Melihat ini, orang-orang Quraisy berinisiatif untuk merenovasinya. Tapi, ada satu masalah lagi. Bangunan Ka’bah terlalu ‘keramat’ bagi mereka, tidak berani meruntuhkannya untuk kemudian direnovasi. Takut kualat.
Setelah lama dalam dilema, akhirnya Walid bin Mughirah al-Makhzumi memberanikan diri merobohkannya. Melihat tidak terjadi apa-apa, yang lainnya mengikuti. Jadilah Baitullah direnovasi. Masyarakat kompak bergotong royong, termasuk melakukan peggalangan donasi untuk membeli bahan-bahan bangunan yang diperlukan.
Ada yang menarik, orang-orang Quraisy sangat selektif dalam menerima sumber dana. Donasi yang bersumber dari uang haram, seperti hasil mencuri, basil dari melacur, hasil riba, semua ditolak. Benar-benar harus steril.
Singkat cerita, selesai sudah Ka’bah dibangun. Tinggal peletakan batu hitam (hajar aswad) saja. Polemik besar terjadi di sini. Masing-masing klan Arab merasa paling berhak untuk meletakan batu mulia itu. Hampir saja pertumpahan darah terjadi di Tanah Suci.
Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi menawarkan solusi, siapapun yang pertama kali memasuki pintu masjid, dialah yang berhak. Usulannya disetujui. Ternyata, Muhammad lah yang pertama memasukinya. “Ini adalah Al-Amin (orang yang terpercaya)!,” aku mereka.
Sesuai kesepakatan, Muhammad dipersilahkan untuk meletakan batu mulia Hajar Aswad. Namun, Nabi punya cara lain. Ia mengambil selendang dan meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengahnya. Lalu, tiap-tiap dari pimpinan klan Arab memegangi ujung selendang, diangkat bersama.
Ketika mendekati Ka’bah, Nabi baru mengangkatnya sendiri. Dengan begini, hilanglah ketegangan antar klan. Solusi cerdas dari Nabi.
Artinya, orang ‘alim (pandai ilmu agama) saja belum cukup. Peran kecerdasan sangat perlu. Dengan kecerdasan, seseorang mampu berpikir ‘out of the box‘ (berpikir luar biasa, yang jarang terpikir orang lain).
Makannya, kiai-kiai kita itu kadang unik. Selain ‘alim, mereka juga cerdas. Salah satu kiai saya, KH Musthafa ‘Aqil Siroj, lebih suka shalat sunah di rumah. Sehingga shalat qabliyyah (sebelum shalat fardhu) dan ba’diyyah (setelah shalat fardhu) dikerjakan di rumah.
Bagi orang yang tidak paham, mungkin akan berperasangka buruk. “Loh, kok. Kiai selesai shalat di Masjid, langsung pulang, tidak ba’diyahan dulu?!”
Ada salah satu penjelasan menarik dari Ibnu Batthal (w. 449 H).
Artinya: “Cara menghapus dosa ‘tanpa capek’ adalah dengan tetap berada di tempat shalat saat selesai shalat, supaya banyak didoakan dan dimintai ampunan oleh para malaikat. Ini mujarab.”
(Ibnu Bhattal, Syarah Sahih Bukhari, juz 2, hal. 95)
Ini yang kemudian dijadikan alasan, mengapa rumah harus sering dishalat sunahi. Biar penghuninya sering didoakan malaikat, dan diampuni dosa-dosanya.
Makannya, saya lebih suka shalat sunnah di tempat biasa buat tidur. Kebetulan, kamarnya sempit: belajar, tidur, shalat sunah, dan sebagainya, ya di situ. Kalau shalat fardhu, ya jamaah di masjid dong. Karena biasa dipakai buat shalat, insya Allah, selama di tempat itu, banyak didoakan malaikat.
Oleh Muhamad Abror, Alumnus Ponpes KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Mahad Aly Sa’iidiaahiddiqiyah Jakarta.