spot_img

NU-Muhammadiyah, Dua Gawang Penjaga Moderasi Bangsa

Foto: nuonline.com

Kita semua tahu bahwa Indonesia memiliki ragam organisasi masyarakat (ormas) Islam yang sudah sejak lama telah mewarnai keislaman masyarakat Indonesia. Ormas-ormas Islam tersebut seperti Jam’iyyat Al-Khair, Al-Irsyad, Al-Washliyah, PUI, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan sebagainya. Dari sekian banyaknya ormas Islam, NU dan Muhammadiyah merupakan dua ormas yang konsisten menjadi penjaga gawang Islam moderat di Indonesia.

Muhammadiyah, sebagai organisasi yang dicetuskan oleh KH Ahmad Dahlan, adalah ormas yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh, salah satu Cendekiawan Islam asal Mesir yang menggaungkan pembaruan Islam. Muhammadiyah dikenal sebagai ormas yang kerap melakukan lompatan-lomapatan enerjik dalam menafsirkan Islam menjadi lebih modern dan kontekstual. Hal itu bisa dilihat misalnya dengan lahirnya sederet Cendekiawan Islam Indonesia dari rahim Muhammadiyah, seperti Din Syamsuddin, Syafi’i Ma’arif, Johan Effendy, dan lain-lain.

Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang disebut di atas kerap menggagas pemaknaan Islam yang kontekstual, progresif, dan berkemajuan. Oleh itu misalnya Muhammadiyah dalam Mukatamar tahun 2015 menggagas tema “Islam Berkemajuan” dengan tujuan memaknai Islam dalam konteks modernitas dengan pemaknaan yang segar, tidak konservatif, dan solutif di setiap ruang dan waktu.

Sebagai ciri khasnya, Muhammadiyah memodernisasikan Islam dengan mengejewantahkan nilai-nilainya dalam bentuk kesejahteraan, ekonomi dan pendidikan bagi warganya. Bagi Muhammadiyah, Islam adalah agama yang “menyenangkan” bagi pemeluknya, sehingga agama harus dimaknai dalam konteks yang segaris dengan keluhurannya sebagai agama yang berkemajuan sepanjang zaman.

Walaupun secara geneologis Muhammadiyah juga terpengaruh oleh gerakan Wahabisme, yang memiliki visi pemurnian Islam dengan jargon “kembali ke Alquran dan Hadis”, di era modern saat ini Muhammadiyah tidak lagi seperti gerakan imamnya tersebut (Wahabi). Hanya dalam dekade awal saja Muhammadiyah seperti gerakan Wahabi yang tidak jarang mengkritik (kalau tidak: menyalahkan) amaliyah orang-orang NU yang dianggapnya tidak sesuai Alquran dan Hadis, seperti tahlilan, manaqiban dan maulid Nabi. Di era modern saat ini, Muhammadiyah lebih inklusif, terbuka, bahkan progresif dalam menafsirkan pesan-pesan agama. Sehingga perannya dalam menjaga Islam moderator tidak diragukan.

Hajriyanto Tohari, salah satu intelektual Muhammadiyah, menyatakan bahwa modernitas Islam di Muhammadiyah adalah modernitas dalam rangka mewujudkan cita-cita proklamasi, sehingga Indonesia tetap utuh dalam keragaman agama, budaya, etnis dan suku di dalamnya.

Dalam menghadapi gerakan Islam radikal, secara umum Muhammadiyah menolak keras terhadap pemahaman Islam revivalis itu yang kerap membuat kekacauan di tengah masyarakat dengan bom bunuh diri. Buya Syafi’i Ma’arif adalah representatif dalam membaca pemikiran Muhammadiyah dalam hal menyoroti gerakan Islam yang membahayakan bangsa. Baginya, gerakan teror tidak pernah diajarkan Islam, tidak boleh mengatasnamakan agama, apapun dalilnya. Karena Islam adalah agama kasih sayang, yang mengasihi seluruh alam.

Selain Muhammadiyah ormas yang terdepan dalam menjaga gawang Islam moderat adalah NU. Ormas yang lahir di tangan KH Hasyim Asyari ini dikenal sebagai ormas tradisional, yang berperan penting dalam menjaga pendidikan pesantren, untuk menanamkan ajaran Islam dan nilai-nilai kebangsaan. Karena itu, KH Hasyim Asyari mencetuskan gerakan resolusi jihad untuk melawan penjajah. Adagium dari kakek Gus Dur yang masyhur itu ialah “hubbul wathan minal iman: mencintai negara merupakan bagian dari iman”.

Nilai-nilai tradisionalis yang menjadi ciri khas NU kian terbalut dengan nilai-nilai modern. NU yang mulanya dikenal sebagai organisasi Islam kampung, pasca reformasi juga menjadi gerakan Islam yang progresif yang memakai Islam menjadi lebih terbuka, kontekstual dan tetap dalam lokus keindonesiaan. Lahirnya tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Abdul Wahib, Ulil Abshar Abdalla dan Masdar Farid Mas’udi membuktikan progresifitas NU dalam menafsir agama  menjadi lebih segar dan hidup di tengah modernitas dan globalisasi.

Bahkan jika penulis berpendapat, di era modernitas sekarang, NU lebih menonjol dalam progresifitas pemikiran Islamnya dibandingkan Muhammadiyah. NU kerap kali melalui Bahtsul Masa’il, Munas, dan atau Muktamar, melahirkan gagasan-gagasan Islam menyegarkan yang di luar dugaan banyak orang, seperti kebolehan memilih pemimpin non-muslim, pengucapan selamat Natal, dan lain sebagainya.

Menariknya, NU istikamah memodernisasikan Islam dalam setiap muncul peristiwa-peristiwa yang menjadi perdebatan antar umat Islam di Indonesia, yang kerap terpecah menjadi Islam eksklusif dan inklusif.

Dalam hal penangkapan gerakan Islam radikal, bisa dibilang NU adalah ormas paling terdepan terkait hal itu. Selain itu pula, pemuda-pemuda NU baik yang konsen di dunia akademik, sosial kemanusiaan atau agama, selalu memberi komentar dan pemaknaan Islam yang kontekstual. Misalnya saja, NU melarang masyarakat Indonesia memanggil non-muslim dengan sebutan “kafir”, karena dianggap menyakiti non-muslim di Indonesia yang merupakan sesama warga bangsa. Ada banyak contoh lain yang bisa dijadikan bukti akan lompatan-lomapatan pemikiran NU dalam pemaknaan Islam Moderat di Indonesia.

Tidak bisa dimungkiri, NU adalah gawang terdepan dalam pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), suatu ormas Islam konservatif yang menginginkan agar ideologi Pancasila diganti dengan syariat Islam. Melalui pemuda Anshor dan Banser, NU mendesak pemerintah agar membubarkan HTI karena dianggap berpotensi memecah belah bangsa. Selain itu, NU juga rajin dalam mengedukasi masyarakat dalam soal deradikalisasi. NU menyuarakan Islam yang moderat, pluralis dan kontekstual.

Baik Muhammadiyah ataupun NU keduanya menjadi subjek penting dalam menangkal faham dan gerakan Islam radikal dan konservatif. Progresifitas warga Muhammadiyah dan NU di era modernitas dan era global patut dipertahankan sebagai penjaga gawang Islam moderat di bumi katulistiwa ini. Bukan hal yang mustahil jika Indonesia akan terbebas dari pengaruh Arab Spring di Timur Tengah yang hingga kini telah banyak menelan korban dengan mengatasnamakan agama, karena Indonesia memiliki Muhammadiyah dan NU.

Lebih dari itu, corak Islam ala Muhammadiyah dan NU harus dipertahankan dan diwariskan kepada generasi muda setelahnya. Pemuda Islam Indonesia menjadi penting untuk berkiblat kepada kedua ormas tersebut, dalam rangka melanjutkan dan mengembangkan Islam yang moderat, tidak kebarat-baratan dan tidak ketimuran. Melalui teladan Islam Muhammadiyah dan NU, model Islam generasi pemuda Indonesia ke depan adaptif terhadap Barat, Timur, dan tetap dalam bingkisan keindonesiaan, sehingga selalu lahir pemaknaan Islam yang inklusif, ramah dan memiliki masa depan berkemajuan di nusantara.

Menjadi pilihan bagi pemuda Indonesia untuk mengikuti salah satu dari dua ormas Islam moderat NU atau Muhammadiyah. Dengan itu, masa depan Islam dan Indonesia akan menjadi cerah dalam bingkai NKRI. Melalui peran penting pemuda di NU atau Muhammadiyah, bangsa Indonesia memiliki harapan besar dalam mewujudkan Islam yang moderat, dan menyangkal faham radikalisme-terorisme.

Penulis: EI.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles