spot_img

Semangat Beragama yang Salah Kaprah di Tengah Wabah

 

ISTIMEWA

Entah! Apa penyebutan yang pantas untuk mewakili kondisi keberagamaan sebagian orang yang sukar untuk dipahami, bukan karena perkara itu sulit tetapi karena sip karakter itu yang sulit menerima. Kita sangat mafhum dengan keniscayaan sebuah perbedaan pendapat karena itulah fitrah manusia. Kita ada karena wasilah perbedaan yang bersatu, jadilah kita. Tetapi jika perbedaan itu bersumber dari kelalaian rasanya hal ini yang sulit diterima. Kondisi inilah yang sekarang sedang menjamur di tengah masyarakat yang dirundung dua musibah; wabah dan beragama yang salah kaprah.

Ramainya pro-kontra orang terhadap fatwa MUI yang sedang gandrung ini menjadi sangat menggelitik. Tepatnya isu ini yang menggelitiki saya untuk tertarik mengomentari. Walau sesungguhnya sama sekali saya tidak tertarik untuk ikut campur memperdulikan tanggapan orang tentang fatwa tersebut. Namun sebuah kondisi dimana saya tinggal terasa begitu hangat, awalnya karena saya pikir ini sebagai proses pembelajaran juga yaitu adanya pro-kontra terhadap sebuah diskursus tertentu itu hal yang bagus karena memicu sebuah diskusi, pikir saya. Tetapi setelah lama saya amati dan ikuti diskusi tersebut justru malah terlihat aneh dan tidak berdasar. 

Hal yang menggelitik itu adalah datang dari semangat beragama yang aneh. Disebut aneh karena keberagamaan yang tidak memiliki landasan yang kuat. Padahal dalam hal apapun pondasi adalah sesuatu yang sangat pokok untuk terbentuknya suatu bangunan yang kokoh. Baik itu bangunan agama ataupun non-agama. Satu-satunya landasan yang saya lihat dari mereka dan menurut hemat saya ini janggal karena hanya mengandalkan semangat dalam beragama ini. Tentu saja logika ini sangat buruk dan tidak bisa diterima. Karena agama ini bukan seperti tokoh Marvel yang dengan semangatnya bisa merubah hal semustahil apapun dengan hanya mengandalkan semangat. Ada diantara saudara kita yang berpikir dengan logika tersebut dan tentu sangat berbahaya. Bahkan lebih mengerikan lagi ketika seorang yang bukan ahlinya tiba-tiba ikut menentukan sesuatu diluar keahliannya, ini yang repot. 

Suatu kerusakan besar akan terjadi ketika dilakukan oleh seorang cendikia, namun ada kerusakan yang lebih parah yaitu seorang yang tidak tahu beribadah dengan ketidaktahuannya. Nampaknya apa yang tersirat dari syair Imam Syafi’i diatas juga berlaku bagi keadaan hari ini dimana orang-orang yang bukan ahlinya ikut berkomentar seolah ahli dibidangnya. Tentu saja peristiwa ini sangat ironis dan bukan hanya itu, tentu berimbas pada kerusakan sebagai akibatnya. Kita lihat simpangsiurnya informasi di berbagai media yang tidak mampu untuk kita bendung dan halangi. Satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah bagaimana sebisa mungkin kita menyaring informasi tersebut dengan ketat. Celakanya adalah mayoritas kita sangat minim dalam hal tersebut, terlebih terhadap informasi yang sifatnya propaganda yang mendukung pendapat kita, maka akan langsung ditelan mentah.

Ada Sebagian kalangan kita yang sangat keras mengkritisi fatwa yang dikeluarkan MUI terkait wabah ini terutama tentang anjuran sementara menutup dan tidak melaksanakan rutinitas keagamaan seperti biasa. Seperti solat berjama’ah, jumatan, tarawih, iedul fitri atau apapun yang berhubungan dengan kerumunan. Telah saya katakan diatas bahwa saya tidak anti terhadap perbedaan pendapat asalkan perbedaan tersebut bersumber dengan landasan yang kokoh bukan mengandalkan hanya semangat yang salah kaprah. Apalagi seolah-olah bertindak seperti seorang alim berfatwa dengan mengusung beberapa ayat, hadis dan beberapa kaidah usul fiqih hasil kopas dari group WA tetangga. Terkadang dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa siapapun yang ikut andil dalam penutupan masjid ini akan mendapatkan azab dari Allah kelak di akhirat dengan mengusung ayat ke 114 surat al-Baqarah.

Terkadang sebagai sesama orang awam pun saya merasa kaget dengan logika sebagian kalangan kita yang memiliki pandangan di atas tadi. Betapa tidak, dengan sangat “baik hati” mengatakan bahwa siapapun yang ikut andil dalam penutupan masjid tersebut akan ikut bertanggung jawab di akhirat kelak dihadapan Allah SWT. sebagai seorang yang berdosa. Dalam hati saya tertawa tertawa geli, bukan mentertawakan ayat al-Qur’an yang diajukan tadi, tetapi mentertawakan sikapnya yang terburu-buru memvonis orang lain tanpa pertimbangan yang didukung dengan ilmu pengetahuan. Padahal sangat jelas jika kita bertindak (berkomentar/atau apapun itu) tanpa dasar ilmu, jelaslah tindakan kita tertolak. Sekali lagi saya tidak sedang meremehkan kandungan ayat tersebut namun kritis terhadap pemikiran orang yang dengan mudah mencomot ayat tersebut dan menyajikannya secara”gelondongan”.

Dari sini jelas saya tidak bisa untuk diam dan mendiamkan walau saya tidak mengklaim bahwa saya telah memiliki kapasitas untuk merespon tindakan gegabah tersebut. Tetapi berangkat dari sedikit dan sedangkal ilmu yang saya tahu bahwa paling tidak harus ada landasan kaidah ketika kita akan mengambil istinbath hukum dari sebuah ayat atau sebagian ayat al-Qur’an dengan seabreg syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Baik itu sebab nuzul, kemudian mampu membedakan mana yang muthlak muqayyadnya, ‘am dan khash nya, belum lagi bagaimana indikasi berdasarkan redaksi (dilalah lafdziyah) dan banyak lagi seperti yang telah disepakati oleh spesialis bidang ini. Nah mereka dengan sangat mudah melakukan pencomotan “sekarepe dewek” terhadap ayat al-Quran ini tentu tindakan tersebut sangat kacau sekali. Dalam konteks inilah saya ajukan keberatan saya tersebut. 

Atau tidak usah kita lihat dari kacamata ilmu, untuk mengatakan bahwa logika yang mereka bangun jelas kurang baik, kita cukup lihat dengan kacamata logika sederhana saja yang mudah dipahami oleh orang se-awam saya sekalipun. Kita tentu akan menolak ketika kita sakit kemudian seorang selain dokter memberikan dosis obat tertentu untuk kita konsumsi sebagai penawar sakit yang diderita. Saya yakin jika orang tersebut waras akalnya pasti tidak akan begitu saja percaya pada anjuran orang yang bukan ahli di bidangnya. Lalu ketika siapaun selain dokter tibat-tiba memberi dosis terhadap pasien maka apa pendapat kita? Sekarang kumpulan spesialis tersebut karena kondisi tertentu melarang kita untuk menjauhi hal yang menurut pandangan kita sebagai hal yang wajib ada dalam kehidupan dan tiba-tiba dilarang untuk mengkonsumsinya, kita ambil nasi sebagai contoh saja. Kita tahu bahwa nasi itu baik dan merupakan bahan pokok. Tetapi karena kondisi tertentu jika kita mengkonsumsinya justru malah mendatangkan penyakit maka dokter tersebut melarangnya sebagai langkah kebaikan untuk kita. Lalu apa hanya dengan mengatakan bahwa ajal seseorang telah diatur oleh Allah kita dengan mudah mengabaikan anjuran ahli di bidangnya?

Rasanya tidak. Karena apa yang terjadi di dunia ini berlaku sunntullah (hukum sebab akibat) yang juga perlu kita indahkan sebagai ketentuan juga dari Allah untuk kita patuhi, tanpa harus kita kehilangan keyakinan kita terhadap inayatullah yang jauh berada diatas sunnatullah tersebut. Jadi mari kita gunakan akal yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita sebagai bentuk ke-syukuran kita kepadaNya. Paling sederhana lagi mungkin perlu saya katakan, kalau kita tidak mampu dan bukan ahli di bidangnya cukuplah bagi kita untuk tidak ikut berfatwa seolah ahlinya, kalau kepada yang ahli saja kita tidak percaya, yasudah silahkan buat dosis sesuai kehendakmu saja. Kita tunggu saja kerusakan selanjutnnya. 

Semangat dalam beribadah juga dianjurkan, tetapi ada juklak dan juknis yang juga perlu dipertimbangkan, jangan sampai karena dorongan semangat yang menggebu lalu kita mengabaikan kedua term tadi. Repot. Walau kita tahu fungsi obat sebagai penawar namun akan jadi racun jika dosisnya tidak sesuai, apalagi ini al-Qur’an. Dengan semangat menggebu jangan sampai kita sembrono memaksakan untuk melaksanakan ibadah berjamaah di masjid apalagi telah ditetapkan sebagai zona bahaya, kecuali Kawasan yang benar-benar bebas. Dalam hal ini ulama kita telah melakukan sebuah kesepakatan (ijma’) demi kemaslahatan umat. Hal yastawi alladzina ya’lamuna wa alldzina la ya’lamun? Wallahu ‘alam.[]

Penuis: Indra Permana (Mahasiswa PTIQ Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles