spot_img

Masa Sih Rasulullah Bermuka Masam?

Surah ‘Abasa terdiri dari 42 ayat dan tergolong ke dalam surah makkiyah. Penamaan surah ini diambil dari ayat pertamanya yaitu ‘Abasa (عبس) yang artinya bermuka masam. Namun ada juga yang menamainya dengan ash-shakhlakh (yang memekakkan telinga), as-Safarah (para penulis kalam Ilahi), dan al-A’ma (sang tuna netra) (Shihab, 2012 :67), di mana semua nama-nama tersebut diambil dari kata-kata yang terdalam di dalam surahAbasa.

Ayat ini turun ketika Abdullah Ibn Ummi Maktum, seorang yang buta serta fakir, datang kepada Rasulullah Saw yang pada saat itu sedang berbicara dengan beberapa pembesar Quraisy yang belum masuk Islam. Saat Rasulullah Saw sedang memberi penjelasan mengenai Islam datanglah Abdullah Ibn Ummi Maktum dengan pakaian yang lusuh dan kotor, ia terus memanggil Rasulullah Saw agar mengajarkannya tentang pengetahuan.

Beberapa Mufasir kemudian berpandangan bahwa Rasulullah Saw tidak mempedulikan kehadiran Ibn Ummi Maktum karena sedang bersemangat mengajarkan Islam kepada pembesar Quraisy tersebut hingga beliau bermuka masam dan memalingkan muka terhadap Ibn Ummi Maktum. Namun, ada juga dari Mufasir yang mengatakan bahwa yang bersikap seperti itu bukanlah Rasulullah, melainkan salah satu dari pembesar Quraisy yang sedang duduk bersama Rasulullah dan tidak senang dan merasa terganggu akan kehadiran Ibn Ummi Maktum.

Dalam kitab tafsirnya, M. Quraish Shihab menyebutkan beberapa nama tokoh Mufasir klasik, diantaranya adalah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Wahidi, dan Al-Baqa’i, di mana ketiga tokoh tersebut memiliki argumen dan pandangan yang berbeda dalam menanggapi isu tersebut. Penulis akan sedikit menjabarkan ketiga pandangan dari tokoh tersebut.

 Pertama, Al-Biqa’i,  beliau menjelaskan bahwa Abdullah Ibn Ummi Maktum merupakan sahabat Rasulullah dari golongan Sabiqin yang pertama masuk Islam. Ketika Rasulullah Saw sedang duduk dengan para pembesar Quraisy untuk mengajarkan Islam pada mereka, Abdullah Ibn Ummi Maktum datang untuk belajar Islam, ia menyela pembicaraan Rasulullah Saw dengan mereka dan terus memanggil Rasul. Kemudian, Rasulullah Saw pun merasa kesal dan memalingkan wajahnya serta bermuka masam karena takut (khawatir) para pembesar Quraisy tidak jadi masuk Islam karena terputus saat menjelaskan mengenai Islam. Beliau  merasa  khawatir dikarenakan jika para pembesar Quraisy tidak masuk Islam, maka tidak akan dapat menarik orang lain untuk masuk Islam.

Kedua,  Abi Al-Hasan Ali Bin Ahmad Al-Wahidi An-Naisaburi atau Al-Wahidi. Seperti salah satu dari ulama sunni, pendapatnya pun tak beda jauh dengan mereka termasuk dengan Al-Biqa’i. Beliau berpandangan bahwa surah ‘Abasa turun memang ditujukan kepada Rasulullah Saw.

Dan Ketiga, Allamah Thabathaba’i. Pandangan beliau mengenai isu kenabian yang ada di dalam surah ’Abasa sangat berbeda dengan Mufasir kebanyakan, karena beliau menuturkan bahwa kata عبس tidak ditujukan kepada Rasulullah Saw, melainkan kepada salah seorang Bani Umayyah yang sedang duduk bersama Rasul.

Dalam kitab tafsirnya (Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an), beliau menuliskan tujuan diturunkannya surahAbasa adalah agar kita tidak merendahkan orang miskin. Menurut Thabathaba’t, tafsir yang menisbatkan عبس kepada Rasul kerena beranggapan bahwa itu merupakan teguran halus dari Allah swt, tidak cocok disebabkan pada ayat ke-3 surah tersebut menggunakan dhamir hadir yaitu أنت sedangkan di ayat-ayat sebelumnya menggunakan dhomir ghaib yaitu هو. Dalam tafsir al-Mizan juga disebutkan nama-nama pembesar Quraisy, yaitu ‘abdullah Bin Syarkh Ibn Malik Bin Rabi’ah, ‘Utbah Bin Rabi’ah, Aba Jahl Bin Hisyam, ‘Abbas Bin ‘Abdul Muthalib, dan Umayyah Bin Khilaf.

Kemudian, Thabathaba’i mengenalisis surahAbasa, beliau mengatakan tidak ada kejelasan bahwa kata عبس ditujukan kepada Nabi, itu hanyalah khobar yang masih belum jelas. Di sisi lain, Rasul tidak bisa bermuka masam ke orang yang bukan Islam, apalagi sampai kepada orang muslim sendiri. Allah swt di surah lain membicarakan akhlak Rasulullah, seperti misalnya disurah Al-Qalam [68] :4. Surah Al-Qalam atau juga dinamai dengan surah Nun diturunkan sebelum surah ‘Abasa, jadi tidak bisa dikatakan kalau Rasulullah bertaubat setelah berperilaku demikian (yang dituduhkan kepadanya dalam surah ‘Abasa) barulah memiliki akhlak yang bagus.

Riwayat-riwayat tartib menjelakan bahwa surah Al-Qalam diturunkan setelah surah Al-‘Alaq, sangat tidak masuk akal jikalau Allah yang awalnya (setelah bi’tsah) menghargai Rasulnya, kemudian mencelnya. Ayat di surah Nun tersebut mutlak, tidak ada batasan waktu di mana Rasul selalu dan pasti (niscaya) memiliki akhlak yang mulia.

Secara nalar, kita paham dengan sendirinya bahwa عبوس ialah perbuatan tercela bagi orang biasa, apalagi untuk Rasul, jadi sangat mustahil Rasul berbuat demikian. Hal tersebut merupakan sanggahan untuk orang yang mengatakan bahwa adanya larangan setelah turunnya surahAbasa, jadi sebelum adanya larangan dari Allah maka itu bukan atau belum termasuk maksiat. Karenanya mereka tidak bisa merendahkan Rasul  berdasarkan argumen-argumen tersebut karena ayat yang mengtakan Rasul memiliki akhlak yang mulia sudah ada sejak awal berdakwah.

Dari sini, M. Quraish Shihab sangat berhati-hati dalam menafsirkan surahAbasa, beliau mecoba menguraikannya satu per satu secara detail dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Seperti yang kita bahas sebelumnya, terdapat dua pandangan dalam surahAbasa, pertama adalah kelompok yang menisbahkan عبس kepada Rasul dan yang kedua kepada selain Rasul. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mendukung pandangan yang pertama dan menyanggah pandangan yang kedua atau yang beliau bawa dalam tafsirnya merupakan pandangan dari Thabathaba’i, untuk menyanggah pandangan tersebut dalam tafsirnya dengan jelas mengatakan :

“apa yang dikemukakan penulis Thabathaba’i di atas ebih banyak terdorong oleh keinginan untuk mengagungkan Nabi Muhammad Saw dan ini adalah suatu hal yang sangat terpuji. Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat. Rasulullah Saw. Sama sekali tidak mengabaikan Ibn Ummi Maktum karena kemiskinan atas kebutaannya, tidak juga melayani tokoh-tokoh kaum musyrikin itu karena kekayaan mereka. Nabi melayaninya karena mengharap keislaman mereka, yang menurut peritungan akan dapat memberi dampak yang sangat positif bagi perkembangan-melebihi pelayanan ketika itu jika dibandingkan dengan melayani ‘Abdullah Ibn Ummi Maktum.” (Tafsir Al-Mishbah, jilid 15, 63-64).

M. Quraish Shihab menolak pandangan Thabathaba’i dengan hati-hati serta menggunakan argumen yang singkat juga meyakinkan dengan menguraikan serta menyandarkannya pada faktor tempat dan budaya pada saat itu.

Penulis berpendapat bahwa ayat dalam surah ‘Abasa turun bukan untuk ditunjukkan kepada Rasulullah Saw, lebih-lebih lagi penggunaan kata “وتولّي” yang terdapat dalam ayat tersebut di mana dalam Al-Qur’an digunakan dalam konotasi yang negatif. Jika kata tersebut hanya teguran halus yang ditujukan kepada Rasulullah Saw, maka seharusnya kata yang digunakan bukanlah وتولّي, karena kata tersebut disematkan oleh Allah Swt dalam ayat-ayatnya (Al-Qur’an) untuk menunjukkan penyimpangan dan kekafiran. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata tersebut dalam konotasi negatif adalah Q.S. Al-Baqarah [2] : 64; 83; 205, Q.S. Ali Imran [3] : 82, Q.S. An-Nisa [4] : 80; 115, Q.S. An-Nur [24] : 11.

Kata وتولّي yang digunakan dalam ayat di atas menunjukan kekafiran, penyimpangan, dan konotasi negatif lainnya dan bukan merupakan teguran halus. Sehingga surat tersebut mustahil ditujukan kepada Rasulullah. Tidak mungkin seseorang yang di utus oleh Allah Swt untuk menyempurnakan akhlak namun justru memiliki akhlak yang buruk, apalagi banyak ayat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menunjukan akhlak baik yang ada pada diri Rasulullah Saw, tentunya sangat berkontradiksi dengan surah ‘Abasa (jika ditujukan kepada Rasulullah Saw).

Akhlak Nabi merupakan Al-Qur’an, sehingga tidak mungkin berpisah keduanya walau hanya sedikit. Kita meyakini bahwa terdapat sifat maksum yang ada dalam diri setiap nabi. Maksum ini dipengaruhi beberapa keadaan, diantaranya adalah tingkat ketakwaan yang tinggi, ilmu atau pengetahuan yang dimiliki nabi akan pengaruh sebab-akibat dari kemaksiatan dan rasa  mengagungkan Tuhan. Kesempurnaan dan keindahan-Nya, yang hanya dapat dicapai oleh seseorang yang telah sempurna ma’rifat (pengetahuan) ilahinya. Oleh sebab itu, mustahil bagi para nabi berkata maupun bertindak yang bertentangan dengan kemaksumannya, juga yang kontradiksi dengan kebijaksanaan.

Penulis: Gita De Fitriana (Mahasiswi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, STFI Sadra Jakarta).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles