Sekilas Pandang
Hari lebaran umat Islam tinggal menghitung hari. Sejumlah pihak memprediksikan bahwa ada perbedaan dalam penetepan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriyah tahun 2023 M ini.
PP Muhammadiyah telah menetapkan Hari Raya Idul Fitri 2023 jatuh pada tanggal 21 April 2023 atau bertepatan dengan hari Jumat. Hal tersebut tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.1/MLM/I.0/E/2023 tentang Penetapan Hasil Hisab, Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H.
Menariknya, baik Muhammadiyah, NU, dan Pemerintah menetapkan awal puasa tahun 2023 M secara bersamaan, namun Muhammadiyah memiliki cara tersendiri dan berbeda dalam penentuan awal Hari Raya Idul Fitri.
Perlu diketahui, perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri bukan peristiwa baru bagi masyarakat Indonesia. Perkiraan dalam 10 tahun terakhir, terdapat tiga kali perbedaan dalam menentukan perayaan hari besar umat Islam ini.
Pada tahun 2011, Muhammadiyah merayakan Idul Fitri pada 30 Agustus, sementara pemerintah menetapkan salat Id jatuh pada 31 Agustus. Pada 2007, Muhammadiyah dan pemerintah lagi-lagi beda pendapat mengenai penentuan perayaan Lebaran. Muhammadiyah merayakannya pada 12 Oktober, sehari kemudian pemerintah baru melangsungkan Lebaran. Muhammadiyah pada 2006 juga lebih dulu merayakan Idul Fitri, yaitu pada 23 Oktober 2006.
Penyebab perbedaan penetapan awal Idul Fitri dapat ditinjau dari aspek metodenya. NU menggunakan metode rukyat (mengamati hilal secara langsung), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan). Sementara pemerintah menetapkan dalam sidang isbat, dengan terlebih dahulu melakukan rukyat al-hilal atau melihat bulan yang terbit pada 1 Kamariah.
Muhammadiyah
Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah konsisten selalu menggunakan metode hisab atau tepatnya hisab hakiki wujudul hilal dalam penentuan awal penanggalan hijriyyah.
Hisab secara harfiah berarti perhitungan. Dalam Islam, istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomis) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Dalam hal ini metode hisab lebih merujuk pada perhitungan falak, yakni secara matematis dan astronomis. Di samping itu, metode hisab dinilai bersifat ta’aqquili-ma’qul al-ma’na yang berarti dapat dirasionalkan, diperluas, dan dikembangkan.
Dalam metode hisab hakiki ini, Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dulu daripada Bulan walaupun hanya selang satu menit atau kurang. Ide ini dicetuskan oleh pakar falak Muhammadiyah, Wardan Diponingrat.
Disebutkan dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, dengan metode hisab hakiki wujudul hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat Matahari terbenam terpenuhi tiga syarat secara kumulatif.
Adapun, syarat yang dimaksud adalah, telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, dan pada saat Matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.
Muhammadiyah berpandangan, metode hisab hakiki wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan metode hisab lainnya, seperti hisab hakiki imkanur rukyat. Bagi Muhammadiyah, jika posisi Bulan sudah berada di atas ufuk pada saat Matahari terbenam di seluruh Indonesia, berapapun tingginya (meskipun hanya 0.1°), maka keesokan harinya sudah masuk bulan baru.
Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah. Ini penting, terutama untuk menentukan awal Ramadhan, awal Syawal atau Idul Fitri, serta awal Dzuhijjah saat jamaah wukuf di Arofah dan Idul Adha.
Dalam Al-Quran surat Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa Allah SWT sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Dalam surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungannya.
Menurut Muhammadiyah penetapan awal bulan itu bisa dengan hisab dengan perhitungan. Kalau kita memahami bahwa bulan dan matahari beredar menurut perhitungan, maka kita bisa memprediksi, mengukur, menentukan dengan pasti, dengan akurat.
Nahdlatul Ulama
Berbeda dengan Muhammadiyah, NU dalam penentuan penanggalan awal qamariah menggunakan metode rukyah atau tepatnya adalah penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi’ly). Rukyatul hilal bil fi’ly adalah upaya melihat hilal dengan mata (tanpa menggunakan alat) yang dilakukan secara langsung atau dengan menggunakan alat, padasaat akhir bulan Qomariyah (tanggal 29) ketika matahari terbenam.
Bulan yang dimaksud adalah bulan sabit muda sangat tipis pada fase awal bulan baru. Bulan inilah yang disebut dengan hilal.
Pengamatan hilal tersebut dilakukan pada hari ke-29 atau malam ke-30, dari bulan yang sedang berjalan. Bila malam tersebut hilal sudah terlihat maka malam itu pula sudah dimulai bulan baru.
Sebaliknya, jika hilal tidak terlihat maka malam itu adalah tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Malam berikutnya dimulai tanggal satu bagi bulan baru atas dasar istikmal (digenapkan).
Pedoman dari penentuan hilal dengan metode ini didasarkan oleh NU dari firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 189:
۞ يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji,’ …”
Di samping itu, NU juga berpegang pada Hadis Nabi SAW: Berpuaslah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari.”
Untuk melihat hilal, biasanya posisi bulan harus berada dua derajat di atas matahari. Syarat lainnya adalah jarak elongasi dari matahari ke arah kanan atau kiri. Semakin lebar maka makin mudah melihat hilal langsung.
Kemenag RI
Salah satu langkah monumental untuk menjembati perbedaan dua ormas terbesar tersebut, pemerintah melalui Kementerian Agama membentuk badan resmi yakni Badan Hisab dan Rukyat (BHR). Badan tersebut berdiri tahun 1970-an berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1972 dan pertama kali diketuai oleh Saadoeddin Djambek, seorang pakar ilmu falak terkemuka Muhammadiyah.
Keanggotaan Badan Hisab dan Rukyat terdiri dari para ulama/ahli yang berkompeten dari berbagai unsur organisasi dan instansi terkait.
Peran dan tugas Badan Hisab dan Rukyat, sebagai berikut:
1. Menentukan hari-hari besar Islam dan hari libur nasional yang berlaku seluruh Indonesia.
2. Menyatukan penentuan awal bulan Islam yang berkaitan dengan ibadah umat Islam, seperti 1 Ramadan, 1 Syawal (Idul Fitri), 10 Zulhijjah (Idul Adha).
3. Menjaga persatuan umat Islam, mengatasi pertentangan dan perbedaan dalam pandangan ahli hisab dan rukyat dan meminimalisir adanya perbedaan dalam partisipasi untuk membangun bangsa dan negara.
Badan Hisab dan Rukyat inilah yang nantinya akan melakukan sidang Isbat. sidang isbat adalah proses untuk menentukan atau menetapkan awal bulan dalam kalender Hijriyah. Sidang isbat ini bertujuan untuk mengakomodasi hasil rukyat dan hisab sebagaimana yang dipegang oleh kedua ormas terbesar di atas.
Kementerian Agama akan menggelar sidang isbat untuk menetapkan 1 Syawal 1444 Hijriah pada Kamis, 20 April 2023. Hasil sidang isbat bisa saja berpotensi berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan hari raya Idul Fitri pada Jumat 21 April 2023.
Posisi hilal saat sidang isbat di Indonesia akan mengikuti kriteria baru yang ditetapkan MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). MABIMS bersepakat menggunakan kriteria, yakni ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Anjuran Ikut Pemerintah
Hendaknya kaum Muslimin memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan bersama pemerintah. Sehingga tercapai persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah yang agung ini. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sabdakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Mereka (para imam memimpin) shalat untuk kalian. Jika mereka benar maka (pahala) untuk kalian, dan jika mereka salah maka (pahala) untuk kalian dan (dosa) atas mereka.” (HR. al-Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa bagaimanapun keadaan imam maka umat Islam harus mengikuti imam. Dalam konteks Indonesia, imam (pemerintah) tampak dalam sosok Menteri Agama yang dikelilingi oleh para ahli di berbagai bidang terutama di bidang fiqih dan astronomi. Sehingga kesalahan yang dilakukan oleh Menteri Agama dapat diminimalisasi.
Untuk itu seharusnya umat Islam di Indonesia mengikuti menteri agama sebagai perwujudan ulil amr yang harus ditaati. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amr di antara kalian. (QS an-Nisa:59)
Dengan memperhatikan kandungan hukum dari ayat tersebut, pemerintah dalam hal perintahnya wajib dipatuhi dan dilaksanakan, selama perintah tersebut tidak menyuruh kepada kemungkaran.
Ayat di atas dijustifikasi dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: Hukmu al-hakim ilzam wa yarfau al-khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat).
Dengan demikian, berpijak dari ayat Alquran dan kaidah fiqih di atas, masalah-masalah keagamaan yang mempunyai relasi dengan urusan sosial kemasyarakatan, pemerintah berhak ikut campur dan memutuskan. Keputusan tersebut pada dasarnya bersifat memaksa (ilzam).
Usaha pemerintah untuk menciptakan mashlahah ini memiliki relevansi dengan metode siyasah syariyyah, yaitu kebijakan penguasa (ulil amr) yang menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang lain: Tasharruf al-imam ala al-raiyyah manuthun bil mashlahah (Kebijakan pemimpin untuk rakyatnya bertujuan untuk kemaslahatan).
Kesimpulan
Melihat metode yang berbeda dalam penentuan kalender awal qamariah, maka ada potensi perbedaan hari Lebaran antara NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi Islam besar di Indonesia ini memang mempunyai perbedaan cara dalam menetapkan awal bulan.
Segala macam perbedaan (ikhtilaf) dalam penentuan awal qamariah termasuk Hari Raya Idul Fitri tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati. Dalam sejarah Islam, pihak itu adalah ulil amri atau pemerintah. Salah satu tugas pemerintah adalah menjadi penengah dan berwenang menetapkan jatuhnya 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri. Meskipun ada sekian banyak kajian dan perselisihan para ahli di dalamnya, namun kata akhir kembali kepada pemerintah.
Oleh sebab itu, keputusan pemerintah dalam penetapan awal bulan Qamariyah memberikan manfaat berupa kejelasan terhadap permasalahan penetapan awal bulan Qamariyah. Selanjutnya dalam keputusan pemerintah tersebut juga membawa kemaslahatan berupa persatuan dan kesatuan umat. Dengan mengikuti ketetapan pemerintah, maka tidak akan ada lagi perbedaan penetapan awal bulan.[]