Konon, sewaktu masih muda, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah orang yang sangat hobi membaca. Segala jenis bacaan akan dibacanya selama ada kesempatan. Tak heran bila Gus Dur banyak memiliki pengetahuan di luar pengetahuan yang dimiliki santri pada umumnya.
Ceritanya bermula, saat ia mulai pindah mengikuti orang tuanya dari Jogja ke Magelang lalu pindah lagi ke Jombang. Saat itu ia sedang tumbuh dari fase kanak-kanak menuju remaja, saat itulah ia mulai serius menekuni dua jenis bacaan: pertama, pikiran sosial Eropa dan kedua, novel-novel besar Inggris, Perancis dan Rusia.
Gus Dur adalah seorang kutu buku dengan kemampuan memahami bahasa asing yang luas, ia bisa membaca dalam berbagai jenis bahasa seperti, Indonesia, Inggris dan tak jarang dalam bahasa Perancis, Jerman dan juga Belanda, dan tentu bahasa Arab.
Penguasaan bahasa yang begitu luas membuat jangkauan bacaan Gus Dur begitu melimpah.
Tak heran bila seorang Profesor Australia, Greg Barton, berkata, “Ia akan membaca apa saja yang dapat diperolehnya.”
Sebagai anak dan cucu dari Kiai besar, KH. Wahid Hasyim dan Kiai Hasyim Asyari, Gus Dur sangatlah beruntung, sebab ayahnya adalah seorang yang juga menyukai buku. Gus Dur amat suka mengakses buku-buku perpustakaan pribadi milik ayahnya saat mereka tinggal di Jakarta. Tak jarang bila Gus Dur bepergian, buku-buku itu tak luput dibawanya juga.
Saat itu, hobinya itu telah diketahui banyak orang. Bahkan kawan-kawan ayahnya sering membawakan Gus Dur buku untuknya secara gratis. Hal ini tentu sangat membahagiakan Gus Dur: sebab ia tak perlu merogoh kocek untuk membeli buku dan tentu mendapatkan ilmu yang gratis pula.
Sebagai seorang santri, Gus Dur tampaknya lain dari santri yang lain. Sebagai remaja, anak kiai, dan cucu pendiri ormas Nahdlatul Ulama, ia tidak hanya fokus pada bacaan-bacaan keislaman ala pesantren. Tapi, buku-buku karya seperti Plato dan Aristoteles (merupakan pemikir yang menjadi perhatian sarjana-sarjana muslim abad pertengahan) juga dibaca olehnya.
Bahkan dalam catatan Greg Barton, Gus Dur tidak hanya membaca buku-buku karya pemikir Yunani Klasik di atas. Pada saat yang sama pula, ia sangat konsen pada buku-buku pemikir Barat Modern seperti Das Kapital karya Karl Marx dan What is To be Done yang ditulis oleh Lenin.
Akes terhadap buku-buku itu sangat mudah didapatkan pada masanya, sebab pada saat itu Partai Komunis Indonesia sedang jaya-jayanya. Tidak hanya sampai pada tahap membaca. Ia memberikan perhatian khusus pada ide-ide Lenin terkait keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism (Kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan Little Red Book-Mao (Kutipan Kata-Kata Ketua Mao).
Menurut Greg Barton, yang mendorong Gus Dur sangat mencintai buku adalah rasa hausnya yang besar akan ide-ide baru di samping rasa ingin tahunya yang amat besar. Tentu Gus Dur bukan hanya seorang pembaca “rakus” yang hanya melahap bacaan semata. Tetapi, setiap bacaan yang dibacanya berdialektika pada dirinya sendiri. Seolah apa yang ia baca dari buku juga sedang membaca apa yang ada dan terjadi di dalam dirinya.
Sebagai seorang muslim yang juga santri, Gus Dur nampaknya bukanlah orang yang terlahir untuk menjadi biasa-biasa saja. Gus Dur adalah the real pembaca buku yang “rakus”. Segala jenis bacaan akan dibacanya selama itu bermutu. Gus Dur tidak hanya fokus pada kitab-kitab pesantren meski ia sendiri adalah seorang santri. Tetapi, Gus Dur juga tekun membaca buku-buku filsafat Yunani Klasik hingga buku-buku pemikir Barat Modern.
Gus Dur bukanlah orang yang mudah begitu saja untuk terkesima dengan bacaan-bacaan di atas. Sebagai orang yang “haus” akan pengetahuan, Gus Dur juga sangat konsen pada bacaan-bacaan yang ditulis oleh para pemikir Islam. Tak kurang buku-buku karya seperti Sayid Qutub, Said Ramadan, Hasan Al-Bana, bahkan Gus Dur juga mengkaji secara mendalam ide-ide di balik organisasi Islam Ikhwanul Muslimin atau Persaudaraan Islam yang notabene berseberangan dengan ormas yang diikutinya, Nahdlatul Ulama.
Gus Dur sadar bahwa masalah-masalah yang dihadapi umat manusia memerlukan tanggapan yang lebih luas. Dan tanggapan yang lebih luas hanya bisa dilakukan jika memiliki pengetahuan yang mendalam terhadap realitas. Itulah kenapa banyak orang sering menyebutnya sebagai intelektual yang “organik”, yakni intelektual yang tumbuh dari persoalan-persoalan umat manusia.
Tentu, pelaut ulung tidak diciptakan dari samudera tenang. Begitu juga dengan Gus Dur, sebagai pemikir dan penulis tentu ia tidak diciptakan dari kehidupan yang tidak mencintai baca buku. Penulis yang handal adalah pembaca yang rakus.
Referensi: Greg Barton, Biografi Gus Dur.