spot_img

Nalar Pincang Cegah Corona dengan Ramaikan Masjid

Di tengah-tengah pandemi Virus Corona seperti saat ini, masih ada saja sebagian orang yang buta nalar karena memiliki spirit agama yang tinggi, tapi pengetahuan soal agama sangat dangkal.

Mereka lantang menyerukan “Takutlah kepada Allah, jangan takut kepada Corona”, “Lawan Corona dengan shalat berjamaah di masjid”, dan himbauan serupa lainnya. Yang seakan-akan benar secara nalar agama, namun sebenarnya pincang secara nalar.

Dalam kondisi seperti ini, para pakar kesehatan sudah merekomendasikan agar mengurangi kegiatan berkumpul dengan banyak orang, termasuk shalat jama’ah di masjid, bahkan shalat Jum’at. Bukan hanya pakar, otoritas keagamaan MUI yang berisi para ulama pun sudah berfatwa soal shalat berjamaah di rumah dahulu. Tapi, semua tak dipedulikan. Serasa paling dekat dengan Tuhan.

Lebih dari itu, ulama Al-Azhar yang sudah pasti ‘alim dalam beribadah dan ilmu fikihnya tak dapat diragukan, pun memutuskan agar shalat jama’ah dan shalat Jum’at di masjid ditiadakan untuk sementara waktu. Lah, ini kok ada orang yang ibadahnya belum tentu sudah sesuai fikih, atau bahkan faham agama atau tidak sama sekali, malah kaya sudah paling ‘alim sendiri soal agama?

Shalat jama’ah, apalagi di masjid, memang memiliki keutamaan lebih dibanding shalat sendirian, atau shalat jama’ah tapi di rumah. Dalam hadis nabi juga banyak dijelaskan faidah-faidahnya. Seperti pahala shalat jama’ah lebih tinggi 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian. Ada lagi, mendapat naungan di bawah terik alam mahsyar saat banyak orang tidak bisa bernaung. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Tapi, kita harus lihat kondisi hari ini. Ini bukan masalah lebih takut Allah atau lebih takut Corona. Sebuah Virus mematikan yang bisa menular dengan adanya kontak langsung dengan penderita sedang mengjangkit secara global. Dan hal ini sangat memungkinkan sekali jika kita berkumpul dengan banyak orang. Termasuk di masjid.

Dalam kajian ushul, Corona dikategorikan sebagai mafsadah, sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan. Mafsadah, dalam agama, harus lebih dahulu dijauhi daripada melakukan kebaikan (Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil masalih). Menjauhi tertular virus Corona yang dapat menimbulkan penularan kepada orang lain, bahkan kematian, lebih harus dilakukan daripada melakukan kebaikan shalat Jama’ah atau shalat Jum’at di masjid.

Bagaimanapun, syariat hadir untuk menegakkan kemaslahatan. Syekh Izzudin bin Abdissalam (660 H.) dalam Al Fawaid fi Ikhtihor Al Maqashid (hal. 53) menjelaskan:

“من مارس الشريعة وفهم مقاصد الكتاب والسنة عَلِم أن جميع ما أمر به لجلب مصلحة أو مصالح، أو لدرء مفسدة أو مفاسد، أو للأمرين، وأن جميع ما نهي عنه إنما نهي عنه لدفع مفسدة أو مفاسد، أو جلب مصلحة أو مصالح، أو للأمرين، والشريعة طافحة بذلك”

Barangsiapa yang mempraktikkan syariat dan paham akan Al-Quran dan hadis, maka akan tahu bahwa semua yang diperintahkan di dalamnya adalah untuk menggapai kemaslahatan, menolak kerusakan (mafsadah), ataupun keduanya sekaligus. Semua yang dilarang adalah untuk menolak mafsadah, untuk menggapai maslahat, ataupun keduanya sekaligus. Dan syariat sudah mengcover semua itu.

Hujjatul Islam Imam Ghazali (505 H.) dalam Al-Mustashfa juga menjelaskan:

“المحافظة على مقصود الشرع… ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة”

Maksud maslahat itu adalah menjaga lima tujuan (maqashid al khams); yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apapun yang menjaga kelima hal ini maka dikategorikan maslahat. Sebaliknya, mengabaikannya berati mafsadah. Menolak mafsadah adalah suatu kemaslahatan.

Lalu persoalannya, dalam kasus khawatir akan tertular Virus Corona dalam shalat Jum’at atau jama’ah di masjid, bagaimana menurut agama?

Di satu sisi, shalat Jum’at dan jama’ah di masjid memiliki nilai hifdzuddin, menjaga agama. Sehingga tetap shalat jum’at dan jama’ah di masjid merupakan kemasahatan. Sesuai prinsip syariat; maslahat harus ditegakkan. Namun di sisi lain, menghentikan sementara shalat Jum’at dan jama’ah di masjid juga mengandung nilai hifdzunnafs, menjaga nyawa. Ini juga bentuk maslahat yang harus ditegakkan.

