“Bagi orang desa, momen maulid nabi adalah bukti cinta tak bersyarat dan cara mereka memupuk solidaritas antar sesama dengan murah meriah.”
Bagi kami orang-orang desa, mendengar momen maulid nabi adalah mendengar suara marhabanan (di daerah lain mungkin beda istilah) dari satu surau ke surau lainnya –saling bersahut, lengkap dengan musik rebananya. Dan melihat jejeran ‘ambeng’ (nasi selauk-lauknya dalam porsi besar untuk disantap berjamaah) yang dihidangkan di tengah-tengah perkumpulan maulid berlangsung –tentu dengan aneka lauk khas desa yang tepat diletakkan di atas nasi dengan pembatas daun pisang atau daun pohon jati.
Ambeng-ambeng itu dibuat dengan penuh cinta. Sebagian mungkin dibela-belain ‘ngutang’ dulu untuk menyajikan hidangan istimewa dan, tentunya, kreatifitas dirinya itu —wong sudah cinta. Kalau sudah cinta, jangankan urusan ‘ambeng’, nyawapun siap jadi taruhannya. Begitu orang bilang.
Dulu saat saya masih kecil, di tempat saya lahir, Desa Prapag Kidul, Losari, maulid nabi saya definisikan sebagai momen berburu aneka kue dan, lagi-lagi, ‘ambeng’. Huss, ini bukan ‘ambeng’ sembarangan. Lauknya macam-macam. Biasanya ikan dan ayam utuh yang membuat postur ‘ambeng’ terlihat kerucut menggunung. Surau-surau dan masjid desa adalah tempat sasaran saya dan teman-teman satu geng untuk kami selidiki. Rangkaian maulidnya, sih, menurut saya kala itu, nggak penting-penting amat: nggak usah lama-lama, deh, bikin ngantuk. Intinya ‘ambeng harga mati’. Tarik siss.
Waktu kian berlalu. Pengalaman semakin bertambah. Bacaan pun banyak menyumbang wawasan. Bertambahnya usia membuat saya memiliki pandangan baru akan momen-momen maulid nabi yang dirayakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal itu. Perayaan maulid nabi yang saya rutin antusias mengikutinya, dan gelora berburu ‘ambeng’ yang berapi-api, ternyata memiliki nilai luhur yang sangat berharga. Mengapa tidak saya sadari sedari dulu? –sedari hanya ambeng-lah prioritas nomor wahidnya.
Setidaknya, ada dua nilai luhur dari cara masyarakat desa merayakan maulid Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pertama, rasa cinta terhadap Kanjeng Nabi Muhammad Saw. itu tidak bersyarat, tidak butuh dalil.
Kebanyakan orang-orang desa, mereka hanya tahu Kanjeng Nabi, sebatas tahu saja. Tahu bahwa Kanjeng Nabi Muhammad Saw. adalah nabi akhir zaman, nabi yang membuat mereka bisa menikmati Islam –tentu dengan cara berislam khas orang desa, dan beberapa hal lainnya.
Mereka tahu semua itu dari ‘puji-puijan’ pas salat lima waktu lewat speaker musala yang kadang mengganggu, sebab kelewat keras karena posisi toa musala tepat di samping rumah. Atau malah bikin ngantuk karena suaranya pelan dan kadang tak jelas —pujian apa yang sedang dikumandangkan. Bisa jadi juga mereka kenal Kanjeng Nabi melalui ngaji rutinan yang biasa diselenggarakan oleh kiai-kiai kampung di desa. Seringnya langsung lupa pas ngaji sudah bubar. Orang yang ngaji rata-rata lansia, boro-boro nyatet di kertas. Paham juga untung. Itupun pak kiai harus mengemas sesederhana mungkin dan tidak jarang harus diulang-ulang biar ada ‘kemungkinan paham’.
Orang-orang desa juga tidak terlibat dalam perdebatan penjang ‘bid’ah’ maulid nabi. Tidak sama sekali. Secara kultural, dan sejak dahulu, mereka sudah bareng-bareng merayakannya dengan penuh rasa suka dan cinta. Cinta yang tidak butuh dalil. “Mana quran-hadisnya?”
Kedua, momen maulid nabi adalah momen untuk memupuk semangat persaudaraan antar sesama.
Momen maulid nabi menjadi momen sedekah besar-besaran. Bagi mereka saat itu, memberikan yang terbaik untuk orang lain adalah hal yang paling menggembirakan. ‘Ambeng‘ yang mereka sajikan atas kesadaran dan tanpa tuntutan formal dari pihak mamapun, membuktikan semangat kebersamaan yang masih terjaga dan tetap harum. Adanya sebagian orang yang sampai berhutang untuk membuat hidangan istimewa, di samping sebagai rasa cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw, juga merupakan upaya untuk menggembirakan banyak orang tanpa mengharap untung atau imbalan barang sepeserpun.
Saat maulid nabi berlangsung, masyarakat berbondong-bondong menghadiri acara maulid nabi diselenggarakan. Paling tidak, di musala terdekat. Tujuan mereka bukan untuk berburu ‘ambeng’, bukan. Itu mungkin terbesit, iya. Tapi ada yang lebih luhur daripada hanya sekedar menikmati hidangan spesial maulid itu. Ini adalah acara yang harus hadiri, ada dorongan solidaritas yang kuat. Bahkan, seandainya tidak hadir, ada rasa tidak enak dengan jamaah yang hadir. Dan esok harinya, jika tidak hadir, ada rasa malu bertemu orang-orang desa. Terutama jika berpapasan dengan orang yang hadir di acara maulid itu.
Cara masyarakat desa merayakan maulid Nabi Muhammad Saw. adalah bukti kecintaan mereka terhadap sosok nabi kasih sayang. Cinta yang tidak butuh dalil. Maulid nabi juga menjadi momen memupuk solidaritas antar warga desa dengan cara yang ‘murah’ dan sederhana. Saat solidaritas mulai menjadi barang langka di dunia yang semakin wedan.
Penulis: Muhamad Abror (Mahasantri Mahad Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta)