spot_img

Kelompok Radikal-Teror; Penelikung Agama yang Tuna-Kreativitas

Mediaindonesia

Menelikung dalam istilah Jawa bermakna ‘mengikat kaki dan tangan’ sehingga tidak bisa bergerak bebas, baik itu manusia, hewan, atau sesuatu yang bersifat abstrak seperti agama, ideologi, dan lain sebagainya. Islam, sebagai agama yang ‘dilegitimasi’ sekelompok radikal dan teror, sungguh telah ditelikung oleh mereka. Kelompok radikal-teror telah menelikung agama sejadi-jadinya sehingga menjadikan mereka malas berfikir kreatif, menghasilkan pemaknaan agama yang moderat. Akibatnya, agama menjadi beku, tak bisa memberi solusi atas persoalan-persoalan modern yang dihadapi bangsa. Fikirannya menjadi jumud dan tidak mau berkembang. Fanatisme menjadi ciri khas nan melekat pada diri kelompok ini.
Bagi kelompok radikal dan teror agama harus menjadi fosil yang membeku, yang tidak bisa memberikan solusi atas pelbagai masalah kemanusiaan. Islam di masa kini harus mewujud wujud fisiknya sama dengan ketika dipraktikkan 14 abad silam. Budaya orang Arab diklaim sebagai ajaran agama yang tak bisa ditawar-tawar. Akibatnya beragama terkesan sempit. Simbol-simbol budaya Arab, seperti jubah, cadar, jenggot, celana cingkrang, dan semacamnya, lebih diurusi ketimbang mengurusi akhlaknya. Menyalahkan kelompok lain yang berbeda keyakinan menjadi tugas pertama yang cakap dilontarkannya dengan cacian dan kebencian tanpa batas. Sehingga misi kerahmatan Islan menjadi hampa di tangan mereka.
Kelompok ini juga merupakam kelompok yang tuna kreativitas. Diktium ini terus menjadi keyakinan yang mengakar dan ditelan terus menerus tanpa bosan. Telikungan yang dilakukan mereka sarat akan kehilangan dinamika agama yang segar, dan agama hanya diklaim sebagai perwujudan sektarianmsie dan radikalisme yang berujung pada terorisme. Islam dimanipulasi demi kekuasaan duniawi, dan itu telah berjalan panjang. Islam seperti ayam yang kehilangan induknya. Sehingga lahirlah kekerasan yang misalnya telah memporak-porandakan negara-negara Arab seperti Suriah yang kini bagaikan kepingan neraka yang dilempar ke persada bumi. Amat mengerikan dan tak perlu ditiru oleh umat Islam di Indonesia.
Namun sayang sungguh disayang, tipikal kelompok Islam yang menelikung agama dan tuna kreativitas ini naasnya ditiru oleh sebagian kelompok yang mengaku beragama Islam di Indonesia dan berisik dalam beragama. Parahnya lagi, jubah dan tasbih panjang seringnya hanya dipakai untuk mengelabuhi umat yang masih awam untuk sama-sama melakukan penelikungan dan buta perkembangan. Pekikan takbir sudah bukan lagi menjadi kalimat sakral untuk melawan kezaliman namun hanya dijual murah di jalan-jalan ketika demo berbeda pilihan politik kekuasaan. Agama dimanipulasi untuk mendukung kekuasaan elit politik yang menungganginya.
Maka jalan satu-satunya untuk keluar dari kebisingan ini ialah memisahkan Islam yang dibawa oleeh nabi dengan politik kekuasaan dan sektarianisme yang kini terus dijalankan oleh kelompok radikal dan teror tanpa merasa dosa. Al-Qur’an telah jauh-jauh hari mengajarkan umatnya untuk mewujudkan persaudaraan universal, tidak dibatasi oleh mazhab atau agama tertentu. Nabi Muhammad sebagai pembawa wahyu juga telah lama menerapkan konsepsi persaudaraan universal. Saat di Madinah, beliau berhasil menyatukan masyarakat Muslim, non-Muslim, dan non-Beragama sekalipun, dalam satu visi yaitu persaudaraan. Jika memang kita waras, maka harusnya kedua pedoman ini menjadi pijakan utama dalam beragama.
Kelompok radikal dan teror juga harus sadar dengan nalarnya bahwa Islam bukanlah agama yang hanya untuk mereka saja, melainkan untuk kemanusiaan sejagat raya. Tidak ada hak bagi mereka untuk memonopoli kebenaran Islam sebagaimana dilakukan oleh mereka (radikal-teror). Akibatnya perang internal Islam tak bisa dibendung di berbagai negara. Gerakan Al-Qaeda, ISIS, Wahabisme dan Hizbut Tahrir, ialah yang telah melahirkan suasana Islam yang keruh dalam beragama dan ekslusif dalam menjalankan faham keagamaan. Dampak buruknya, masalah internal ini dipermainkan oleh Barat untuk terus mengoyak Islam melalui orang dalamnya. Jika mereka tidak segera sadar, maka bukan kebenaran yang akan didapat akan tetapi hanya egoisme belaka yang berujung pada kehancuran Islam.
Umat Islam Indonesia harus terus berusaha mengurai benang kusut dunia Islam yang beberapa di antaranya telah dikotori oleh kelompok radikal dan teror. Kita tak boleh pesimistis untuk melawan eksistensi terorisme yang kian hari makin merajalela dan berkembang biak dengan cukup subur. Satu cara dari sekian banyak cara adalah umat Islam harus solid, menundukkan ego masing-masing, dan sadar akan perintah Al-Qur’an untuk beragama yang mengedepankan persatuan dan kesatuan. Umat Islam Indonesia harus menolak egosisme dan fanatisme sebagai sesembahan. Umat Islam di Indonesia harus bisa membakar api sektarian, untuk menegakkan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin. Fazlur Rahman pernah berkata, “Jika bahan bakar lenyap dari bumi pasti akan ada gantinya. Tapi jika Islam yang hilang, maka tak pernah akan ada gantinya.”[]
Tulisan dimuat di sangkhalifah.co
Penulis: Lufaefi (Penulis Buku Nasionalisme Qur’ani).

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles