spot_img

Kisah Dramatis Ma’iz bin Malik Menyerahkan Diri Usai Berbuat Zina

Perbuatan zina merupakan dosa besar kedua setelah syirik (menyekutukan Allah). Oleh sebab itu, pelaku tindakan asusila ini mendapat hukuman besar dalam Islam.

Sebagai seorang nabi sekaligus kepala negara, Rasulullah harus berlaku seadil-adilnya terhadap pelanggar aturan norma. Namun, di sisi lain beliau juga sosok yang sangat penyayang. Sehingga, tidak jarang Nabi harus tetap berpegang pada dua sifat ini meski terkesan berat, seperti saat merajam Ma’iz bin Malik sebab telah berbuat zina.

Simak kisah lengkapnya.

Diriwayatkan dari Buraidah, sekali waktu M’aiz bin Malik datang menemui Rasulullah saw, dan berkata, “Sucikanlah aku, wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Apa-apaan kamu ini! Pulang dan mintalah ampun serta bertaubat kepada Allah!” Ma’iz pun pergi, belum lama kemudian dia kembali dan berkata, “Sucikanlah aku, wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab sebagaimana jawaban sebelumnya.

Hal itu terjadi berulang-ulang, sampai pada keempat kalinya Rasulullah bertanya, “Dari apa kamu harus aku sucikan?” Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.”

Rasulullah pun bertanya kepada sahabat lain yang ada di situ, “Apakah Ma’iz ini mengidap gangguan jiwa?” Lalu dijawab bahwa Ma’iz tidak gila. Beliau bertanya lagi, “Apakah Ma’iz sedang mabuk?” Salah seorang kemudian berdiri untuk mencium bau mulutnya, namun tidak ada bau khamr. Beliau kemudian bertanya kepada Ma’iz, “Betulkah kau telah berzina?” Ma’iz menjawab, “Ya, benar.”

Kemudian, Rasulullah menyuruh para sahabat untuk ditegakkan hukum rajam terhadap Ma’iz hingga akhirnya ia meninggal. Setelah kewafatannya, orang-orang terpecah dalam dua pendapat mengenai kesan terhadap Ma’iz. Sebagian mengatakan bahwa Ma’iz telah celaka akibat dosa yang telah diperbuatnya.

Sementara sebagian yang lain memiliki kesan positif bahwa Ma’iz merupakan orang yang beruntung karena telah bertaubat dengan taubat yang sangat baik, yaitu dengan mendatangi Rasulullah, mengakui kesalahannya, dan ikhlas untuk menjalani hukuman rajam.

Sampai selang tiga hari setelah kematian Ma’iz, kedua kubu itu masih dalam pendapatnya masing-masing. Hingga akhirnya Rasulullah meminta mereka untuk memohon ampunan kepada Ma’iz. Lalu beliau bersabda, “Sungguh Ma’iz telah bertaubat dengan sempurna, dan seandainya taubatnya dapat dibagi untuk satu kaum, pasti taubatnya akan mencukupi seluruh kaum tersebut.”

Kisah ini dicatat oleh Imam Bukhari dalam Sahih-nya pada bab Merajam Pelaku Zina di Mushala, hadits nomor 6434.

Pesan Moral

Kisah dramatis pengakuan dua sahabat Nabi di atas memiliki sejumlah pesan moral. Pertama, ketegasan seorang pemimpin. Kendati Nabi terkenal sebagai kepala negara yang sangat penyayang, beliau tetap menjalankan hukum seadil-adilnya, bahkan kepada dua sahabat yang dengan jujur dan penuh rasa tanggung jawab mengakui kesalahannya. Bagi Nabi, keadilan adalah harga mati.

Kedua, sebesar apapun dosa yang telah diperbuat manusia, ia akan diampuni jika mau bertaubat dengan sungguh-sungguh. Ma’iz dan wanita Ghamidiyah adalah teladan baik dalam hal ini. Berkat keseriusannya dalam bertaubat, kedua sahabat ini mendapat kedudukan mulia di sisi Allah, kendati sebelumnya dicap sebagai pelaku dosa besar.

Kedua, keberanian dan kejujuran. Pengakuan Ma’iz dan wanita Ghamidiyah ini sangat layak diapresiasi. Dengan mengakui kesalahannya, keduanya tahu bahwa mereka akan kehilangan nyawa dengan menerima hukuman. Akan tetapi, dengan penuh rasa tanggung jawab dan kejujuran mereka tak gentar sedikit pun. Bagi mereka, jujur lebih baik daripada harus menanggung siksa pedih di akhirat. Wallahu a’lam.[]

Muhamad Abror
Jurnalis, Esais, Pegiat Kajian Keislaman (wabilkhusus sejarah), Alumni Ponpes KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiiyah Jakarta

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles