Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang tak bisa dipahami oleh manusia biasa sama persis dengan apa yang diinginkan Tuhan. Oleh sebab demikian diperlukan adanya pendekatan dalam memahami teks kitab suci umat Islam itu.
Salah satu pendekatan tafsir yang cukup masyhur di kalangan para pengkaji tafsir Al-Qur’an yaitu pendekatan tafsir sufistik, yaitu cara pandang mendekati teks Al-Qur’an dengan teori-teori tasawuf dan atau tasawuf falsafi.
Secara umum tafsir Al-Qur’an dengan pendekatan sufistik dibagi menjadi dua kategori, yaitu tafsir sufi isyari dan tafsir sufi nazhari. Tafsir sufi isyari yaitu tafsir yang epistemologinya berupa isyarat-isyarat para salik/sufi, biasanya melalui perenungan. Sedangkan sufi nazhari adalah tafsir sufi yang epistemologinya yaitu teori-teori tasawuf dan atau filsafat.
Oleh sebab demikian pendekatan tafsir sufistik tidak akan bisa dioperasionalkan sampai seorang Mufasir memahami kajian tasawuf dan filsafat secara matang. Karena, keduanya menjadi pisau bedah dalam mengurai teks Al-Qur’an melalui cara pandang ini.
Hal unik yang membedakan antara tafsir sufi dengan tafsir lainnya adalah penggunaan takwil dalam memahami ayat Al-Qur’an. Seorang sufi (saat memahami teks) umumnya tidak mereferens ke dalam data-data ilmiah, akan tetapi melalui makna batin suatu kata/teks. Meski demikian, karakter ini menjadi objek kritik sebagian cendekiawan yang mengatakan tafsir sufi tidak bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
Pada dasarnya, pendekatan tafsir sufistik hanya digunakan pada ayat-ayat yang membahas persoalan akhlak, moral, dan etika saja. Akan tetapi seiring dengan adanya tafsir nazhari yang epistemologinya teori-teori tasawuf, pendekatan ini bisa juga untuk menganalisa ayat-ayat sosial, bahkan mu’amalah.
Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang dapat ditafsirkan dengan pendekatan ini, misalnya QS. At-Taubah: 73, Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Para ulama sufi memahami bahwa yang dimaksud dengan kata ‘kuffar’ dan ‘munafiqun’ pada ayat di atas adalah hawa nafsu dan akhlak-akhlak tercela pada diri manusia. Untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka ia harus bisa memerangi hawa nafsunya.
Mereka berlandaskan kepada salah satu hadits Nabi Muhammad SAW, di mana beliau pernah menyatakan bahwa jihad paling besar setelah peperangan adalah jihad melawan hawa nafsu. Jika seseorang sudah bisa melawan hawa nafsunya maka ia akan bisa memenej kehidupannya baik dengan diri maupun dengan orang lain dengan sangat baik.
Tafsir dengan pendekatan sufistik urgen digunakan di masa modern seperti sekarang, di mana manusia seolah lupa dengan siapa yang memberi nikmat. Dengan kekayaan tekhnologi mereka berkurang dalam interaksi dengan Tuhannya. Pendekatan tafsir sufistik dapat menyajikan sentuhan-sentuhan batin manusia modern untuk selalu berada dalam keniscayaan Allah SWT. Wallahu A’lam.[]