Bogor – Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman (STAINI) Parung, Bogor, menggelar podcast ilmiah dengan tema Tafsir Maqashidi: Menjembatani Antara Teks dan Kontekstual. Kegiatan ini diselenggarakan pada 15 Januari 2023 di Kampus STAI Nurul Iman Parung Bogor.
Acara ini menghadirkan Lufaefi, seorang dosen di STAI Nurul Iman Parung Bogor yang juga merupakan penulis buku Maqashid al-Qur’an serta Isu-isu Aktual dalam Al-Qur’an dan Hadis. Podcast ini dimoderatori oleh Fadhil Maududi, mahasiswa STAINI Parung Bogor, dan berlangsung di halaman kampus dengan dihadiri ratusan mahasiswa dari program studi Tafsir.
Acara ini diselenggarakan untuk memperkenalkan konsep tafsir Maqashidi kepada mahasiswa, termasuk tokoh-tokoh yang mencetuskannya serta penerapan metode ini dalam memahami teks Al-Qur’an. Tafsir Maqashidi merupakan pendekatan yang berupaya memahami tujuan syariat Islam (maqashid asy-syariah) dalam penafsiran Al-Qur’an, sehingga maknanya dapat diterapkan secara relevan dalam kehidupan kontemporer.
Dalam pembukaannya, Lufaefi menjelaskan bahwa tafsir Maqashidi bukan sekadar metode tafsir biasa, melainkan sebuah pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami Al-Qur’an. “Metode ini tidak hanya melihat makna literal dari ayat, tetapi juga mempertimbangkan tujuan utama yang ingin dicapai oleh wahyu,” ujarnya.
Menurut Lufaefi, metode tafsir Maqashidi telah berkembang sejak lama, tetapi baru mendapat perhatian lebih luas dalam kajian kontemporer. Salah satu tokoh utama yang merumuskan metode ini adalah Ibn Asyur, seorang ulama asal Tunisia yang dikenal dengan karyanya Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Ibn Asyur menekankan bahwa Al-Qur’an harus dipahami dengan mempertimbangkan maqashid-nya atau tujuan syariat Islam, seperti keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan manusia.
Diskusi semakin menarik ketika salah satu mahasiswa, Syuhada Rizky, mengajukan pertanyaan mengenai siapa tokoh yang paling mudah dipahami dalam studi tafsir Maqashidi. Menanggapi hal ini, Lufaefi menjelaskan bahwa Ibn Asyur adalah salah satu yang paling sistematis dalam menjelaskan konsep ini. “Beliau memberikan landasan teori yang kuat, membangun konsep maqashid dalam tafsir dengan metode yang terstruktur,” jelasnya.
Selain itu, Abdul Hakim, mahasiswa Tafsir STAINI Parung Bogor, juga mengajukan pertanyaan tentang perbedaan tafsir Maqashidi dengan metode tafsir lainnya. Lufaefi menjawab bahwa tafsir Maqashidi memiliki keunggulan dalam menjembatani antara teks dan konteks. “Metode ini menghindari dua kutub ekstrem, yaitu pemahaman yang terlalu tekstualis hingga mengabaikan realitas, dan pemahaman yang terlalu liberal hingga mengabaikan teks. Tafsir Maqashidi menjaga keseimbangan agar makna Al-Qur’an tetap moderat dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata,” paparnya.
Lebih lanjut, Lufaefi menjelaskan bahwa tafsir Maqashidi tidak menolak tafsir klasik, tetapi mencoba menghadirkannya dalam perspektif yang lebih kontekstual. “Misalnya, ayat tentang hukum qishash dalam Al-Qur’an. Tafsir Maqashidi akan melihat bahwa tujuan utama dari hukum ini bukan sekadar hukuman, tetapi bagaimana mencapai keadilan dan mencegah kejahatan agar tidak berulang,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa metode ini sangat relevan dalam menjawab tantangan zaman. “Ketika kita menghadapi isu-isu sosial seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan ekonomi Islam, tafsir Maqashidi memberikan solusi dengan tetap merujuk pada nilai-nilai dasar Islam,” tambahnya.
Dalam sesi diskusi, beberapa mahasiswa menyampaikan kekhawatiran bahwa tafsir Maqashidi bisa menjadi alat untuk mengubah makna Al-Qur’an sesuai kepentingan tertentu. Menanggapi hal ini, Lufaefi menegaskan bahwa tafsir Maqashidi tetap berpegang pada kaidah-kaidah keilmuan Islam. “Ini bukan metode yang sembarangan, tetapi memiliki prinsip yang kuat, seperti mempertimbangkan maqashid syariah, konsistensi dengan teks Al-Qur’an dan hadis, serta relevansi dengan kebutuhan umat,” jelasnya.
Sebagai contoh, ia mengutip bagaimana para ulama menggunakan tafsir Maqashidi dalam memahami ayat-ayat tentang muamalah. “Dalam dunia modern, kita melihat perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Tafsir Maqashidi membantu kita memahami prinsip ekonomi Islam dalam konteks sistem keuangan saat ini, tanpa kehilangan nilai-nilai dasar syariat,” katanya.
Di penghujung acara, Lufaefi memberikan pesan kepada mahasiswa agar terus mengembangkan wawasan dalam studi tafsir, termasuk memahami berbagai metode yang ada. “Jangan hanya terpaku pada satu metode, tetapi pahami bagaimana setiap metode memiliki keunggulan dan batasannya. Tafsir Maqashidi adalah salah satu yang bisa menjadi jembatan dalam memahami Al-Qur’an secara lebih luas,” pesannya.
Acara ini mendapat respons positif dari mahasiswa. Banyak dari mereka yang mengaku mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana memahami Al-Qur’an dengan cara yang lebih kontekstual. Salah satu peserta, Zainab Maulidya, menyatakan bahwa materi yang disampaikan sangat relevan dengan isu-isu yang sering muncul dalam kajian keislaman saat ini. “Saya jadi lebih memahami bahwa Islam itu fleksibel dalam hal-hal yang bersifat sosial, tetapi tetap memiliki batasan yang harus dijaga,” ujarnya.
Sementara itu, panitia penyelenggara berharap acara seperti ini dapat terus diadakan secara rutin. Ketua panitia, Fadhil Maududi, menyatakan bahwa podcast ini merupakan bagian dari upaya STAINI dalam memperluas wawasan mahasiswa mengenai berbagai metode tafsir. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya paham teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam membaca realitas kehidupan,” katanya.
Podcast STAINI kali ini menjadi bukti bahwa kajian tafsir tidak hanya terbatas pada ruang kelas, tetapi juga bisa dikemas dalam format yang lebih interaktif. Dengan menghadirkan narasumber yang kompeten dan tema yang relevan, acara ini berhasil membuka wawasan mahasiswa tentang pentingnya memahami Al-Qur’an dengan pendekatan yang lebih moderat dan kontekstual.
Ke depannya, diharapkan kajian-kajian seperti ini dapat terus dikembangkan, tidak hanya dalam format podcast tetapi juga dalam bentuk seminar, lokakarya, dan diskusi ilmiah lainnya. Dengan demikian, studi tafsir di STAINI Parung Bogor dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi dalam memahami Islam secara lebih luas dan inklusif.
Sebagai penutup, Lufaefi mengajak mahasiswa untuk terus menggali ilmu tafsir dan memahami bahwa Islam memiliki fleksibilitas dalam menghadapi dinamika zaman. “Pemahaman yang luas terhadap Al-Qur’an akan membantu kita dalam menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam,” pungkasnya.