spot_img

Ternyata Imam Syafi’i Pernah Tidak Qunut

Pada umumnya, umat Islam di Indonesia mengerjakan qunut di waktu shalat subuh. Karena mayoritas mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’i. Namun, apa yang dimaksud dengan qunut?

Menurut Syekh Abdullah bin Ibrahim dalam Hasyiyah al-Syarqawi, mengatakan bahwa pengertian qunut secara bahasa adalah pujian. Sementara pengertian qunut menurut istilah syara’ adalah sebuah zikir khusus yang di dalamnya terdapat do’a dan pujian kepada Allah.

Di dalam mazhab Syafi’i, qunut dianjurkan untuk dikerjakan pada saat shalat subuh. Karena ia digolongkan oleh Imam Syafi’i sebagai salah satu sunnah ab’adl. Apabila seseorang lupa mengerjakan qunut, maka ia harus melakukan sujud sahwi di akhir shalatnya. Juga, berlaku pada sunnah ab’adl lainnya, seperti membaca shalawat kepada Nabi dan keluarganya pada tahiyat, tasyahud awal dan duduk tasyahud awal.

Berbeda dengan Imam Hanafi dan Imam Hambali, kedua ulama ini dengan tegas mengatakan bahwa qunut di saat mengerjakan shalat subuh tidak sunnah. Qunut hanya sunnah pada shalat sunnah witir.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar, karangan Imam Taqiyuddin al-Dimasyqi, disebutkan alasan mengapa qunut itu sunnah, adalah adanya hadis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. selalu mengerjakan qunut hingga akhir hayatnya. Hadis ini dapat dijumpai dalam kitab hadis Musnad Ahmad.

Imam Syafi’i sepanjang hidupnya selalu mengerjakan qunut di waktu subuh, kecuali ketika ia menjadi imam shalat subuh di Masjid Agung Abu Hanifah atau Jâmi’ al-A’dzham. Sebuah masjid yang terletak di dekat makam Imam Abu Hanifah di Baghdad, Irak.

Diceritakan oleh Thaha Jabir Fayyadl al-Alwani dalam Adâb al-Ikhtilâf fi al-Islâm, bahwa Imam Syafi’i melakukan itu dengan sengaja atau tidak dalam keadaan lupa. Saat ditanya, ia mengatakan: rubamâ inhadarnâ ilâ mazhab ahlil ‘irâq, kami terkadang mengikuti mazhab orang Irak.

Ia juga mengatakan: Kami tahu Imam Hanafi tidak menganggap qunut itu sunnah pada shalat subuh, maka kami memilih untuk meninggalkannya untuk menjaga adab.

Ada dua pelajaran yang dapat diambil dari kisah Imam Syafi’i di atas. Pertama, Imam Syafi’i tetap menjaga adab dengan Imam Hanafi yang berbeda pandangan dengannya. Sikap tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada Imam Hanafi. Penulis teringat dengan adagium yang mengatakan bahwa adab itu lebih utama dibandingkan dengan ilmu.

Imam Syafi’i memperlihatkan keluhuran akhlak yang dimilikinya. Kendati ia memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak ada keraguan baginya untuk meletakkan ilmunya di bawah adabnya. Sebagai pengikut mazhab Syafi’i, kita seharusnya mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i.

Perbedaan pandangan tidak membenarkan timbulnya permusuhan di tengah-tengah umat Islam. Perbedaan harusnya dijadikan sebagai rahmat yang perlu disyukuri dan tidak harus diperdebatkan, serta memandang rendah orang lain.

Kedua, pandangan keagamaan antara satu ulama dengan yang lainnya tidak perlu dihadap-hadapkan, karena semua ulama memiliki cara untuk memilih satu dalil berdasarkan manhaj berpikirnya masing-masing. Oleh karena itu, umat Islam dapat memilih salah satu pandangan keagamaan Imam Syafi’i, Imam Hanafi atau ulama lainnya untuk diikuti.[]

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles