Foto: viapulsa.com
Hidup di Indonesia ibarat hidup di banyak negara. Kita banyak menemukan keberagaman di dalamnya. Kompas menyebutkan bahwa, Indonesia memiliki 16.056 pulau, 3000 etnis, 1.340 suku, 1.100 bahasa daerah, dan 5 agama resmi, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu (Kompas: 2017). Kenyataan tersebut harus menjadi inspirasi generasi bangsa, utamanya generasi milenial.
Keragamannya tersebut tetap menjadikan penduduknya bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak terpecah belah. Betapa menakjubkannya bangsa Indonesia. Rakyatnya hidup rukun, walau berbeda-beda agama dan suku bangsanya.
Kekayaan ini merupakan anugerah dari Allah Swt yang patut disyukuri. Karena tidak sedikit di luar sana negara yang antar warganya saling perang. Kita bisa lihat misalnya, Afghanistan, Yaman, Palestina, dan Irak, yang hingga saat ini warganya harus selalu waspada dengan dentuman-dentuman senjata yang dilancarkan baik oleh negara lawan, atau bahkan oleh penduduk internal di negerinya. Penuh permusuhan.
Dalam kondisi yang memilukan itu, mereka mendambakan hidup rukun, tentram, dan harmonis satu sama lain sebagaimana hidup di bumi pertiwi Indonesia. Tiadanya peperangan antar saudara, mengutamakan saling membantu meski beda keyakinan, menjadikan Indonesia sebagai negeri inspiratif untuk hidup harmoni dalam keragaman.
Tidak seperti negara-negara konflik, di Indonesia kita bisa hidup tentram dalam kebersamaan dan kebhinekaan. Tidak ada kehawatiran untuk menjalankan amal ibadah dengan agama manapun. Tidak ada pelanggaran untuk menentukan budaya dan atau etnis apapun yang, mungkin, berbeda dengan budaya Islam pada umumnya.
Oleh itu, mensyukuri hidup di bumi pertiwi Indonesia adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh siapa saja. Bersyukur tidak hanya dengan ucapan syukur kepada Tuhan Maha Esa, akan tetapi bersyukur dalam bentuk tindakan yang berarti dan memberi perjuangan bagi bangsa yang multietnis itu.
Bentuk utama mensyukurinya ialah dengan berkomitmen akan selalu hidup toleran, harmonis, dan moderat dengan siapapun, selagi dalam rangka merawat kesatuan dan persatuan. Begitu juga, bersyukur dengan bertekad tidak boleh ada lagi warga bangsa yang mengatakan bahwa kepercayaan orang lain, baik itu agama, budaya, etnis dan lain di luar diri kelompoknya adalah sesat.
Perbedaan ialah anugerah Tuhan. Perbedaan ialah nikmat yang Allah berikan, sebab dengan itu satu sama lain saling melengkapi. Tidak ada yang patut dilakukan kecuali mensyukurinya. Bukankah semua agama-agama samawi juga mengajarkan umatnya untuk berbuat santun, toleran dan saling menyayangi dalam perbedaan.
Bentuk syukur yang lainnya ialah dengan berkarya untuk Indonesia. Setiap anak bangsa harus memiliki karya, apapun, baik dalam bentuk seni, tulisan, perpolitikan, dan sebagainya, yang semuanya ditujukan untuk kemajuan ibu pertiwi. Mensyukuri keragaman bumi pertiwi berarti mengekspresikannya dalam bentuk prestasi demi mengharumkan negeri.
Menjaga keanekaragaman, baik itu keyakinan atau budaya-budaya yang ada di dalam bumi pertiwi juga merupakan bentuk syukur yang harus dikedepankan demi bumi pertiwi yang elok dan dibanggakan bangsa dan dunia. Tidak sepatutnya seseorang merusak atau menurunkan martabat budaya apapun yang sudah lama dilestarikan di bumi pertiwi ini. Kesemuanya harus dijaga dan dirawat sebagai bentuk syukur atas Tuhan yang telah memberinya.
Bentuk-bentuk rasa syukur tersebut merupakan sesuatu yang mahal yang tidak banyak dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan terus menysukurinya, Indonesia akan menjadi bumi pertiwi yang bukan saja dibanggakan oleh warganya sendiri, namun juga dijadikan inspirasi oleh masyarakat dunia, menginspirasi untuk hidup dalam harmonisasi kebhinekaan dan keanekaragaman.
Bersyukur atas karunia Tuhan atas keberagaman bumi adalah kewajiban yang harus diemban setiap anak bangsa, terutama generasi milenial, karena kebhinekaan ibu pertiwi adalah dambaan inspiratif bagi seluruh negeri-negeri yang ada di bumi. Syukurilah hidup di Indonesia, syukuri dengan menjaga toleransi, keberagaman, dan berbakti untuk kemajuan bangsa.
Penulis: Fitri Siska Supriatna (Mahasiswi Peminat Kajian Filsafat Islam).