Foto/Medcom
Bukan kader Hizbut Tahrir kalau tak pandai ‘menyelewengkan’ kandungan makna teks-teks keagamaan, tak terkecuali teks suci Al-Qur’an. Adalah Atha’ Abu Rasytah, amir Hizbut Tahrir, penerus sekaligus pengganti Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir, yang dalam salah satu tulisannya melakukan jumping Conlusion tafsir Al-Qur’an. Dalam bukunya; At-Taisir fi Ushul at-Tafsir (Surah al-Baqarah), halaman 66, saat ia memaknai QS. Al-Baqarah [2]: 30, Atha’ menyimpulkan begitu saja kata khalifah Allah (dalam ayat) menjadi khilafah (dalam penafsirannya). Cukup terburu-buru kesimpulan ini, karena khalifah dan khilafah adalah dua kata yang berbeda makna. Khalifah bentuk subjek/fa’il/pelaku, sementara khilafah kata benda/masdhar.
Lebih dari itu dalam terminologi Hizbut Tahrir, khilafah pasti diidentikan dengan sistem politik khilafahisme tahririyah ala Hizbut Tahrir. Atha’ menyebut, sebuah nikmat yang luar biasa walaupun manusia kerap melakukan pertumpahan darah tetapi diberi mandat Allah menjadi khilafah [bukan menjadi khalifah]. Padahal lagi-lagi, secara semantik, khilafah dan khalifah dua kata yang berbeda. Quraish Shihab dalam Al-Mishbah cukup clear memaknai khalifah dalam ayat di atas, yakni sebuah mandataris yang diberikan kepada manusia (Adam) untuk memimpin bumi Allah, bukan diberi sesuatu berupa khilafah. Begitu juga Tahir Ibn ‘Asyur, Ath-Thabari dan Al-Qurthubi, memaknai khalifah sebagai person, bukan kata benda.
Hemat penulis, apa yang disampaikan amir Hizbut Tahrir dalam bukunya itu merupakan bentuk ad-dakhil fi tafsir Al-Qur’an (aib dalam tafsir), yang bukan disembunyikan, namun malah ditampakkan secara terang-terangan. Ad-dakhil fi tafsir merupakan sebuah kerusakan dalam penafsiran Al-Qur’an. Bila merujuk pada klasifikasi Imam Ad-Dzahabi dalam Ad-Dakhil fi Tafsir Al-Qur’an, ‘penyelewengan’ Atha’ Abu Rasytah ini tergolong setidaknya sebagai tiga bentuk kegagalan akut dalam tafsir. Pertama, sebab kesalahpahaman ijtihad yang kurang mumpuni keilmuannya. Kedua, sebab mengabaikan rujukan-rujukan mu’tabar dalam tafsir. Dan ketiga, karena adanya kepentingan kelompok semata. Dan bukan lain kalau tujuannya demi mengkampanyekan khilafah ala Hizbut Tahrir yang didengungkannya.
Atha’ dalam bukunya itu sama sekali tak merujuk pandangan ulama-ulama mu’tabar dalam melakukan penafsiran. Ia hanya mengajukan opini (ra’yu)-nya saja atas tafsir ayat itu. Jangankan pendapat-pendapat ulama mu’tabar, penafsiran dengan ayat Al-Qur’an lain, hadis, atsar sahabat, pun ia abaikan seenaknya. Ia menolak tokoh-tokoh selain tokoh Hizbut Tahrir menjadi rujukan keilmuan. Padahal Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “barang siapa yang memaknai Al-Qur’an hanya dengan ra’yunya maka bersiaplah neraka sebagai tempat kembalinya.” Saya tidak tahu apakah Atha mengetahui kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an atau memang tahu namun ia tidak mempedulikannya.
Latar belakang keilmuan Atha’ Abu Rasytah juga menjadikan bentuk penafsirannya ini jumping conlusion. Atha’ adalah lulusan sarjana Tekhnik di Universitas Kairo, bukan spesialisasi keilmuan Islam, apalagi tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Saya menduga kuat ini yang menjadikan tafsirnya atas ayat tentang khalifah di muka bumi dipalsukan menjadi khilafah. Aktivitas Atha’ yang pernah menjadi pekerja tekstil di sebuah perusahaan menjadikan tafsirannya itu kering, nihil rujukan-rujukan yang bisa dipercaya. Memang bukan suatu kesalahan orang yang bukan berlatarbelakang ilmu tafsir untuk menafsirkan, namun bermasalah manakala ia mempublikasikannya apalagi menjadi fatwa.
Di Indonesia, juga ada tafsir Al-Qur’an yang ditulis eks Ketua HTI, yaitu Tafsir Al-Wa’ie, karya Rokhmat S. Labib, terbitan Al-Azhar Press Bogor, 2013. Lebih dari Atha’ Abu Rasytah, Rokhmat yang merupakan lulusan sarjana Ekonomi itu banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan penafsiran Al-Qur’an, yang sarat kepentingan politis ala HIzbut Tahrir. Dalam menafsirkan ayat yang sama (QS. Al-Baqarah [2]: 30), Rokhmat memang merujuk berbagai tafsir mu’tabar seperti Ath-Thabari, Ibn Katsir dan Al-Syaukani, yang senyatanya mereka tak menafsirkan sama sekali ‘khakifah’ menjadi ‘khilafah’. Namun dalam kesimpulannya, ia justru membelokkan jauh-jauh maksud ayat dengan memaknai ayat di atas sebagai kewajiban menegakkan khilafah, setiap muslim wajib ikut memperjuangkan tegak kembalinya khilafah.
Cukup tercengang bila membaca tafsir atas ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis eks Ketua HTI ini. Banyak pembajakan dan pemerkosaan ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti misalnya QS. Ali Imran [4]: 103 yang dimanipulasi maknanya menjadi kewajiban mendirikan partai politik (Hizbut Tahrir). QS. Al-Anbiya [21]: 107 yang memaksudkan Islam rahmatan lil alamin hanya bisa tegak manakala khilafah ala Hizbut Tahrir tegak kembali. Dan QS. Al-Maidah [5]: 48 yang dimaknai serampangan hukum Allah adalah hukum yang hanya bisa terwujud manakala khilafah Islamiyyah tegak di muka bumi. Yang pasti, bukan kader Hizbut Tahrir kalau tidak cerdas dan lihai dalam memanipulasi ayat-ayat Al-Qur’an demi kepentingan gerombolannya.[]
[…] Lufaefi, M.Ag, Penulis Buku Nasionalisme Qur’ani. Alumni PTIQ Jakarta. […]
Ini website siapa