spot_img

Gagal Paham Agama; Virus Mematikan Persatuan

Gagal paham agama merupakan salah satu isu yang berkembang dalam bingkai keberagamaan yang menjangkit mindset masyarakat hari ini. Gagal paham agama bagaikan virus dengan gejala utama, yakni membatasi cara pandangan individu dari keyakinan-keyakinan di luar dirinya, sehingga mendeskripsikan paradigma inklusif dalam eksistensi masyarakat.

Gejala utama dari virus ini didasari oleh tidak adanya pengetahuan mengenai konsep agama secara fundamen. Agama, pada umumnya lebih dipahami sebagai sistem kepercayaan berisi berbagai aturan, nilai, dan perilaku dalam mengantarkan manusia mencapai kedamaian dan ketentraman (Huston Smith, 2015:10).

Sebuah pernyataanpun hadir untuk merespon pandangan tersebut, “Apakah sistem yang diyakini tersebut murni berasal dari Tuhan yang absolut dan terkandung sakralitas di dalamnya atau tidak demikian?” Pernyataan ini muncul berdasarkan fenomena yang menggejolak bahwa kekerasan, peperangan, pembunuhan, dan pembatasan kepercayaan antara sesama manusia disebabkan oleh praktik sistem keyakinan beragama (Charles Kimball, 2009: 17).

Lebih lanjut, diketahui bahwa pada era dewasa ini kasus kekerasan dan pembatasan berkeyakinan mengalami peningkatan, khususnya wilayah Indonesia. Wahid Institute dalam laporannya yang berjudul “Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan (KBB)” menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan pelanggaran KBB yang terdiri dari kekerasan dan pembatasan keyakinan beragama selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2014, Wahid Institute mencatat terdapat 158 kasus pelanggaran KBB. Kemudian, pada tahun 2015, mengalami peningkatan sebesar 20%, yaitu 190 kasus. Selanjutnya, pada tahun 2016 semakin mengalami lonjakan yang cukup signifikan, yaitu sebanyak 204 kasus (Wahid Institute: 2016).

Tingginya tingkat kekerasan dan pembatasan keyakinan umat beragama mendeskripsikan minimnya pengetahuan masyarakat dalam memahami konsep agama secara fundamen.
Implikasinya, manusia tidak mencapai kedamaian dan ketentraman beragama dalam struktur sosial. Ragam kekerasan dan pembatasan keyakinan dalam diri manusia disebabkan oleh pengaruh emosional yang menggejala dalam dirinya. Akibatnya pula, akal sebagai instrumen tertinggi pengetahuan manusia untuk memahami keyakinan beragama tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.

Hal ini yang menyebabkan masyarakat gagal paham mengenai konsep agama. Demi mengatasi problematika kekerasan dan keterbatasan berkeyakinan masyarakat, dibutuhkan sebuah pandangan eksplanatif yang membahas konsep agama melalui pendekatan sosial secara utuh.

Dalam wacana sosiologi, diketahui bahwa Emile Durkheim merupakan sosiolog Barat abad abad 19. Ia menjelaskan perkembangan agama dalam konteks sosial melalui konsep tiga masa, yaitu animisme, abstrak, dan modern yang dipengaruhi oleh Auguste Comte (Daniel L. Pals, 2012: 134).

Masa animisme merupakan perkembangan awal paradima masyarakat beragama. Pada tahap ini manusia menyakini dan mengetahui adanya entitas rill/nyata bersifat adikodrati di balik dirinya yang mengatur berbagai sistem kehidupan manusia (Ariesa Pandanwangi, 2009:3). Masyarakat beragama mengetahui adanya entitas rill melalui interaksi antara dirinya dengan alam, sehingga daya-daya imajinatif begitu tinggi.

Kemudian, abstrak merupakan masa transisi atau perpindahan dari kepercayaan yang bersifat adikodrati kepada konsep-konsep abstrak yang mempersatukan berbagai entitas di realitas- dari politheisme menuju monotheisme- (Emma Dysmala Somantri, 2013:623). Masyarakat beragama memahami bahwa ada satu sumber entitas nyata di realitas. Pengetahuan terhadap sumber entitas didapatkan melalui pendekatan filosofis-berlandaskan aqliyah-(Emile Durkheim, 2011: 51).

Pendekatan aqliyah mengarahkan masyarakat untuk berpikir terbuka memahami satu sama lain dengan tujuan memperoleh sebuah pengetahuan bersifat universal yang mengetahui makna agama sebagaimana mestinya. Akan tetapi, fase abstrak dalam peradaban manusia ini, mulai ditinggalkan dengan seiring berjalannya waktu. Dengan alasan masyarakat tidak memperoleh manfaat secara nyata dalam kehidupannya.

Dapat dipahami bahwa masa abstrak cenderung bersifat konseptual. Masyarakat mulai berpindah pada ilmu-ilmu sains yang bersifat eksperimental dengan mengandalkan pendekatan ilmiah yang melibatkan kekuatan sensoris dan kekuatan alam bawah sadar (Hans Kung, 2017:74). Kedua kekuatan ini menciptakan pengetahuan partikular dalam diri manusia, sehingga tidak ada kebenaran yang ditemukan (Emile Durkheim, 2011: 49).

Dalam geneologi ilmu pengetahuan modern, setiap cabang pengetahuan dikaji melalui pendekatan ilmiah, termasuk agama. Dapat dipahami secara bersama, ketika didekatkan dengan kajian ilmiah yang mengandalkan kekuatan sensoris dan alam bawah sadar yang mengarahkan dasar kebenaran agama secara eksperimental dan daya-daya rekaan bersifat imajinatif, hal itu menyebabkan sikap inkslusif sejauh hasil bacaan dan pendengarannya. Menolak dengan rangsangan daya-daya imajinatif, seolah-seolah keyakinan di luar kepercayaannya adalah sesuatu yang luar biasa bagi eksistensi masyarakat. Sebuah kesalahan tersebut didasari oleh kekeliruan menggunakan instrument epistemologi yang berujung pada kegagalan memahami agama dalam konteks sosial.

Berkaca dari permasalahan tersebut, Emile Durkheim memandang bahwa masyarakat harus kembali pada ajaran-ajaran abstrak yang tidak sekadar bersifat konseptual, akan tetapi juga mempraktikannya dalam konteks sosial. Menurutnya, kehidupan manusia tidak sekadar ditinjau secara teoritis melainkan harus dilihat secara praktis.

Dengan menerapkan seluruh sisi teoritis dalam keseharian, sebagaimana fungsi dari agama yaitu untuk mengayomi masyarakat, bukan untuk menciptakan ragam kekerasan dan pembatasan keyakinan individu. Berdasarkan penjelasan tersebut, Emile Durkheim menjelaskan bahwa kesempurnaan sisi teoritis yang direalisasikan dalam sisi praktis dengan membuka diri dari setiap perbedaan merupakan sikap yang tepat dalam memahami agama. Sikap itu dapat membuka diri setiap pemeluk agama, sehingga mereka akan mengetahui peran agama sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat.

Penulis: Nurul Khair (Mahasiswa Magister Ahlul Bait University, Tehran).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles