spot_img

Relasi Agama, Bahasa, dan Bencana

Foto: pikiranrakyat

Persoalan relasi Agama dan bencana sejak dulu selalu menjadi perhatian masyarakat, minimal bagi lapisan pemikirnya. Persoalannya mungkin secara langsung tidak tertuju pada Agama, melainkan pada pemahaman dan sikap para pemeluknya. Akan tetapi, bersamaan dengan itu biasanya akan muncul sebuah asumsi bahwa Agama itu sendiri adalah sumber bencana. Bagaimana bisa?


Dahulu, bencana alam dan berbagai wabah dipahami sebagai sesuatu yang murni supranatural. Misalnya, ia dipahami sebagai reaksi amarah dewa-dewa. Andaikata tidak dinisbatkan pada para dewa, para pendahulu kita akan menisbatkannya pada alam itu sendiri, tapi bukan dalam konteks yang ilmiah, melainkan konteks yang sangat antropomorfis, yakni alam yang memiliki sense dan emosi untuk ‘bersahabat’ atau ‘bermusuhan’ dengan para penghuninya.

Teringat sebuah lagu ya? Ya, lagu legendarisnya milik pak Ebiet G. Ade:

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

Terasa sangat dalam ngga liriknya? Atau cuma perasaan saya saja?

Terlepas dari itu, jika harus digolongkan, saya cenderung menyebut penggalan lirik tersebut sebagai contoh “ungkapan romantis” dalam menggambarkan hubungan antara Tuhan, alam dan manusia. Dalam paradigma ini, segala sesuatu seringkali dijelaskan dengan redaksi yang kualitatif dan penuh romansa; seolah-olah kita semua (Tuhan, alam dan manusia) itu satu keluarga dimana kadang ayah marah pada anak, kadang ibu menjadi cerewet dan kadang anak suka ngambek dan bikin ulah.

Akan tetapi, sepanjang sejarah, ungkapan-ungkapan seperti itu selalu mendapat penantang, kalau tidak ingin disebut penentang. Sebagai contoh, pernahkah Anda terpikir mengapa Aristoteles menyebut Thales dkk sebagai para filosof pertama? Padahal, sebelum era itu, di Yunani minimal ada Homer dan Hesiod yang karya-karyanya mengandung banyak makna filosofis.

Bahkan, jika Aristoteles melihat upanisad-upanisad lama, ia pun sepertinya tidak akan menggolongkan itu sebagai karya filosofis. Mengapa? Salah satu sebabnya mungkin karena Aristoteles berpandangan bahwa terdapat “eksplanasi” atau gaya pembahasaan yang amat berbeda antara filsafat dan disiplin-disiplin lainnya. Bagi Aristoteles – sebagaimana yang ia sebut dalam buku physics-nya – seorang filsuf harus berperan sebagai physikos, bukan sekedar logikos. Dari sini, bahasa seorang filsuf pun seharusnya tidak melulu abstrak. Dengan kata lain, dalam berbagai kasus – khususnya yang berkenaan dengan alam natural – seorang filsuf juga harus berbahasa saintifik (tentu yang dimaksud saintifik olehnya berbeda dengan makna yang kita pahami hari ini).

Intinya, menurut yang dipertuan agung Aristoteles, ungkapan dan eksplanasi seperti pak Ebiet itu tergolong logikos dan abstrak. Apalagi, dalam kasus explanation, Aristoteles menekankan pentingnya menyertakan the four causes (sebab material, formal, efisien dan final) dalam menjelaskan suatu fenomena natural. Karena itu, berdasarkan pandangan Aristoteles, tidak benar bila seorang filsuf menjelaskan suatu fenomena natural tanpa menyertakan sebab materialnya dan hanya secara abstrak melempar pertanyaan itu pada rumput yang bergoyang.

Apa kaitannya semua penjelasan ini dengan judul tulisan di atas?

Jadi begini, paling tidak kita memiliki dua macam bahasa untuk menjelaskan suatu fenomena natural: bahasa seorang logikos dan bahasa seorang physikos atau bahasa yang abstrak dan bahasa yang saintifik. Pertanyaannya, dimana posisi Agama? Maksudnya, bahasa apa yang digunakan oleh Agama? Apakah bahasa Agama itu bukan keduanya, sehingga ia harus kita sebut meaningless? Atau, dia bukan keduanya karena memang bahasa itu paling tidak bukan hanya dua, melainkan ada klasifikasi bahasa ketiga yang mungkin bisa disebut sebagai bahasa theologikos alias bahasa Tuhan?

Pertanyaan ini adalah segelintir dari masalah religious language atau religious speech yang biasanya dibahas dalam filsafat Agama. Para pembaca dipersilahkan untuk menggali lebih luas tema-tema tersebut dalam berbagai buku filsafat Agama. 

Adapun yang menjadi fokus dalam tulisan ini hanyalah persoalan-persoalan yang relevan dengan judul kita. Di samping itu, perlu digarisbawahi bahwa tinjauan Agama yang penulis maksud pun bukan Agama secara luas, melainkan hanya Agama Islam. Itu pun bukan Islam dalam maqam tsubūt, tetapi dalam maqam itsbat-nya dimana ia telah turun dalam berbagai konsep dan proposisi serta dapat dipahami oleh berbagai benak. Lalu, mengapa hanya Islam? Sedikitnya, hal ini disebabkan dua hal mendasar: pertama, penulis tidak memiliki kapasitas untuk mengkaji Agama lain dan kedua, penulis berpandangan bahwa Islam memiliki jawaban yang memadai terkait persoalan ini.

Di sisi lain, hingga saat ini mungkin tidak ada pemeluk Agama seperti Islam yang mayoritas hampir absolutnya meyakini bahwa tidak terdapat distorsi lafaz dalam kitab suci mereka. Hal ini penting mengingat kitab suci adalah salah satu manifestasi ungkapan Tuhan kepada makhluk-Nya. Bila lafaz suatu kitab suci tidak lagi terbukti dan diyakini keasliannya, maka dia tidak akan tergolong sebagai ucapan Tuhan dan pembahasan kita pun tidak akan maju ke tahap lebih lanjut. Akhirnya, persoalan kita akan selesai pada pandangan Aristoteles, bahwa hanya ada dua macam bahasa: logikos dan physikos. Atau mentoknya bila harus ada bahasa ketiga, bahasa kitab suci itu mesti kita golongkan dalam “bahasa tanpa makna”, sebagaimana yang diyakini para penganut positivisme logis.

Kendati demikian, yang menjadi asumsi dasar ialah penulis meyakini ada kitab suci yang otentik dan ada jenis “bahasa sakral” bernama wahyu atau yang sebelumnya kita sebut sebagai theologikos. Karena itu, wahyu bukanlah ungkapan logikos, physikos maupun meaninglos, eh salah, meaningless (hehe.); ia adalah bahasa ‘asing’ yang memiliki basis epistemologi yang berbeda dari semua bahasa tersebut.

Maka, bila ingin dilacak akar klasifikasinya, tolok ukur dalam membagi bahasa ini terletak pada persoalan epistemologi, khususnya persoalan sumber pengetahuan. Pasalnya, terkadang kita memperoleh suatu proposisi dari pabrik akal, terkadang dari pabrik hati dan terkadang dari pabrik indra. Akan tetapi, tidaklah mustahil dan bahkan telah menjadi realitas bahwa ada manusia-manusia yang memperoleh proposisi dari sumber yang sama sekali berbeda dari sumber-sumber sebelumnya. Ya, mereka mendapatnya dari sumber sakral yang biasa disebut sebagai wahyu. Mereka inilah yang kita sebut sebagai para Nabi.

Persoalan wahyu dalam tinjauan epistemologi merupakan sesuatu yang cukup panas dibahas dalam filsafat Agama dan mohon dimaklumi bila tidak dapat kita uraikan panjang lebar di tulisan terbatas ini. Namun berkenaan dengannya, saya merasa sedikit perlu untuk mengingatkan bahwa biasanya akan ada peneliti-peneliti yang alergi dengan istilah wahyu. Begitu mendengar istilah ini, biasanya mereka akan cepat-cepat menyebutnya sebagai semacam ‘tabu’ yang dibuat para Agamawan agar pemeluknya tidak banyak bertanya.

Di sisi lain, saya juga tidak ingin memaksa para pembaca mempercayai kebenaran epistemologis wahyu begitu saja. Yang ingin penulis sampaikan adalah jangan terlalu cepat batuk, bersin atau garuk-garuk ketika mendengar istilah ini dan jangan pula terlalu fanatik meyakininya ketika kita tidak memiliki penjelasan filosofis yang memadai untuk membuktikan kebenarannya. Yang jelas, persoalan ini jauh lebih dalam dari apa yang mungkin sering kita sangka dan anggap enteng. Sebenarnya saya bukan orang yang berhak memberi anjuran normatif, karena itu saya sudahi sampai di sini saja anjuran-anjuran itu dan mari kembali pada pembahasan kita.

Berpijak pada uraian singkat tersebut, saya ingin langsung mempertegas bahwa menyederhanakan eksplanasi atau pembahasa-an ke dalam dua bagian adalah sebuah fallacy. Sebab, selain dua macam bahasa yang disebut Aristoteles itu, terdapat ragam bahasa lain yang bisa disebut sebagai bahasa teologis, bahasa tanpa makna dan bahkan ‘bahasa ideal’ yang didambakan Russell pun rasanya juga harus kita masukkan dalam jenis bahasa lain, yaitu bahasa logika-matematika.

Kesemua bahasa ini memiliki basis epistemologi dan metodologi yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, kesempurnaan suatu bahasa bergantung pada kemampuannya untuk membahasakan. Dalam bahasa Avrum Stroll, seorang filsuf analitik, kesempurnaan bahasa itu bisa dilihat dari scope (jangkauan) dan clarity (kejelasan) yang dimilikinya.

Bila dikaitkan dengan Agama, maka yang menjadi persoalan kita ialah: apakah proposisi Agama dapat menjangkau fenomena natural? Atau, apakah dapat dibenarkan bila Agama menjangkau persoalan natural? Tidakkah ini termasuk sebagai overlapping? Katakanlah Agama dapat menjangkau persoalan-persoalan natural, pertanyaan berikutnya ialah seberapa jelas Agama bisa berbicara tentang hal itu? Pada dasarnya, apakah Agama dapat berbicara dengan jelas atau seluruh bahasanya hanya berupa simbol-simbol yang dibatasi oleh kebudayaan zaman tertentu?

Jawaban kita terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas sangat menentukan posisi Agama di tengah bencana; apakah Agama harus disingkirkan dalam persoalan ini dan otoritas menjawab masalah itu sepenuhnya harus diberikan pada sains? Demikianlah kajian tentang bahasa Agama memiliki peran penting untuk memahami posisi Agama di tengah bencana. Begitu pula, dalam kerangka inilah kita bisa memahami mengapa Agama lalu diasumsikan sebagai sumber bencana. Sebab, bahasa Agama – menurut sebagian pandangan – adalah bahasa yang merampas kedaulatan sains. Ketika Agama mengkudeta sains, saat itu bencana yang seharusnya bersifat ontologis-saintifik akan berubah sifat menjadi etis-relijius. Ketika ia menjadi etis-relijius, tidak akan muncul solusi efektif untuk mencegah dan menangani suatu bencana serta tidak akan ada yang namanya vaksin, karena Agama tidak bisa memproduksi apa-apa kecuali doa dan tawakkal. Begitulah kisah singkat mengapa Agama dianggap sebagai sumber bencana.

Penulis: MHR (Penggiat Kajian Islamologi Klasik dan Kontemporer).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles