Ngomongin soal idul fitri, semua sepakat bahwa idul fitri adalah momen bertemu sanak saudara dan handai taulan. Lengkap dengan baju baru yang sudah jauh hari disiapkan. Tak lupa pula aneka kue khas lebaran memenuhi meja ruang tamu dihidangkan. Dan banyak hal lainnya.
Tapi suasana itu tidak dimiliki oleh anak rantau yang lebih memilih lebaran di tanah orang. Ya seperti saya ini: lebaran di Ibu Kota, menunda mudik yang terhalang oarang ketiga, eh, Corona maksudnya. Asalkan keluarga dan kampung halaman baik-baik saja.
Tapi sebenarnya, sederet momen tahunan di atas bukanlah esnensi dari hari raya idul fitri. Karena ‘kebetulan saja’ momen itu terus terulang setiap tahunnya. Lalu menjadi tradisi positif yang tidak ‘haram’ kalaupun dilewatkan. Jadi ya kesannya ‘lebaran kok sepi gini, kayak bukan lebaran saja’.
Dalam sebuah syair, yang saya yakin sudah akrab di telinga kita, dikatakan,
“Ied bukanlah bagi orang yang memakai baju baru”
“Ied hanyalah bagi orang yang bertambah ketaatannya”
“Ied bukanlah bagi orang yang indah pakaian dan kendaraannya”
“Ied hanyalah bagi orang yang telah diampuni kesalahannya”.
“Ied bukanlah bagi orang yang dapat uang rupiah”.
“Ied hanyalah bagi orang yang mendapatkan rohmat Allah”.
“Ied bukanlah bagi orang yang banyak minum dan makanan”
“Ied hanyalah bagi orang yang beramal benar dan konsiste”
“Ied bukanlah bagi orang yang pergi ke tempat mana saja”
“Ied hanyalah bagi orang yang bertambah keimanannya”
“Ied bukanlah bagi orang banyak berkunjung”
“Ied hanyalah bagi orang yang tegak di atas sunnah”
“Ied bukanlah bagi orang yang sibuk dengan alat musik dan bermain-main”
“Ied hanyalah bagi orang yang takut (kepada Allah) dan bertaubat (kepadaNya)”.
Syekh Kholid bin Husain bin Abdurrohman dalam kitab Wahatul Iman Fi Dzilali Syahri Romadhon (juz 2, halaman 225) menjelaskan,
“Hari ied yang sebenarnya adalah bagi orang yang puasanya diterima, sholatnya diterima, mendapat anugerah Allah Swt. Hari ied adalah hari di saat orang mukmin dibebaskan dari api neraka dan dibukakan lebar untuknya pintu-pintu surga.”
“Ketika Allah ridlo dan mengampuninya, sehingga ia menjadi orang yang mendapatkan pahala tiada tara. Pahala puasa dan sholatnya adalah ridlo dan ampunan Allah Swt.”
“Sehingga termasuk orang-orang yang masuk dalam seruan Allah, “Kalian telah diampuni, kalian telah ridlo, Saya pun meridloi kalian”. Malaikat nenjadi saksi atas semua itu.”
Jadi, bisa dibilang momen idul fitri yang selama ini kita anggap sebagai idul fitri yang sesungguhnya, nyatanya hanya persepsi ‘klise’.
Idul fitri ada dalam diri kita masing-masing. Yang di tanah rantau tetap bisa idul fitri, karena idul fitri tidak harus berkumpul keluarga.
Yang tidak punya baju baru tetap bisa idul fitri, karena yang hanya pakai celana kolor pun tetap bisa idul fitri.
Bahkan, yang fotonya masih ‘single’ pun tetap idul fittri, karena idul fitri bukan mereka yang berfoto gandengan, habis itu ditikung teman satu kos-kosan. Kan sakit nggak karu-karuan.
Syekh Hasan al-Bashri mengatakan,
“Setiap kita tidak melakukan maksiat kepaa Allah, itulah hari ied yang sebenarnya”.
Mari maknai lebaran yang sesungguhnya. Jadikan lebaran sebagai awal langkah untuk terus berbuat baik dan konsisten beribadah setelah satu bulan Ramadan penuh ditempa.
Penulis: Muhammad Abror (Mahasantri Mahad Ali Sa’idushidiqiyah Jakarta).