Mengapa umat muslim menjadikan Idul Fitri sebagai helatan akbar yang dirayakan dengan gegap gempita?Â
Barangkali ini pertanyaan remeh-temeh yang harus dijawab dengan tulisan panjang atau bahkan perlu menggunakan teori dan pendekatan ilmiah yang bikin mules, seperti habis makan opor ayam lebaran tetangga yang pedasnya tujuh belas setan.
Saya akan menjawab soal ini dengan pendekatan antropologi agama Emile Durkheim dan teori konstruksi sosial. Saya sarankan anda siapkan secangkir kopi dan kue lebaran secukupnya.
***
Inti teori agama Durkheim adalah unsur sakral (sacred) dan profan (profane). Menurutnya, religion is about the separation of the sacred from the profane (agama adalah tentang pemisahan antara yang sakral dan yang profan).
Unsur sakral bersifat luar biasa sehingga ia mendapat perhatian khusus bagi orang yang mengimaninya. Sebaliknya unsur profan mencakup hal-hal biasa saja.
Satu contoh peristiwa sakral dalam Islam adalah kematian. Kalau boleh disebut, ketika orang meninggal berarti ia sudah tidak bernyawa dan sudah semestinya dimakamkan. Sudah itu saja. Selesai. Tapi karena sakral maka kematian tidak sesederhana itu.
Untuk kematian satu orang saja, umat muslim akan melakukan serangkaian ritual keagamaan yang kompleks. Mulai dari memandikan, mengafani, menyolati, memakamkan, mendoakan, tahlilan rutin (7 hari, 40 hari, 100 hari, sampai haul setiap tahun), dan sebagainya.
Karena prosesnya yang kompleks itu kemudian melahirkan beragam kebutuhan lain seperti koordinasi, pengeluaran anggaran yang tidak sedikit, mengambil cuti kerja, memulangkan anak-cucu di perantauan, dan sebagainya, termasuk harus memikirkan berapa besaran amplop dan berkat dobel untuk imam tahlilnya.
Tentu yang membuat sesuatu dinilai sakral itu adalah keyakinan yang didasari oleh doktrin-doktrin keagamaan seperti Al-Qur’an, hadits, pendapat ulama, tradisi, dan sebagainya.
Idul Fitri SakralÂ
Idul Fitri merupakan salah satu momen yang memiliki sakralitas cukup kuat dalam Islam. Bayangkan, momen yang hanya berlangsung satu hari (1 Syawal) ini mampu menggegerkan umat muslim sedunia dalam sekejap. Seperti jentikan Thanos saja.
Orang-orang yang tadinya masih khusyuk menjalankan puasa Ramadhan, shalat tarawih, bertadarus Al-Qur’an, asyik ngabuburit, seru-seruan Bukber, dan sebagainya, tiba-tiba semua harus update soal penetapan 1 Syawal.
“Ini bukan soal pergantian hari, tapi lebih dari itu, menyangkut halal dan haram”.
Umat muslim meyakini, berpuasa pada 1 Syawal hukumnya haram. Jika tidak update dan ia tetap berpuasa pada 1 Syawal itu, atau masih Ramadhan tapi ia kira sudah lebaran, maka haram dan tentu berdosa.
Itu baru huru-hara di level masyarakat. Di tingkat pemerintahan, orang-orang sibuk menyiapkan birokrasi, regulasi, koordinasi, dan si-si yang lain untuk melakukan pemantauan hilal. Di sisi lain, masyarakat juga terbelah: ada yang ikut pemerintah dengan metode rukyat, ada juga yang pakai hisab. Duh, repot.
Kacamata SosialÂ
Sebuah tradisi yang berkaitan dengan unsur sakral, biasanya memiliki fondasi cukup kuat, bahkan seperti “ikut disakralkan”. Demikian juga tradisi dalam momen Idul Fitri (konteks Indonesia).
Untuk yang jamak ditemui saja, saat menjelang Idul Fitri orang akan berbodong-bondong mudik ke kampung halaman. Panas, macet, keluar banyak budget, mengosongkan rumah di perantauan, tidak jadi soal. Bahkan, tragedi Brebes Exit Toll (Brexit) pada mudik lebaran 2016 yang menelan banyak korban jiwa saja seolah tidak menimbulkan trauma sama sekali.
Tak pelak, nuansa homoris juga muncul di tengah kemacetan. Beragam quote kocak seperti “Buk, aku muleh ora gowo mantu, mantumu rewel tak tinggal di rest area” (Bu, aku mudik tidak bawa menantu, menantumu rewel jadi ditinggal di rest area), juga bikin heboh.
Tradisi-tradisi lainnya seperti menggeruduk toko baju sebelum lebaran, menyajikan macam ragam kue khas Idul Fitri, berbagi ampao untuk sanak-saudara, sungkeman, nyekar, dan sebagainya. Yang jelas, hampir setiap daerah di negeri ini memiliki sejumlah tradisinya masing-masing.
Mengapa tradisi-tradisi ini begitu kuat? Jawabannya, selain karena memiliki kaitan erat dengan momen sakral dalam agama (Idul Fitri), juga sebab berulangkali dilakukan oleh manusia sebagai aktor sosial sehingga menjadi nilai dan keyakinan yang melekat di masyarakat. Inilah yang disebut konstruksi sosial.
Saya jelaskan dalam satu contoh. Tradisi mudik berulangkali dilakukan oleh masyakat muslim Indonesia saat momen Idul Fitri. Sehingga, orang-orang secara tidak langsung mengimani mudik sebagai sebuah aktivitas yang “wajib” dilakukan saat momen tahunan ini tiba.