spot_img

Pemuda Masa Kini dan Perannya dalam Perspektif Al-Quran

Agama Islam adalah agama yang diyakini keberanannya. Agama tersebut memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pemuda, hal itu karena pemuda merupakan generasi yang akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Di tangan mereka juga Islam [meskinya] direpresentasikan dengan semangat zaman, karena merekalah yang akan mewarisi tugas-tugas mulia dari para pendahulunya untuk menuntun umat.

Pemuda dapat ditilik dari sisi semangat dan usianya. Dari lini semangatnya, pemudai ialah mereka yang memiliki semangat yang membara dan vitalitas (kemampuan) yang prima dalam melakukan sebuah pekerjaan (Hamdy, 2011: 177).

Sementara itu dari sisi usianya, pemuda ialah mereka yang ada dalam umur antara 10 – 25 tahun (Abdullah, 1995:1). Di waktu inilah semeskinya seorang pemuda memiliki pengetahuan yang maksimal, guna menempu masa depannya menjadi generasi harapan bangsa. Ia harus menjadi generasi solutif kebangsaan dan keagamaan yang ada di sekitarnya.

Sementara itu al-Quran menggambarkan pemuda, yang dibahasakan dengan kata “Asy-syabab”, adalah mereka yang memiliki sifat sebagaimana di dalam al-Quran disebutkan. Dalam QS. Yunus: 83 Allah berfirman:

فَما آمَنَ لِمُوسى إِلاَّ ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلى خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلائِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ

Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir’aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas.

Ibn Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa kata “dzurriyah” pada ayat tersebut ialah para pemuda, yaitu pemuda yang memiliki keimanan dan keyakinan tangguh terhadap agamanya meskipun berada di dalam ancan Firaun (Katsir, 1419: 250).

Dari penafsiran Ibnu Katsir ini memaksudkan bahwa seorang pemuda ialah mereka yang memiliki keimanan yang kuat dalam keadaan apapun. Ia tidak akan pernah gentar dalam menghadapi ancaman, tantangan dan gangguan yang menghalanginya. Keimanan dan keyakinanya demi agama sangat kokoh demi mempertahankan agama Allah, yaitu agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Sementara itu Makarim Al-Syirazi dalam tafsirnya menegaskan bahwa “dzurriyah” dalam ayat tersebut ialah pemuda-pemuda yang sebelumnya mengikuti ajaran Fir’aun, akan tetapi mereka kemudian taubat dan keluar dari ajarannya. Mereka meninggalkan Firaun sebab mereka yakin bahwa apa yang telah dilakukannya tersebut ialah salah (al-Shirazi, 1421: 148).

Syirazi memberikan gambaran bahwa ciri pemuda ialah berani memilih menjad minoritas dari pada mayoritas, selama itu dalam kebaikan. Mereka tidak hidup mengikuti zaman, akan tetapi mengikuti apa yang telah Allah gariskan dalam perjuangan demi tegaknya agama Allah.

Ayat yang lain yang menyinggung akan sikap seorang pemuda adalah surat Al-Kahfi: 10

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”

Secara umu, ayat di atas menjelaskan tentang kisah pemuda Ashabul Kafir. Al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan pemuda Ashabul Kahfi yang lari menuju Gua guna menghindari fitnah lingkungannya yang banyak menyembah berhala. Di dalam itu mereka berdoa kepada Allah agar dimudahkan urusannya itu dan ditujukan kepada jalan yang lurus (al-Maraghi, 1418: 122).

Sementara itu, Al-Kasyani menambahkan bahwa pemuda Ashabul Kahfi berdoa bukan saja agar diberikan petunjuk dan hidayah menjauhi fitnah masyarakat kufar pada waktu itu, akan tetapi juga agar diberikan rizki dan rasa aman dari musuh-musuh yang menghantuinya (al-Kasyani, 1415: 233).

Ada empat hal yang bisa kita ambil dari penafsiran Al-Maraghi dan Al-Kasyani terhadap ayat di atas. Pertama, pemuda harus selalu menggantungkan hidup kepada Allah. Ia tidak boleh lepas dari kendali aturan Allah. Kedua, bahwa seorang pemuda harus siap untuk meninggalkan kampung halamannya, keluarganya dan sahabat dekatnya guna memperjuangkan agama Allah. Seorang pemuda harus memiliki prinsip konsisten dalam memegang keyakinan agamanya.

Ketiga, ia bukanlah seseorang yang mudah tergiur dengan kondisi sekitarnya yang sifatnya duniawi yang sekiranya akan melunturkan akidah dan keyakinan agamanya. Keempat, ia harus memiliki standar moralitas, berwawasan, bersatu, optimis dan teguh dalam pendirian, sebagaimana tergambar dalam kisah Ashabul Kahfi tersebut.

Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja seorang pemuda harus peka dalam menyelesaikan problematika kehidupan yang ada. Sikap-sikap yang dicirikan di dalam al-Quran terkait seorang pemuda harus diaplikasikan untuk menyelesaikan problematika kehidupan.

Salah satu isu yang paling menjadi sorotan negara saat ini, bahkan dunia, ialah persoalan intoleransi. Persoalan ini menjadi hal yang harus dipecahkan, sebab tiadanya tolerasni hanya akan menghambat peradaban dan perkembangan negara dan bangsa (Taufiq, 2016:xix). Kecilnya nilai toleransi yang ada di negeri ini dibuktikan dengan munculnya tindakan-tindakan terorisme yang selalu mengatasnamakan agama yang dilakukan – hampir sebagian besar – oleh pemuda.

Sebagaimana dalam faktanya, isu-isu kekerasan yang berlatarbelakang enggan untuk menghormati perbedaan dan mengatasnamakan agama hampir menjadi agenda tahunan di Indonesia. Kita bisa membuktikan misalnya, sejak tahun 2002, terjadi aksi teror yang mengatasnamakan Islam dan jihad, di antaranya adalah bom Bali 2002, bom Hotel JW-Mariot 2003, bom di Kedubes Australia 2004, bom Bali 2005, bom Hotel JW-Mariot dan Rits-Caltron 2009, bom Gereja Solo 2011, bom Solo 2012, bom Polres Poso 2013, dan bom di Plaza Sarinah 2016. Dan mirisnya, tindakan-tindakan tersebut sebagian besar dilakukan oleh anak bangsa yang baru menyelesaikan pendidikan di tingkat atas (Mbai, 2014: 19).

Data di atas sudah semeskinya menjadi inspirasi dan motivasi bagi pemuda yang memiliki tugas penting di dalam negaranya. Pemuda meski menjadi problem solving dalam melerai kondisi di atas yang sungguh sangat mengancam kebangsaan, bahkan keagamaan masyarakat Indonesia secara luas. Nilai-nilai al-Quran terkait pemuda harus menjadi ciri yang ada pada setiap pemuda kita, untuk kemudian diaplikasikan dalam menghadapi persoalan bangsa yang mengancam keberagaman bangsa kita yang multikultural.

Oleh: Lufaefi.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles