Foto/Bincangsyariah
Perusakan dengan pemboman tempat ibadah di Indonesia sering terjadi. Beberapa hari ke belakang, giliran Gereja Katedral Makassar. Memang tidak menyebabkan kerusakan fisik berarti, tapi di balik itu semua menunjukan bahwa radikalisme dan terorisme masih masif di Indonesia. Ideologi radikalisme, intoleransi dan terorisme masih menjamur di masyarakat.
Setelah berita pemboman itu ramai, banyak orang melakukan kontra narasi dengan mengutip ayat dan riwayat. Salah satu yang menjadi senjatanya adalah perjanjian nabi dengan kaum Nasrani Najran. Perjanjian itu disebut Perjanjian Najran. Dalam perjanjian itu, nabi menjamin keberadaan gereja bahkan sampai pada tahap menolong pembangunan gereja.
Akan tetapi hadis itu dipertanyakan kredibilitas dan keabsahannya. Sebagian orang yang menganggap dirinya kritis, menolak hadis ini. Mereka menyebut hadis itu palsu. Bahkan mereka menyebut Quraish Shihab mengada-ada terkait hadis tersebut. Ini thesis statement-nya. Lalu pertanyaannya, apakah jika hadis tersebut palsu kita diperbolehkan melakukan teror bahkan perusakan pada tempat ibadah agama lain, termasuk gereja?
Menjawab pertanyaan itu dengan pendekatan hadis agak bahkan sangat sulit. Pasalnya, standar kesahihan hadis tidak satu kata. Terkadang orang melemahkan suatu hadis, tapi di lain pihak hadis tersebut dianggap sahih oleh orang lain. Yah, tidak ngawur juga jika standar hadis itu tergantung “kecocokan” dengan pribadi. Kalau hadis itu cocok dengan anda berarti hadis itu sahih. Kalau tidak cocok, kita sudah tau jawabannya.
Kita akan gunakan pendekatan lain untuk menjawab pertanyaan di atas. Manusia dikodratkan untuk saling berinteraksi, berkomunikasi, bersilaturahmi dan aktivitas sosial lainnya. Maka dari itu Aristoteles menyebutnya sebagai zoon politicon, hewan bermasyarakat. Aristoteles malah menyebut manusia sebagai hewan bermasyarakat. Memang ini tidak lepas dari definisi manusia dalam logika Aristoteles, yaitu hewan yang berakal. Karena akalnya itu, manusia tidak bisa melakukan semua dengan sendiri, dia butuh pada yang lain. Dia dikodratkan untuk bersosial.
Pemikir lain seperti Adam Smith, menyebutkan manusia dengan homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi manusia lainnya. Thomas Hobes menyebutnya sebagai homini lupus. Pemikir lain menyebutnya dengan homo socius. Tak bisa dinafikan, manusia butuh pada yang manusia lainnya. Bahkan tidak hanya pada manusia, termasuk pada alam sekitar. Dan sebenarnya tidak perlu mengutip Aristoteles, Thomas Hobes dan pemikir barat lainnya untuk menjustifikasi bahwa manusia makhuk yang butuh pada yang lain dan dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan sendirian.
Di sisi lain, menurut Niccolo Machiavelli manusia memiliki sifat alami (human nature) yang buruk seperti tidak tahu terima kasih, tamak, melepaskan diri dari bahaya dan lain sebagainya. Jika Machiavelli menyebutkan human nature ini sebagai keseluruhan sifat manusia, kita boleh saja tidak setuju. Tapi jika itu disebutkan untuk sebagian aspek dari diri manusia, tidak ada alasan untuk kita menolaknya. Artinya, manusia memiliki potensi untuk berbuat keburukan dan kebaikan. Dan itu pun tidak perlu mengutip Machiavelli untuk menjustifikasi bahwa manusia memiliki potensi berprilaku buruk dan baik.
Di ranah sosial, manusia dari berbagai agama berinteraksi dalam segala hal termasuk dalam praktik keagamaannya. Dari interaksi ini, dengan doktrin agamanya, maka dimungkinkan akan terjadi sesuatu yang buruk karena manusia memilliki potensi untuk itu. Sesuatu yang buruk itu mangancam praktik sosialnya termasuk pelaksanaan praktik keagamaannya di ruang publik. Dari latarbelakang itu, maka harus dibuat kesepakatan-kesepakatan (regulasi) untuk menjamin pelaksanaan praktik keagamaan di ruang publik. Maka dari itu, di Indonesia dibuat regulasi tersebut. Agama-agama yang diakui di Indonesia berhak mendirikan rumah ibadah, dan itu dijamin dalam Peraturan Bersama Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri No 8 dan No 9 Tahun 2006. Ini tidak lain untuk menjamin kerukunan umat beragama.
Dari uraian di atas, setiap umat berhak mendirikan tempat ibadahnya. Karena haknya itu, maka mereka pun memiliki kewajiban untuk saling menjaga tempat ibadahnya masing-masing. Hal ini demi kelangsungan pelaksanaan praktik keagamaan di ruang publik dan menjaga kerukunan umat beragama. Karena secara natural setiap orang tidak rela tempat ibadahnya diruksak. Sesederhana itu, tak perlu nash agama yang rumit untuk menjustifikasinya.[]
Penulis: Beta Firmansyah, Alumni STFI Sadra dan Pengajar Ponpes al-Ihsan Cisaat.