spot_img

Cacat Nalar Penafsiran ‘Ulama Bisa dari Hewan’

Foto: arrahmah.co.id
Baru-baru ini jagat maya digegerkan dengan statment seseorang yang ditokohkan [sebagian orang] sebagai “dai”, yaitu Sugi Nur. Dalam video yang viral di media sosial ia menyebutkan bahwa ulama tidak hanya dari manusia, tapi juga dari hewan-hewan melata. Dia mengatakan “…berarti ulama menurut Allah bisa ular, ayam, kambing, manusia, yang penting takut kepada Allah.

Konklusi ini ditarik oleh Sugi Nur dari redaksi surah QS. Fathir [45]: 28:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

“Dan demikianlah (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Sepertinya, Sugi Nur mengambil pemahaman atas ayat tersebut sebagai satu kesatuan kalimat utuh. Sehingga ia menarik kesimpulan bahwa ulama itu bisa dari berbagai kalangan, baik manusia, hewan atau makhluk lainnya. Yang penting, menurutnya, makhluk-makhluk Allah itu memiliki rasa takut kepada Allah. Maka, siapapun bisa dikatakan ulama.

Dari segi gramatikal bahasa, terutama i’rab, ayat di atas terdiri dari beberapa kedudukan. Misalnya dari kata wa minannas sampai kadzalik adalah satu rangkaian kalimat. Dan dari kata innama sampai al-‘ulama adalah satu rangkaian lainnya. Dalam istilah teknis i’rab, kalimat innama sampai akhir adalah al-jumlah isti’nafiyah, jumlah sebagai kalimat baru (Yaqut; 3849). Artinya, potongan ayat tersebut pada hakikatnya adalah kalimat independen.

Dalam arti lain, walaupun kalimat-kalimat dalam ayat tersebut merupakan satu ayat utuh, tetapi ada dua kalimat jumlah di dalamnya yang kedua maknanya itu tidak menyatu. Ini ilmu tafsir yang tidak diperhatikan dari Sugi Nur. Apakah dia tidak mengerti tentang ilmu tafsir, kita pun tidak tahu.

Dari segi redaksi, ulama tafsir mengkategorikan ayat 28 tersebut sebagai rangkaian dari ayat sebelumnya, yaitu ayat 27 yang artinya, “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunug-gunung itu, ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.”

Melihat dari konteksnya, kedua ayat ini (QS. Fathir ayat 27 dan 28) berbicara tentang bagaimana Allah menurunkan air dari langit. Dalam pada itu, Allah mengaktualkan (fi’il) ragam makhluk-Nya, yaitu buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, hewan dan makhluk lainnya, termasuk manusia yang mulanya adalah potensi (quwwah). Dan, kalimat “di antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ulama” merupakan kalimat yang terpisah atau awal kalimat baru (isti’nafiyah) (Thabatabha’i; 43).

Artinya, pada hakikatnya QS. Fathir [45]: 28: ini dari segi konteks sudah dapat dibedakan. Tidak bermakna satu kesatuan dengan ayat sebelumnya. Kalimat yang menyebutkan “ulama adalah hamba Allah yang takut kepada-Nya” merupakan kalimat baru dan secara subjek tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan kalimat sebelumnya.

Selanjutnya, dari segi makna, kata ulama dan khasyyah. Kata ulama adalah bentuk plural dari ‘alim yang berarti pemilik pengetahuan atau yang mengetahui (al-hudur wa ihatha ‘ala sya’i). Dalam definisi lain disebutkan naqidh al-jahl (lawan dari bodoh).

Kita bisa menalar secara sehat, siapa yang memiliki potensi untuk mengetahui itu. Dalam kajian filsafat Islam, manusia memiliki beberapa fakultas epistimologis dalam dirinya, yiatu fakultas indrawi (hissi), fakultas estimasi (wahm), fakultas imjinasi (khayali) dan fakultas rasional (aql) (Al-Musawi; 14).

Dua fakultas pertama (undrawi dan estimasi) di atas dimilliki oleh hewan, dan dua fakultas terakhir (imajinasi dan rasional) hanya dimiliki oleh manusia. Fakultas rasional inilah yang mampu mencerap pengetahuan universal. Artinya, hanya yang memiliki fakultas rasionalah yang memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Maka dari itu, hewan dengan sendirinya ternegasikan dari kemungkinan memperoleh pengetahuan universal.

Kata khasyyah menurut Raghib yang dikutip oleh al-Musthafawi dalam at-Tahqiq fi Kalimah al-Qur’an didefinisikan dengan “ketakutan yang disertai dengan pengetahuan”. Hal ini dikuatkan oleh Musthafawi bahwa khasyyah merupakan konsekuensi dari pengetahuan (‘ilm) dan keyakinan (yaqin) (Al-Musthafawi; 43).

Maka dari itu, Thabathaba’i dalam tafsirnya mendefinisikan ulama yaitu orang yang memiliki pengetahuan sempurna terkait Allah Swt, baik dari segi aspek nama (asma’), sifat (sifat), maupun perbutan-Nya (af’al). Dari pengetahuan ini, lahirlah khasyyah terhadap Allah Swt (Thabatabha’i; 43). Memang, tidak dimungkiri bahwa hewan juga memiliki rasa takut, akan tetapi ketakutan itu diproyeksikan dari estimasinya (insting), bukan dari pengetahuan yang diperoleh dari akal rasional.

Dari tiga argumentasi yang dibangun, yaitu pertama, dari segi gramatikal bahasa arab, kalimat innama yakhsya Allah min ‘ibadih al-‘ulama adalah kalimat independen (memulai kalimat baru); kedua, dari segi konteks, kalimat tersebut juga tidak berelasi secara langsung dengan kalimat sebelumnya; dan ketiga, kata ulamadan khasyyah identik dengan pemilik pengetahuan. Ketiganya menjawab gagal paham tafsir QS. Fathir [45]: 28 sebagai kemungkinan hewan bisa menjadi ulama.

Maka, dengan argumentasi-argumentasi tersebut di atas, konklusi yang menyatakan bahwa ulama bisa dari jenis hewan adalah cacat nalar, cacat logika atau absurd. Premis tersebut dengan sendirinya ternegasikan. Karena yang memiliki potensi mendapatkan pengetahuan universal dan menjadi ulama hanyalah manusia.
Penulis: Beta Firmanysah (Mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir STFI Sadra Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles