Farraj Ibnu Qudamah (w. 682 H) menuliskan dalam kitab Asy-Syarhul Kabir ‘ala Matnil Muqni’ sebagai berikut:
لا يختلف المذهب في نجاسة الكلب والخنزير وما تولد منهما أنه نجس عينه وسؤره وعرقه وكل ما خرج منه
Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam mazhab (Hanbali) atas najisnya anjing dan babi serta hewan yang lahir dari keduanya. Bahwa semuanya najis ain, termasuk liur, keringat dan apa-apa yang keluar dari tubuhnya.
Ulama yang Memelihara Anjing
Satu hari, Malik bin Dinar, seorang tokoh sufi masyhur, memelihara anjing di rumahnya. Murid-muridnya dan masyarakat sekitar heran akan hal ini.
Kemudian mereka bertanya kepada Malik, “Kenapa kau berteman dengan anjing ini?”
Dengan tenang Malik menjawab, “Lebih baik aku berteman dengan anjing sementara ia tak mengajak buruk ketimbang berteman dengan orang yang selalu menjerumuskanku,” jawab ia dengan kekhasan sufinya.
Kisah yang ditulis Abu Nuaim dalam Hilyah-nya itu memberi gambaran apik tentang konstruksi sosial masyarakat Arab klasik tentang anjing. Malik, yang hidup puluhan tahun setelah Nabi wafat, hidup di tengah masyarakat yang menganggap anjing sebagai hewan yang menjijikkan. Namun Malik mencoba membantah itu. Baginya, anjing tak pernah mengajak kejelekan. Kawan yang mengajak kepada kejelekan, katanya, jauh lebih buruk ketimbang anjing.
Pendek kata, hukum kenajisan anjing masih diperdebatkan oleh ulama. Anjing dipersoalkan sejak era mazhab Syafi’iyyah bukan era Imam Syafi’i karena di era Imam Syafi’i masih banyak yang memelihara anjing dan sang Imam sendiri tidak mempersoalkannya.
Melihat hal itu, manusia tidak hanya dituntut menghormati sesama manusia. Binatang dan tumbuhan pun perlu dijaga, dirawat, dan dilindungi kehidupannya. Demikian pula dengan anjing walaupun ia termasuk hewan yang diharamkan secara syariat, tetapi bukan berarti ia boleh disakiti ataupun dibunuh dengan seenaknya.[]
Mantap. Sukses selalu tadz… Tabaarokallah