Shalat jamaah di masjid memang memiliki pahala yang berlipat ganda. Dalam keadaan biasa (halah al-ikhtiar), Imam Syafi’i menghukum shalat jamaah sebagai sunnah mu’akkadah, sedangkan Imam Nawawi Banten menghukumi sebagai fardu kifayah. Akan tetapi dalam kondisi darurat, agama Islam sebagai agama cinta, memberikan keluasan hukum shalat berjamaah, sebagai bentuk kemudahan bagi pemeluknya. Bahkan sampai pada ketidakharusan pergi ke Masjid, dan diharuskan di rumah.
Salah satu kaidah Ushul Fikih yang cukup masyhur ialah:
Kesulitan dapat mendorong kemudahan
Kaidah ini memberikan panduan bahwa dalam kondisi yang sulit kita diperbolehkan untuk tidak melakukan apa yang diharuskan agama. Misalnya, kita boleh tidak melakukan wudhu manakala dihadang binatang buas. Atau, tidak perlu wudhu dan mandi besar – dan diganti tayamum – manakala tidak ditemukan air. Begitu pun contoh-contoh semisalnya.
Begitu juga dalam pandemi Virus Corona, umat Islam sulit untuk menghindari penularan virus dalam kerumunan masa atau jamaah ketika di masjid saat hendak berjamaah. Dalam kondisi darurat seperti ini, umat Islam diperbolehkan untuk shalat berjamaah di rumah, tidak di Masjid. Karena menghindari sesuatu yang membahayakan (penularan virus ganas) harus didahulukan daripada melakukan kebaikan agama. Sebagaimana kaidah Ushul Fikh yang lain, “daf’ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih“.
Salah satu hal yang harus dilakukan umat Islam dalam kondisi mewabahnya virus Corona seperti sekarang adalah menjaga jiwa, baik jiwa individu atau orang lain. Menjaga jiwa sendiri merupakan salah satu tujuan mengapa agama diturunkan. Artinya, ibadah apapun jika tidak bisa menjaga jiwa, maka harus ditangguhkan terlebih dahulu, dan mengutamakan keselamatan jiwa. Shalat jamaah di Masjid tak perlu dilakukan dahulu guna mewaspadai dan menghindari penularan virus.
Agama Islam sebagai agama cinta, yang selalu memberikan kemudahan bagi pemeluknya, memiliki ketentuan bahwa sesuatu ketika dirasa sempit, maka hukumnya akan menjadi luas. Kaidah tersebut berbunyi:
Ketika dalam posisi sempit di mana orang Islam sulit mendapatkan pahala shalat jamaah di Masjid, maka Islam memberikan besarnya pahala shalat itu bagi yang melakukannya di rumah. Islam tak pernah memberikan tekanan kepada pemeluknya. Sebagai agama cinta ia memiliki banyak opsi yang menjadikannya sebagai agama kemudahan bagi para pemeluknya.
Bukti lain bahwa Islam adalah agama cinta yang selalu memberikan kemudahan bagi pemeluknya adalah berlakunya enam kaidah dispensasi dalam melaksanakan syariat. Pertama, isqath (memutus). Islam memberikan dispensasi untuk memutus melakukan ibadah jika dalam kondisi darurat, seperti memutus melakukan haji, umrah dan shalat jamaah. Kedua, tanqish (mengurangi), seperti mengurangi jumlah rakaat shalat dalam kondisi shalat musafir.
Ketiga, ibdal (mengganti), seperti mengganti wudhu dengan tayamum jika dalam darurat ketiadaan air. Keempat, taqdim (pendahuluan), seperti shalat jama’ taqdim juga dalam posisi musafir. Kelima, tarkhish (rukhsah), seperti dibolehkannya meminum air keras manakala seseorang tidak mendapatkan air, sementara ia hampir mati. Dan keenam, taghyir (merubah), seperti merubah kiblat saat shalat khauf, atau dalam keadaan ketakutan perang dan semisalnya.
Begitulah Islam sebagai agama cinta, banyak memberikan kemudahan bagi pemeluknya dalam beribadah. Yang pasti, Islam memberikan jaminan pahala bagi orang-orang yang melakukan jamaah di rumah ketika wabah Covid-19 seperti sekarang, sama seperti memberikan pahala jamaah di Masjid dalam kondisi ketiadaan Covid-19. Islam memastikan pahala 27 lipat itu juga diberikan bagi mereka yang patuh pada Allah, Rasul dan Pemerintah negaranya, dengan melaksanakan shalat di rumah dan mematuhi anjuran pemerintah untuk tetap di rumah dan aturan lainnya selama wabah Covid-19 masih menjangkit bangsa kita.
Penulis: Hasan Asy’ari, QH., ME (Pendiri Ponpes Anjumul Wathan, Jakarta).