Foto/Kumparan
Masyarakat Indonesia terdiri dari keragaman yang sangat kaya. Bukan hanya dari segi budaya dan bahasa, tetapi juga keyakinan dan agama. Abdul Ghopur dalam buku “Indonesia Rumah Kita”, menyebut Indonesia memilki 31 suku bangsa yang berbeda-beda pula dalam bahasa dan budayanya. Dari sisi agama, Indonesia menetapkan enam agama resmi, yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dari sekian keragaman yang ada, Pasurdi Suparlan menyebut, fokus pada multikulturalisme ialah pada pemahaman sosial dan budaya, baik secara individu maupun kelompok. Keragaman bisa menjadi modal positif untuk membangun masyarakat yang beradab, saling menghargai dalam perbedaan. Meski di sisi lain bisa saja memunculkan potensi negatif bila tak dijaga dengan baik.
Secara historis, Islam juga lahir dari masyarakat multikultural sebagaimana masyarakat muslim yang lahir saat nabi di Madinah. Seperti suku Aus dan Khasraj. Muhajirin dan Anshar. Pun secara teologis, Islam juga mendukung posisi keragaman. Sehingga misalnya dalam QS. Al-Ma’un, ayat 1-6, Allah mempersilahkan orang yang belum mendapatkan hidayah Islam untuk menyembah apa yang disembah, dan tidak menganggu sesembahan orang lain. Lebih jelas lagi dalam QS. Yunus ayat 79, Allah tidak berkehendak untuk menjadikan semua manusia beriman kepada-Nya. Karena Dia mempersilahkan kondisi masyarakat yang multikultural. Tidak ada paksaan di dalam beragama dan memilih keyakinan.
Mengapa Allah berkehendak atas adanya multikulturalisme? Itu memberikan pengertian bahwa semua pemeluk agama, agama apapun, diberikan kebebasan dalam menganut agama pilihannya dengan resiko masing-masing yang akan ditanggung. Ini juga menjadi harapan bagi semua pemeluk agama agar mendapatkan kebebasan dalam beribadah, karena pada dasarnya semua agama pun bermuara pada prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam QS. Ali Imran ayat 64 Allah tegaskan agar manusia berpegang kepada tali yang sama (kalimatan sawa). Sebelum nabi wafat kalimatun sawa bisa ada pada diri beliau, karena beliau mempersatukan semua golongan, untuk hidup yang beradab dengan didasari akhlak dan saling menghormati satu sama lain.
Dalam konteks hari ini, lebih khusus dalam konteks Indonesia, kalimatun sawa senyawa dengan Pancasila, ideologi yang mempererat segala perbedaan yang dimiliki masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia patut bersyukur karena Tuhan telah memberikan tali perekat untuk masyarakatnya. Yudi Latif menyebut, setelah satu abad Pancasila, ia tetap relevan dengan perkembangan zaman. Meski seringkali menemukan jurang lebar yang hendak menghadang, Pancasila tetap sakti sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju yang dirawat oleh masyarakatnya. Itu juga karena para pendiri bangsa telah menyatukan antara visi global dan kearifan lokal antara kepentingan nasional dan kemanusiaan universal.
Yudi juga menegaskan bahwa Pancasila adalah civil religion. Hal itu karena Pancasila dengan berada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas berpenduduk Islam, sesungguhnya secara embrional selaras dengan Piagam Madinah yang disokong oleh Nabi Muhammad. Menguatkan pendapat Yudi, Nurcholis Madjid menegaskan, negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad merupakan bentuk negara-bangsa (nation state), yang dalam bahasa agama disebut sebagai ummah, yaitu negara untuk seluruh umat manusia dengan keragamannya untuk mencapai kemaslahatan dengan cita-cita masyarakat yang bermoral dan beradab.
Lebih lanjut Madjid juga menyebut, negara bangsa Madinah telah mempraktikkan konsepsi nasionalisme dengan nabi sebagai pemimpinnya yang kemudian diteruskan oleh para sahabatnya. Sistem yang dibangun nabi pada negara Madinah adalah ‘a better model for modern national community building than midght be imagined’, yaitu suatu contoh bangunan komunitas nasional yang lebih baik yang dapat dibayangkan. Disebutkan juga bahwa Madinah merupakan negara yang modern, karena mengedepankan prinsip inklusifitas semua golongan dan membuang jauh-jauh nilai kesucian dan kesakralan seperti kabilah dan suku. Yang penting dalam negara Madinah adalah melahirkan masyarakat yang beradab dengan didasari nilai-nilai agama-agama yang kuat.
Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi dan masyarakat Madinah lainnya relevan dengan Pancasila yang digagas oleh para pendiri bangsa, yang bersifat inklusif dalam menerima masukan dari semua golongan pemeluk agama dan suku serta menolak kesakralan (apalagi menganak-emaskan) agama dan kepercayaan tertentu. Pancasila merupakan vernakulasi Piagam Madinah yang menyejarah di Indonesia. Dasar ontologis keduanya (Pancasila dan Piagam Madinah) adalah menemukan titik temu (kalimatun sawa) untuk mewujudkan masyarakat yang beradab, yang selalu hidup didasari dengan nilai-nilai moral dan akhlak yang kuat.[]
Penulis: Lufaefi, Penulis Buku-buku Keislaman.
Artikel dimuat di sangkhalifah.co