Judul : Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan
Penulis : Tim Redaksi (Ahmad Baiquni, Azam Bahtiar, Irawan
Fuadi)
Penerbit : Mizan
Tempat Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2015
Cetakan ke : 1
Tebal Buku : 342 Halaman
Editor : Ahmad Sahal dan Munawir Azis
Desain Sampul : Andreas Kusumahadi
Istilah Islam Nusantara kerap menjadi perdebatan sengit antara satu kelompok yang membenarkannya – bahkan meneguhkannya – dengan kelompok yang sama sekali tidak menyetujuinya untuk diterapkan di Indonesia, terlebih untuk dunia. Perdebatan itu semakin memanas setelah Nahdlatul Ulama menjadikan platform yang terdengar baru itu sebagai tema utama muktamar NU ke-33 di Jombang, ‘’Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’’.
Islam Nusantara menjadi kajian yang digandrungi banyak kalangan. Salah satunya dengan ditulisnya buku “Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan”. Buku yang merupakan kumpulan tulisan pemikir-pemikir Islam Indonesia ini, menawarkan dan mencoba memecahkan permasalahan krusial yang sempat menggerus peradaban bangsa, karena perbedaan pandangan yang tak sedikit menuai kecam terkait Islam Nusantara.
Dalam buku ini dipaparkan dengan detail dan gamblang apa yang dimaksudkan dengan istilah Islam nusantara. Para pemikir yang menyumbangkan tulisannya mengatakan dengan tegas bahwa Islam Nusantara bukan lah madzhab baru, apa lagi agama baru, sehingga – dengan pandangan ini – kemudian menimbulkan perdebatan yang berujung menghujat bahkan mencela. Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandasan pada masuknya Islam di Indonesia, tipologi berpikir (keislaman) yang bertautan dengan berlangsungnya Islam di Indonesia yang fleksibel, dengan tanpa menentang tataran hukum syariat yang telah ada serta menghormati budaya-budaya yang telah ada sebelum masuknya Islam itu sendiri.
Istilah baru ini ada founding fathernya. Sebagaimana dalam buku ini dipaparkan bahwa, sebenarnya istilah ini bukan istilah yang ujug-ujug datang tanpa diundang, namun istilah ini sudah lama ada, meskipun tidak menggunakan label Islam Nusantara secara leksikal. Tepatnya saat Dies Natalies UIN Sunan Kali Jaga Jogja, Prof Hasbi Assidqi mempromosikan istilah ‘’Fikih Indonesia’’, dan Gus Dur, beliau juga menawarkan istilah ‘’Pribumisasi Islam’’. Keduanya itu – Fikih Indonesia dan Pribumisasi Islam – semakna dengan Islam Nusantara dalam cakupannya sebagai istilah Islam yang memanifestasikan ajaran Islam dengan menyesuaikan kontekstualitas budaya, dan tanpa sedikit pun menyampingkan hukum syariat yang telah paten.
Istilah Islam Nusantara sendiri dimunculkan dan digencarkan sejak pembukaan muktamar NU di Masjid Istiqlal oleh Prof Dr Said Aqil Siraj (Ketum PBNU), yang juga disetujui oleh Presidan Indonesia, Joko Widodo, dan juga Jusuf Kalla sebagai Wapresnya.
Dengan kejelian para pakar muslim yang tidak diragukan lagi keilmuannya, buku ini berusaha menguak sejarah sedalam-dalamnya, untuk menghilangkan dan meluruskan pandangan yang keliru, yaitu bahwa Islam nusantara adalah Islam primordial, Islam anti Arab, dan Islam yang akan menimbulkan warga nusantara terkotak-kotak.
Yang membuat menarik lagi dari buku ini, setiap akhir tulisan dari masing-masing pakar, memberi kesimpulan yang bisa dikaitkan satu sama lainnya, yang menuju kepada satu titik terang akan definisi Islam Nusantara. Dipaparkannya juga bahwa Islam Nusantara adalah berkeislaman yang bukan hanya memuja tekstual (Al-Quran dan Hadits), namun juga menjunjung tinggi nilai-nilai kontekstual, yaitu kebudayaan dan kebiasaan yang sudah mengakar di nusantara. Yang dimaksud nusantara pun ternyata bukan nusantara Indonesia saja, namun nusantara di manapun (negeri manapun), yang sehingga Islam bisa diterapkan di negeri manapun dengan menyesuaikan apa yang ada di nusantara-nusantara yang ada di dunia.
Kepiawaian pakar Islam dalam mengungkap dan menjawab perdebatan Islam Nusantara sangat konprehensif. Setiap dari mereka, juga mengedepankan dalil atau hujjah yang berbeda-beda untuk mengurai istilah baru itu, ada yang berhujjah dengan fikih Indonesia, sejarah Islam yang tidak pernah tercatat dalam buku-buku sejarah, kaidah-kaidah nahwu shorof, hingga ushul fiqh pun ikut berperan aktif dalam menegaskan bahwa Islam nusantara adalah sangat cocok untuk negeri ini.
Tidak kalah penting, pakar-pakar Islam yang menyumbangkan tulisan dalam buku ini dalam memecahkan problematika umat akan istilah baru, bukan hanya dari satu madzhab (keyakinan) – padahal istilah Islam nusantara sendiri identik diagungkan oleh warga Nahdliyyin (NU) saja – namun begitu beragam, baik dari kalangan NU itu sendiri (Prof Dr Said Aqil), Muhammadiyah (Dr Din Syamsudin), Persis (Hasbi Assiddiqiy), bahkan ulama dan cendikiawan syiah (Dr Haidar Bagir) pun memberi sumbangsih besar dalam buku ini.
Dengan fakta di atas, menjadikan buku ini tidak terkesan harus dibaca oleh satu kelompok saja, namun seluruh umat Islam – apa pun madzhabnya – yang ingin mengetahui dan menyingkap apa, kenapa, dan bagaimana Islam nusantara menurut cendikiawan-cendikiawan nusantara, yang kemudian dapat dijadikan tolok ukur berislam di nusanatara.
Buku yang diberi sambutan oleh KH Musthofa Bisri (Gus Mus) ini – dengan suguhan-suguhannya yang fresh– selain menjawab problematika kebangsaan, para pakar juga berusaha memberi wejangan untuk saling menghargai perbedaan, dengan tetap berpegang pada satu kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setiap sesuatu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tak terkecuali buku ini. Buku yang merupakan kumpulan tulisan pakar-pakar Islam Nusantara yang berbeda-beda latar belakang akademisi ini, cukup memerlukan kecermatan, kehati-hatian, dan kesabaran dalam membaca dan mencerna makna yang ingin disampaikannya. H litu karena cukup banyaknya istilah yang akademis, hal ini kemudian tidak mudah untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang notabene sebagai masyarakat yang belum mengenal secara istilah keagamaan yang cukup tinggi.
Namun, sungguh pun buku ini dapat menjadi alternatif untuk melerai perbedaan yang sempat menimbulkan fitnah, celaan, bahkan hujatan antar sesama anak bangsa. Dan tak sedikit memberi kontribusi keagamaan masyarakat nusantara agar tetap beragama dengan mengkolaborasikan dan tidak membrangus budaya yang telah ada, serta beragama dengan luwes, fleksibel, moderat, dengan tanpa mengkesampingkan hukum-hukum syariat yang telah termaktub dalam teks wahyu ilahi.