Keduanya sama-sama maslahat. Tapi saling bertentangan (ta’arudl). Lalu, mana yang harus didahulukan? Shalat di masjid dengan pertimbanangan hifdzuddin, atau sebaliknya, karena hawatir tertular Corona atas pertimbangan hifdzunnafs? 

Maqashidu As Syariah atau Maqashid Al Khamsah sendiri terdiri dari Hifdzuddin (memrproteksi agama), Hifdzunnafs (memproteksi jiwa), Hifdzul ‘Aql (memproteksi akal), Hidznnashl (memproteksi keturunan) dan Hifdzulmal (meproteksi harta). Ada yang menambahkan satu lagi, Hidfdzul ‘Irdl (memproteksi kehormatan).

Para ulama berbeda pendapat mana yang harus didahulukan dari kelima itu jika terjadi pertentangan (ta’arudl) sebagaimana kasus di atas. Sebagian mendahulukan harta, lalu agama, jiwa, akal dan keturunan. Imam Zarkasyi (1392 M.) mendahulukan jiwa, lalu harta, keturunan, agama dan akal. Dan Imam Ibnu an Najjar (972 H.) mendahulukan akal, lalau agama, jiwa, keturunan, harta dan kehormatan.

Syekh Dr. Ali Jum’ah (Mufti Besar Mesir periode 2003 – 2013), dalam kitab Al Madkhal ila Dirasah al Fiqhiyah menjelaskan bahwa para ulama klasik maupun kontemporer berbeda dalam pengurutan Kulliyyatul Khoms (lima maqashidsusyyariah), berbeda-bedanya itu karena melihat konteks ruang dan waktu yang dialaminya.

Lalu, untuk konteks sekarang mana yang harus dihadulukan? Terutama menyikapi kasus pandemi Virus Corona yang semakin membesar itu dan berpotensi mendatangkan kerusakan jiwa?

Tentu, memproteksi jiwa lebih harus didahulukan dari apapun, termasuk agama. Karena masalah jiwa (nyawa) adalah pesoalan Haq Adami (hak manusia), sementara agama adalah Haqullah (hak Allah). Dalam Islam, haq Adami harus lebih didahulukan daripada Haqullah. Karena prinsip Haq Adami itu bersifat ketat (mudhayyaqoh) sementara Haqullah bersifat lentur (musamahah).

Contoh saja orang yang tidak mampu shalat berdiri diperbolehkan shalat sambil duduk. Kebolehan duduk adalah hifdzunafs (menjaga jiwa) karena mempertimbangkan kemampuan fisik seseorang. Sementara shalat berdiri adalah hifdzudfin (menjaga agama), karena menjaga rukun shalat, yaitu berdiri.

Banyak sekali contoh yang lain. Seperti seorang musafir yang boleh untuk tidak berpuasa jika sudah sampai jarak tempuh qashar (masafah al qashr). Orang yang sedang sakit boleh untuk tidak shalat Jum’at. Dan, masih banyak lagi contoh lainnya.

Sekarang, rasa takut (khouf) akan tertular Virus Corona (dengan catatan sudah status darurat) dengan konsekuensi tidak shalat jama’ah di masjid, bahkan shalat Jum’at, adalah haq adami. Sementara tetap shalat jama’ah dan shalat jum’at di masjid adalah haqqullah, tentu saja bagi orang yang memenuhi syarat.

Dari sini jelas, mana yang harus diahulukan di antara keduanya, yakni tidak shalat jama’ah di masjid, atau bahkan tidak shalat Jum’at yang merupakan haq adami. Apalagi diperkuat dengan keputusan ulama besar Al Azhar yang otoritasnya tidak dapat diragukan oleh siapapun. Penulis juga telah menguraikannya secara lengkap dengan pandangan ulama-ulama salaf terkait hal tersebut, dan dapat di lihat di sini.

Lagi pula, jika -semoga saja tidak- ada orang sembrono ke masjid karena terprovokasi statement “Lawan Corona dengan shalat berjamaah di masjid”, lalu suspek Corona, atau bahkan lebih dari itu, siapa yang akan tanggung jawab? Tetap saja pemerintah, yang sudah mengimbau untuk tidak dulu shalat berjamaah atau Jum’at di masjid guna menghindari mafsadah Virus Corona.

Cukup jelas bahwa dalam agama Islam sendiri menjauhi hal-hal yang membahayakan tubuh manusia, seperti berkumpul walau atas tujuan kebaikan, seperti berjamaah atau shalat Jum’at harus didahulukan, daripada melaksanakan hal-hal kebaikan itu sendiri, seperti shalat berjamaah dan atau shalat Jum’at. Jangan sampai alih-alih selalu membawa-bawa nama agama, merasa paling dekat dengan Tuhan, tapi tanpa sadar sebenarnya sedang menularkan virus-virus tersebut. Na’uzubillah.

Sumber:
Kitab Al Mustashfa
Kitab Qowa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam
Kitab Kasyf al Asror
Kitab Al Mahshul
Kitab Al Madkhal ila Dirosah al Madzahib al Fiqhiyah

Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles