Dia adalah Mu’awiyah bin Yazid bin Mu’awiyah. Khalifah ketiga dari kekhalifahan Umayyah yang menggantikan tahta ayahnya Yazid bin Mu’awiyah. Dia dijuluki Abu Abdurrahman, ada juga yang menyebutnya Abu Yazid, Abu Laila dan Abu Ya’la Al-Qurasyi. Ibunya bernama Ummu Hasyim binti Abi Hasyim bin ‘Utbah bin Robi’ah.
Ia menjadi khalifah berdasarkan wasiat ayahnya pada tanggal 14 Rabiul Awwal tahun 64 H. Saat itu usianya masih 21 tahun. Pada umunya khalifah -apalagi memiliki ayah yang kurang baik budinya- dalam usia muda seperti ini memiliki dua kemungkinan; menikmati gemerlap kerajaan atau berambisi untuk menjadi kholifah terlama dan terbesar sehingga namanya membumbung di sejarah kelak.
Tapi tidak demikian dengan seorang Muawiyah bin Yazid. Dia adalah pemuda yang saleh dan taat kepada Allah Sawt. Meski umurnya tidak panjang.
Ketika dinobatkan sebagai kholifah dia dalam keadaan sakit keras. Saking parahnya dia belum pernah keluar rumah atau menjadi imam shalat bagi rakyatnya. Adapun yang manjadi imam waktu itu adalah Ad-Dohak bin Qais. Ada yang mengatakan Walid bin ‘Utbah (ini yang sahih).
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Mu’awiyah bin Yazid mengumpulkan rakyatnya lalau ia berseru “Asshalatu Jami’ah!”. Ketika rakyat sudah berkumpul ia berkata, “Wahai rakyat sekalian, telah diamanahi urusan kalian terhadapku, sementara aku adalah orang yang lemah. Jika kalian mau, akan aku serahkah pada lelaki yang kuat (mampu) sebagaimana Abu Bakar kepada Umar. Jika kalian mau bisa juga dengan membuat dewan Syura yang terdiri enam orang sebagaimana saat Umar bin Khatab. Namun tidak ada orang yang layak untuk itu. Biarkan saya yang memilih seseorang sebagai khalifah atau kalian sendiri yang memilihnya”
Selepas itu dia masuk ke rumahnya dan tidak pernah keluar lagi hingga kawafatannya. Mengenai kematiannya ada yang mengatakan karena sakit, adapula yang nengatakan diracun, dan adapula yang mengatakan ditikam.
Ada yang menjelaskan bahwa saat setelah diangkat menjadi khalifah, ia menyampaikan suatu khotbah dan menjelaskan di dalamnya soal ketidaksukaannya kepada kursi kehilafahan dan mengkritik ayah dan kakeknya. Dalam khotbah ini, ia menegaskan bahwa perang Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Imam Ali as dan juga sikap tak sopan ayahnya Yazid dan khususnya pembantaian Imam Husain as dan keluarga Nabi saw hingga gugur sebagai syahid merupakan kesalahan dan dosa besar.
Ia menangis dan melanjutkan, “Hal besar yang perlu kalian ketahui bahwa ayah saya meninggal dalam kedaan tidak baik. Ia telah membinasakan keluarga rasulullah, menghalalkan khamr, dan merobohkan ka’bah. Saya belum menyicipi manisanya khalifah (jabatan) dan tidak akan akan menanggung getirnya. Demi Allah, jika memang dunia ada memiliki nilai baik, maka berikanlah bagian untuk kami, tapi jika tidak maka jauhkanlah dari anak cucu Abu Sufyan.
Lalu masuk ke rumahnya hingga ajal menjemput.
Sebelum kawafatnnya, ia hanya menjabat khalifah selama 40 hari. Ada yang mengatakan 20 hari, dua bulan, satu bulan setengah, 3 bulan 10 hari, dan ada yang mengatakan 40 hari. Wallahu a’lam.
Saat menjelang kewafatannya, ia ditanya, “Tidakkah kau tetapkan siapa yang akan menjadi penggantimu?” Ia menjawab, “Aku belum pernah mencicipi lezat dan manisnya, lalu mengapa harus menanggung getirnya?”
Sang khalifah wafat pada usia 21 tahun. Ada yang mengatakan 23 tahun 23 hari, Ada yang mengatakan 19 tahun, 23 tahun 18 tahun, 20 tahun dan ada yang mengatakan 25 tahun. Tapi pendapat yang kuat adalah 21 tahun. Wallahu a’lam.
Sumber:
Tarikh Kulafa Imam Suyuti
Al-Bidayah Wannihayah
Fadhoilul Khomsah Minassihah as-Sittah
Syarah Nasihah Al-Kafiyah
Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta).