Dewasa ini, kita dipertemukan dengan berbagai macam karakter dan perilaku manusia yang unik. Tentu saja ketika kita berada dalam lingkup sosial atau masuk dalam kehidupan seseorang, bukan suatu hal yang mudah, jika tidak memiliki kemampuan memahami perasaan orang tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kemampuan untuk dapat memahami perasaan mereka. Seseorang dikatakan telah berhasil dalam hidupnya apabila memiliki salah satu kemampuan mengambil perspektif orang lain (perspective taking) dalam suatu masalah.
Dalam bahasa Steven R. Covey disebut dengan istilah “Berusaha mamahami orang lain sebelum minta dipahami (Seek first to understand, then to be understood).” Di dalam Al-Qur’an juga dijelaskan masalah ini. Allah berfirman dalam QS. Saba’ [34] : 24-26:
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ قُلِ ٱللَّهُ ۖ وَإِنَّآ أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِى ضَلٰلٍ مُّبِينٍ (24). قُل لَّا تُسْـَٔلُونَ عَمَّآ أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ (25). قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ (26).
Katakanlah (Muhammad), siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (24)
Katakanlah, Kamu tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kami kerjakan dan kami juga tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kamu kerjakan. (25)
Katakanlah, Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dia Yang Maha Pemberi Kepurusan, Maha Mengetahui. (26)
Perhatikan kandungan ayat-ayat di atas yang seakan menegaskan: Kalian tidak usah gusar, apalagi marah dengan kami. Toh apabila kami sesat seperti apa yang kalian sangka, kalian tidak bertanggung jawab atas dosa kami, dan kami pun tidak bertanggung jawab atas perbuatan kalian. Hal ini menunjukkan adanya pendekatan yang sangat lembut yang dilakukan kaum muslim kepada kaum musyrik.
Jika dengan kaum musyrik saja kita diajarkan sikap seperti itu, maka alangkah lebih baik lagi bila dengan sesama muslim sewajarnya kita saling lebih memahami. Pada akhirnya, Allah Swt. menegaskan bahwa kita semua akan dikumpulkan di hadapan-Nya. Kelak di akhirat, di sanalah Allah Swt. akan memutuskan nasib kita masing-masing.
Dalam QS. Yunus [10] : 41 Allah berfirman:
وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِّى عَمَلِى وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ ۖ أَنتُم بَرِيٓـُٔونَ مِمَّآ أَعْمَلُ وَأَنَا۠ بَرِىٓءٌ مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menegaskan kembali prinsip perspective taking, yaitu bahwa Allah Swt. mengajarkan, jika memang mereka (kaum musyrik) tidak mempercayai apa yang telah kami sampaikan, maka tidak perlu dipaksakan. Masing-masing akan bertanggung jawab dengan perbuatannya.
Kemampuan melihat perspektif lain tidak hanya penting dalam urusan keyakinan, tapi juga penting dalam aspek kehidupan yang lain. Misalnya, dalam belajar, seorang pendidik harus berorientasi kepada kondisi objek yang diajarkan. Seperti dalam kemampuan berpikirnya, latar belakang kehidupannya, menggunakan metode belajar yang menyenangkan sesuai dengan kemampuan peserta didik dan sebagainya, agar materi yang diajarkan dapat tersampaikan dengan baik.
Demikian juga dalam berbisnis, atau mencari nafkah. Telah banyak dibahas oleh para ahli di bidang ini, betapa pentingnya berorientasi memahami konsumen atau pelanggan, agar produk dan jasa yang kita tawarkan diminati dan disukai banyak kalangan.
Kemudian perspective taking dalam psikologi adalah kemampuan untuk memperkirakan pandangan atau pemikiran orang lain serta memahami pemikiran mereka atau perasaan mereka. Perspective taking memiliki banyak manfaat untuk hubungan sosial, termasuk mengurangi stereotype, prasangka dan bias antar kelompok terhadap target dan kelompok sasaran.
Secara psikologi dan sosial, perspective taking merupakan hal penting bagi keharmonisan interaksi antar individu. Perspective taking dapat menurunkan stereotype (keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang; baik dari ciri, kepribadian, perilaku, nilai pribadi, yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial) dan pandangan buruk terhadap kelompok lain secara lebih efektif dibandingkan melakukan penekanan terhadap stereotype.
Apabila konsep perspective taking dikaitkan dengan teori of mind, dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain, memahami dari perspektif mereka dan dapat pula menginterprestasikan serta memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain.
Kunci pokoknya adalah dimana seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Karena berkaitan dengan daya dan kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kemantapan analisisnya.
Perspective taking bukanlah sekedar sifat alami yang dianugerahkan Allah Swt. yang keberadaannya secara otomatis dimiliki oleh setiap individu, melainkan potensi-potensi yang harus dipupuk dan dikembangkan dalam berbagai setting kehidupan, termasuk pembelajaran yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil.
Referensi:
Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta: Almahira, 2017.
Nurdin, Ali, Al-Qur’an Solusi Kehidupan, Tangerang Selatan: Yayasan Nurummubin, 2018.
Nashori, Fuad, Psikologi Sosial Islami, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Taufik, Empati: Pendekatan Psikologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo, 2012.
Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta: Almahira, 2017.
Nurdin, Ali, Al-Qur’an Solusi Kehidupan, Tangerang Selatan: Yayasan Nurummubin, 2018.
Nashori, Fuad, Psikologi Sosial Islami, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Taufik, Empati: Pendekatan Psikologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo, 2012.
Penulis: Safitri Septiani (Mahasiswi IIQ Jakarta, Peminat Kajian Pendidikan, Syari’ah, Fikih dan ke Al-Qur’anan).