spot_img

Dakwah Itu dengan Ramah, Bukan Amarah

Sebagai umat Islam, tentunya kita tidak mungkin untuk mengingkari kenabian dari seorang Nabi Muhammad Saw. Beliau adalah Nabi terakhir atau sebagai penutup dari para Nabi dan Rasul. Tidak akan ada Nabi lagi setelah diutusnya beliau. Jika misalnya kita berjumpa dengan seseorang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi, maka kita harus yakin bahwa orang itu adalah pendusta, dan apa yang dia ucapkan semuanya hanyalah omong kosong belaka.

Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga merupakan rahmat bagi seluruh alam semesta. Beliau diutus oleh Allah Swt ke muka bumi ini untuk menebarkan rahmat, untuk menegakkan kebenaran dan melawan kedzaliman. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Anbiya [21]:107:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam .
Jadi, berdasarkan ayat tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam semesta. Beliau diutus bukan untuk menebarkan kebencian, bukan untuk menegakkan kebathilan dan bukan pula untuk menunjukkan manusia kepada jalan yang sesat.
Apabila Nabi Muhammad Saw nyatanya malah membawa manusia kepada jalan yang sesat dan mengajarkan kepada manusia perkara-perkara yang bathil, maka apa yang difirmankan oleh Allah Swt otomatis menjadi tidak benar dan tentunya itu tidak akan mungkin terjadi. Karena Allah Swt adalah wujud Yang Maha Sempurna dan Maha Suci, Yang mustahil untuk berbuat kesalahan.
Mungkin, diantara kita ada yang pernah berfikir, jika Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah Swt ke muka bumi untuk menebarkan rahmat dan kebenaran, berarti sebelum kedatangan beliau, sebelum beliau diutus oleh Allah Swt, kebenaran dan rahmat itu belum ada di muka bumi. Karena jika kebenaran sudah hadir di muka bumi sebelum kedatangan beliau, maka pengutusan beliau ke muka bumi akan jadi sia-sia dan itu juga tidak akan mungkin terjadi.
Maka sudah pastinya, pengutusan beliau ke muka bumi bukan hal sia-sia. Beliau diutus oleh Allah Swt ke muka bumi memang untuk mengisi kekosongan bumi dari cahaya-cahaya kebenaran. Sebagaimana yang terdapat dalam sejarah, dijelaskan bahwa tanah Mekah, tempat tujuan diutusnya Muhammad Saw, sebelum kedatangan beliau, tempat tersebut dipenuhi dengan kemaksiatan dan kedzaliman.
Masyarakat Mekah pada saat itu memiliki kebiasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka mengubur bayi perempuannya secara hidup-hidup. Karena menurutnya, perempuan tidak pantas untuk dihargai, perempuan tidak memiliki derajat apapun di mata mereka.
Selain itu, mereka juga melakukan penyembahan terhadap patung-patung. Mereka yakin bahwa patung-patung yang mereka sembah itu bisa memenuhi apapun yang mereka inginkan. Mereka sangat fanatik terhadap keyakinan mereka. Tidak ada satupun orang lain yang bisa menentang keyakinan mereka. Jika ada orang lain yang menentang keyakinan mereka, maka mereka akan membunuhnya. 
Perilaku-perilaku menyimpang mereka sudah menjadi kebiasaan dan sangat sukar untuk mereka hilangkan. Laozi, salah seorang filsuf asal China mengatakan: “jaga kebiasaan anda, karena hal itu akan menjadi karakter.” karakter orang Mekah pada saat itu karena kebiasaannya dalam menyembah patung-patung.
Nah, dengan melihat kebengisan masyarakat Mekah tersebut, apakah Tuhan akan membiarkan mereka tetap dalam keadaan seperti itu? sementara Tuhan tahu bahwa apa yang mereka perbuat adalah dosa yang sangat besar. Mungkinkah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang akan rela melihat ciptaan-Nya terus menerus berbuat dosa?
Sekalipun kita adalah manusia biasa, kita juga tidak akan rela untuk menyaksikan orang yang kita kasihi berada dalam derita yang sangat menyakitkan, bukan? Terlebih lagi dengan Tuhan yang Maha Kasih, membentang ke seluruh dimensi dengan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka, dengan logika seperti apapun otak manusia tidak akan mengakui bahwa Tuhan layak berbuat yang seperti itu, merelakan ciptaan-Nya tenggelam ke dalam lautan dosa.
Dengan alasan itulah Allah Swt kemudian mengutus Rasulullah Saw ke tanah Mekah. Untuk apa? Untuk menebarkan rahmat di tanah Mekah tersebut, untuk menyadarkan para penduduknya dari mimpi buruknya dan untuk mengeluarkan mereka dari kemaksiatan menuju kemuliaan.
Namun, hal itu tentu bukan perkara yang mudah bagi Rasulullah Saw. Orang-orang yang dihadapi oleh Rasulullah Saw adalah orang yang sangat fanatik terhadap keyakinan mereka, seperti yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang hatinya sangat keras, lebih keras dari pada batu. Mereka tidak mudah untuk diarahkan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw pernah berkata: “lebih mudah mengubah gunung jadi debu daripada menanamkan cinta pada hati yang penuh dengan kebencian.”
Hati mereka sudah dipenuhi dengan kebencian terhadap Rasulullah Saw. Mungkin, bukan perkara yang sulit bagi kita untuk meluluhkan hati orang yang kita kasihi ketika kita saling berselisih dengannya. Hanya dengan ungkapan-ungkapan yang romantis barangkali itu sudah sangat cukup untuk membuatnya kembali kepada pelukan kita.
Namun, yang demikian tidak akan jumpai pada saat Rasulullah Saw menghadapi masyarakat Mekah. Hati mereka tidak seluluh dengan hati kekasih kita. Mereka adalah orang-orang yang sudah dirasuki sikap fanatik buta, kebiasaan mereka sudah menjelma sebagai karakter mereka sendiri. Telinga dan hati mereka sudah tertutup rapat-rapat yang diselimuti oleh dosa. Mereka menolak ajaran-ajaran Tuhan yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw sangat bertolak belakang dengan kebiasaan-kebiasaan jelek mereka dan mereka sudah merasa sangat nyaman dengan kebiasaan-kebiasaan mereka itu. Sehingga, mereka dengan keras menolak kehadiran Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka. Akibatnya, Rasulullah Saw pun mendapatkan berbagai ancaman dan agresi dari mereka.
Lantas, seperti apa metode dakwah yang diterapkan oleh Rasulullah Saw dalam menghadapi penduduk Mekah yang berkarakter keras tersebut? Apakah metode yang digunakan oleh beliau adalah dengan kekerasan? Tentu bukan dengan kekerasan, sebab perilaku Rasulullah Saw adalah perilaku yang lemah lembut. 
Ataukah Rasulullah Saw menggunakan sihir sehingga semua penduduk Mekah bisa dengan mudahnya ditaklukkan? Tentu juga bukan, karena Rasulullah Saw adalah bukan seorang penyihir. Maka untuk mengetahui metode apa yang diterapkan oleh Rasulullah Saw di saat beliau mensyiarkan ajaran-ajaran Tuhan di hadapan para masyarakat Mekah menjadi urgen sebagai pelajaran hidup dalam berdakwah. 
Karena apa? Karena Rasulullah telah berhasil berdakwah dengan maksimal dan merubah watak orang-orang kafir hingga bisa menerima ajaran yang dibawa olehnya. Dan, barang kali ayat berikut cukup dijadikan sebagai petunjuk untuk mengetahui metode dakwah Rasulullah Saw. Dalam QS. Ali-Imran [3]: 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ

Maka dengan rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lembut kepada mereka. Bila engkau berlaku keras dan berhati kasar, tentulah mereka menghindar dari sisimu.
Berdasarkan ayat tersebut, kita bisa mengetahui bahwa metode yang diterapkan oleh Rasulullah Saw dalam mensyiarkan ajaran Tuhan di hadapan para penduduk Mekah adalah dengan berlaku lemah lembut terhadap mereka. Pada ayat tersebut juga, disebutkan bahwa andaikan Rasulullah Saw bersikap keras dan kasar terhadap para penduduk Mekah, maka sudah dipastikan bahwa mereka tidak akan menerima ajaran yang dibawa oleh beliau.
Dan berkat usaha beliau tersebut, yang tentunya juga tidak terlepas dari rahmat Allah Swt, ajaran-ajaran Tuhan pun akhirnya bisa diterima oleh para penduduk Mekah. Tentu hal ini menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi kita selaku umatnya. Bahwa untuk menyampaikan kebenaran, untuk mensyiarkan ajaran-ajaran Tuhan kepada orang lain adalah dengan cara lemah lembut terhadap mereka sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, dan bukan dengan cara memaksa orang lain untuk tunduk kepada kita.
Ajaran-ajaran yang disyiarkan oleh Rasulullah Saw adalah ajaran yang bersifat toleran, ajaran yang menghargai akan perbedaan dan ajaran yang menjunjung tinggi akan kasih sayang. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Gus Dur, “agama melarang perpecahan, bukan perbedaan”.
Namun mirisnya, apa yang dilakukan sebagian orang sekarang, justru malah bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Seperti berdakwah dengan cacian, makian, fitnah, bahkan mengkafir-kafirkan. Mimbar mesjid banyak dijadikan sebagai podium untuk mengkafirkan orang lain. Spanduk-spanduk yang bermosikan “tegakkan khilafah” dipasang di jalan-jalan, seolah-olah agama adalah milik sendiri.
Alih-alih untuk bersikap toleransi, namun sebagian orang tak mau menerima perbedaan. Sementara keberagaman adalah suatu keniscayaan. Sampai kapan pun perbedaan akan tetap ada di tengah-tengah kita, sebab itulah yang diinginkan oleh Tuhan. Prof. Dr. Quraish Shihab mengatakah bahwa: “Tuhan menginginkan kita untuk berbeda.”
Selama kita tidak mampu menyaksikan perbedaan, maka selama itu pula kita akan jadi umat yang miskin. Miskin identitas, miskin moral, dan juga miskin akhlak. Itulah mengapa kemudian umat Islam dianggap sebagai umat yang terbelakang, karena kadang perbedaan tidak mampu diterima keniscayannya. Seperti ungkapan dari Seno Gumira Ajidarma, “Orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran sungguh-sungguh merupakan memiskinkan kemanusiaan”.
Penulis: Riad (Peminat Filsafat, Santri Khatatamun Nabiyyin Study Center Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles