Semangat beragama masyarakat Indonesia bisa dikatakan terus meningkat. Hal ini dapat kita lihat dengan semakin menjamurnya kajian-kajian keagamaan. Baik pada masyarakat umum, kaum pelajar hingga instansi-instansi tinggi kepemerintahan. Tak ada yang salah dalam hal ini, karena manusia memang tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap agama.
Sifat ketergantungan masyarakat terhadap agama adalah hal yang mutlak. Kita bisa melihat bagaimana agama dijadikan pedoman bagi seorang penganutnya agar segala tindakan dan perbuatannya sesuai dengan orang-orang yang digelari oleh agama sebagai orang saleh. Tentu menuju taraf saleh ini tidaklah serta merta mudah begitu saja, seorang hamba harus beramal ma’ruf nahi mungkar.
Persoalan seorang hamba menuju taraf saleh ini menjadi rancu karena harus beramal ma’ruf nahi mungkar. Kerancuannya ialah karena konsep amal ma’ruf nahi mungkar ini adalah konsep yang luas dan umum. Pada taraf praktik, orang-orang akan memperdebatkan bagaimana jalan mencapai taraf kesalehan, apakah harus bermazhab ala salafus sholeh atau seperti apa. Kerancuan ini diperparah dengan sikap fanatisme praktik seorang hamba dalam bermazhab menuju pada titik saleh. Tak jarang menyalahkan orang-orang yang tidak sepaham, tidak sependapat, atau tidak bertindak seperti mereka dengan mazhabnya.
Namun, apakah bisa kita menjadi saleh tanpa menghakimi? Apakah bisa kita berpendapat tanpa menyalahkan? Tentu bisa. Karena pada dasarnya agama muncul membawa nilai-nilai dasar dalam berkehidupan, baik pada hubungan yang vertikal maupun horizontal. Nilai-nilai dasar dan menjadi semangat dalam agama setidaknya ada beberapa macam. Ada nilai-nilai sosial seperti: kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, kepercayaan adapula nilai-nilai hubungan vertikal seperti ketaatan menjalankan Ibadah dan lain-lain.
Termasuk di dalamnya bagaimana kita menjaga ukhuwah silaturahim antar umat beragama, menghargai setiap pendapat dan mengedepankan persamaan dari banyaknya perbedaan. Bukan mengedepankan perbedaan dari banyaknya persamaan. Juga mengedepankan dialog dalam menjawab persoalan-persoalan keagamaan dan meninggalkan fanatisme yang tak memiliki landasan.
Orang bisa menyalahkan yang lain karena sikap tertutup dan fanatisme pada perbedaan-perbedaan dalam menjalankan perintah agama. Karena muara seluruh persoalan keagamaan ialah sikap fanatisme yang tak memiliki dasar atau fanatisme buta. Yang muncul bukan lagi nilai-nilai yang dibawa oleh agama, melainkan sudah keluar dan menuju pada pemakaian nafsu untuk menjatuhkan.
Bagaimana seharusnya kita menumbuhkan sikap plural dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dalan menjalankan perintah agama sehingga tidak membuat kita menyalahkan mereka yang berbeda pendapat dengan kita? Unguk menjawab ini kita bisa belajar dari apa yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Ia menyatakan, “Argumen saya, saya yakini benar tapi bisa saja salah, dan argumen lawan saya, saya yakini salah tapi bisa saja benar”.
Dari ungkapan Imam Syafi’i ini sudah seharusnya kita sebagai Muslim bisa meninggalkan sikap fanatisme apalagi fanatisme buta, yang tidak tahu persoalan secara komprehensif dan menyeluruh namun tetap ingin didengar dan cenderung memaksakan kehendak. Fanatisme bertentangan dengan nilai-nilai kesalahan dalam beragama. Karena menjadi saleh tidak perlu menghakimi diri paling benar dan orang lain salah.
Penulis: Agung Abdi N.