Selain sedang menghadapi wabah pandemi Covid-19, sesungguhnya, Indonesia juga sedang menghadapi virus yang sama ganasnya, yaitu virus radikalisme-terorisme. Ini dibuktikan dengan hasil riset Setara Institut (2020), yang menegaskan bahwa masa pandemi menjadi lahan subur tumbuhnya intoleransi dan ketidakrukunan umat beragama. Selama 2020, ditemukan sebanyak 422 pelanggaran Kerukunan Umat Beragama (KBB). Data ini naik pesat dibanding tahun 2019, yang hanya berjumlah 327 (Setara Institut, 2019). Virus Corona bisa dihindari dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat, di samping dengan melakukan vaksin. Namun untuk radikalisme dan terorisme, melalui jejaring online pun masyarakat masih sangat mudah untuk tertular. Vaksinnya tidak semudah vaksin virus Corona.
Indonesia dengan keragamannya, menjadi salah satu target kelompok radikal dan teror melancarkan aksi kekerasan politik yang mengatasnamakan agama. Najih Arromadhoni menyebut, demo dan aksi-aksi bom bunuh diri mirip dengan awal mula peristiwa Arab Spring di Tunisia, yang kemudian menjalar ke berbagai negara Arab. Arab Spring telah menimbulkan gejolak peperangan antar sesama Muslim yang menjalar di berbagai negara Arab, seperti Syariah, Afghanistan, Irak, dan lain sebagainya. Indonesia menjadi target gerakan Arab Spring karena masih adanya orang-orang yang pernah pergi ke Luar Negeri untuk “berjihad” (baca: berperang) dengan ISIS, dan melanjutkan visinya di Indonesia.
Kenyataan ini diperkuat dengan data yang ditemukan oleh Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2016. Kedua lembaga tersebut melakukan penelitian dan menemukan fakta yang cukup mengagetkan. Yaitu, 600 ribu warga negara Indonesia pernah terlibat dalam aksi radikalisme dan Terorisme. Selain itu ditemukan data bahwa, 11 juga Miskin di Indonesia bersedia untuk melakukan aksi radikalisme dan intoleransi. Kemudian setahun setelahnya (2017) hingga dua tahun setelahnya lagi (2019), Kemenkominfo menyebut bahwa tindakan radikalisme meningkat drastis melalui Media Sosial, yaitu sebanyak 9.542 kasus, yang melibatkan anak-anak milenial.
Radikalisme terus mencintai bangsa kita. Dahulu di tahun 2018, Mako Brimob Depok diributkan dengan aksi terorisme di dalam bui. Mereka merampas senjata penjaga sel dan membuat kegaduhan. Aksi ini yang kemudian membangunkan para teroris yang lainnya. Misalnya, di Padang, Sumatera Barat, terdapat Dosen yang menjadi konsultan dua orang pemuda yang hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Mako Brimob (Tribun, 2018). Kemudian tidak lama, di Bogor, rumah seorang Dosen menjadi tempat pembuatan Bom Molotov. Pun selama masa pandemi, aksi-aksi ini masih saja terus bermunculan. Bom Gereja di Makassar dan penyerangan Mabes Polri oleh seorang perempuan adalah sebagian dari aksi tersebut. Masih banyak aksi-aksi yang lainnya yang patut diwaspadai agar tidak menular ke mana-mana.
Untuk bisa menjaga Indonesia dari wabah penyebaran virus radikalisme-terorisme harus mengetahui apa saja ciri-ciri dari faham radikal ini. Yusuf Qardhawi menyebut ada enam ciri kelompok ini. Pertama, hanya meyakini keyakinan tunggal. Bagi kelompok ekstrim ini, agama hanya hitam putih. Surga dan neraka. Baik dan buruk. Yang baik, hanya kelompok mereka sendiri, sedangkan yang selainnya salah, masuk neraka. Kedua, kelompok teror ini mengutamakan ibadah hanya dari sisi penampilan. Misalnya, kalau tidak pakai jenggot, jubah, atau celana cingkrang, maka salah, ibadahnya tidak sah, dan lain sebagainya. Ciri ketiga, kelompok ini a-politik, tidak mau mengikuti ketentuan politik di negaranya, seperti tidak mau meyakini Demokrasi, Pancasila, UUD, dan NKRI.
Ciri berikutnya yang perlu diketahui agar bangsa kita tidak terpapar radikalisme adalah gemar melontarkan cap kafir kepada orang lain yang berbeda keyakinan. Misal, orang yang tidak ikut dengan kelompoknya maka kafir. Atau, orang yang tidak mau menganggap Kafir kepada yang mereka anggap kafir, maka ia telah kafir. Hanya mereka yang tidak kafir, dan selain dirinya, karena kafir, maka wajib diperangi. Ciri kelima, mereka tertutup dengan masyarakat. Kelompok ekstrim sulit untuk beradaptasi dengan tetangga sekitar. Mereka cenderung tertutup dan hanya mau berteman dengan kelompoknya yang sesama radikal. Dan ciri yang keenam, menggunakan kekerasan dalam beragama. Kelompok radikal selalu mengatasnamakan agama, jika ingin melakukan kekerasan, agar dipercayai orang banyak.
Keenam ciri di atas perlu menjadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia yang masih mencintai bangsanya. Keenam ciri tersebut bahkan perlu kiranya disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang terpapar kelompok ekstrim radikal. Sebaliknya, masyarakat harus diberikan edukasi tentang wawasan kebangsaan dan Islam. Bahwa, Islam dan atribut kebangsaan seperti Pancasila dan UUD, tidak bertentangan dengan Islam. Nilai-nilai Pancasila, yaitu ke-Tuhan-an, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial, semuanya sejalan dengan semangat Islam. Pun dengan UUD yang menjadi konstitusi Indonesia, sejalan dengan Piagam Madinah yang menjadi landasan hukum kehidupan Nabi Muhammad dengan masyarakat Madinah. Keduanya bukan produk hukum Islam, namun semua pasalnya sangat Islami.[]
Tulisan dimuat di sangkhalifah.co
Penulis: Lufaefi.