Di awal tulisan ini, penulis memulai dengan menceritakan pengalaman hidup yang pernah penulis alami sendiri semasa hidup di kampung halaman.
Di Alipato, Kolaka Utara-Sultra, masyarakat hanya memahami perbedaan NU (lebih dikenal pemerintah, karena lebarannya sesuai dengan pengumuman yang ada di TV) dan Muhammadiyah dari sisi qunut-nya. NU qunut dan Muhamammadiyah tidak qunut. Masyarakat di sana cenderung tidak menganggap penting perbedaan itu.
Bahkan, mereka sangat dinamis dalam beragama. Misalnya, tetangga kampung kami yang Muhammadiyyah, karena di masjidnya tidak menerima sumbangan untuk orang meninggal, maka mereka yang ingin menghadihkan pahala sedekah kepada keluarganya yang telah meninggal dunia, sumbangannya diantar ke masjid NU. Hal ini masih berlangsung sampai sekarang.
Masyarakat Islam, baik NU, Muhammadiyyah atau bukan dari keduanya, meskipun secara kultur mendekati kedu ormas tersebut, semua tetap hidup santuy. Mereka hidup berdampingan satu sama lain.
Dewasa ini beberapa kelompok Islam lebih banyak memprovokasi umat Islam dibandingkan memberikan pencerahan. Cara pandang keagamaan mereka terlalu kaku dan bersifat formalitas, serta lupa menampilkan esensi Islam. Padahal, Islam adalah agama yang sangat penuh dengan cinta kasih, sebagaimana Tuhan diyakini sebagai sumber Kasih (Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm).
Pada faktanya, persamaan antara kedua ormas tersebut cenderung lebih mudah dicari dibandingkan dengan mencari perbedaannya. Mulai dari rukun iman hingga rukun Islam, tidak ditemukan perbedaan. Karena pendiri NU adalah KH. Hasyim Asy’ari dan Muhammadiyyah adalah KH. Ahmad Dahlan. Kedua ulama ini memiliki beberapa kesamaan.
Misalnya saja, kedua ulama kenamaan di Indonesia, bahkan di dunia ini mempunyai sanad keilmuan yang sama. Salah diantaranya, mereka berdua pernah berguru kepada KH. Soleh Darat. Juga, mereka berdua pernah menimba ilmu di Timur Tengah.
Meskipun memiliki sanad keilmuan yang sama, keduanya berbeda dalam merefleksikan pemikiran mereka. NU dengan gerakan kulturalnya (tradisional) dan Muhammadiyah dengan gerakan pembaharuannya (modern).
Selain itu, keduanya melengkapi warna keislaman nusantara. NU dikenal dengan pesantren-pesantrennya, sementara Muhammadiyah dengan sekolah dan rumah sakitnya. Secara esensial, keduanya memiliki cita-cita menampilkan Islam yang maslahat di tengah umat.
Satu hal yang pasti, meskipun memiliki anggota yang terbesar dan tertua, keduanya tidak sefrontal kelompok-kelompok lain yang cenderung lebih mudah mengkafirkan kelompok lain. Seakan-akan mereka adalah utusan Allah dan surga hanya milik kelompoknya. Sebaliknya, NU-Muhammadiyah tidak reaktif terhadap hal-hal yang sifatnya furu’iyyah (ilmu cabang), dimana perbedaan dan perdebatan pasti ada di dalamnya.
Memahami nilai-nilai Islam adalah lebih penting dan mendasar, dibandingkan dengan gerakan keagamaan yang mengedepankan formalitas keagamaan (kesilaman). Karena dengan mengutamakan nilai-nilai Islam daripada sekadar formalitas agama, wajah Islam yang ramah akan tampil. Begitulah wajah Islam NU dan Muhammadiyah. Keduanya sama, sama-sama menampilkan nilai-nilai Islam untuk kemaslahatan umat, meskipun dengan cara yang berbeda.
Sumber Bacaan:
Ahmad Faozan, Belajar Kepada Guru Santri.
Abdul Hadi, KH. Hassyim Asy’ari.
Imron Mustofa, KH. Ahmad Dahlan Si Penyantun.
Penulis: Harkaman, M.Ag (Aktivis PMII DKI Jakarta).