spot_img

Kebolehan Tidak Shalat Jumat Sebab Pandemi Corona

Wabah Virus Corona (Covid-19) berhasil membuat beberapa otoritas memutuskan hal yang tidak seperti biasanya. Seperti sekolah yang diliburkan selama dua minggu, penundaan pelaksanaan ujian, hingga penutupan beberapa Pabrik.

Tidak hanya itu. Ikatan Ulama Besar al-Azhar memfatwakan boleh secara syariat untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at dan shalat Jama’ah di Masjid. Hal ini dilakukan demi kemaslahatan bersama. Mengingat penyebaran Virus Corona terus bertambah.

“Keputusan ini diambil setelah mengamati bahwa penyebaran virus Corona berlangsung dengan cepat hingga menjadi wabah global (pandemi),” rilis Al-Azhar melalui Twitternya.

Para ulama al-Azhar juga menghimbau kepada para muadzin untuk tetap mengumandangkan adzan dan menambahkan kalimat “Shallu fi buyutikum”.

Bagaimana Pandangan Ulama Salaf?

Shalat Jum’at merupakan salah satu tanda kebesaran Islam. Bahkan hari Jum’at dikatakan sebagai hari raya umat Islam setiap minggunya karena pada hari ini umat muslim berkumpul dalam satu tempat untuk melaksanakan shalat Jum’at. Dalam surat al-Jum’at, ayat 9, Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ [الجمعة: 9]

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (Q.S. Al-Jum’ah: 9).

Ada empat orang yang diperbolehkan untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at. Yaitu seorang budak, perempuan, anak kecil dan orang yang sedang sakit.

Dalam Mirqah alMafatih (3/323) djelaskan, Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Tariq bin Syihab, dari Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda,

“الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة: عبد مملوك، أو امرأة، أو صبي، أو مريض”.

Shalat Jum’at adalah kewajiban bagi setiap muslim dalam suatu kelompok terkecuali empat orang; seorang budak, perempuan, anak kecil dan orang yang sedang sakit.

Sehingga selain keempat orang tadi tidak boleh meniggalkan shalat Jum’at. Jika meninggalkan tanpa ada uzur (halangan yang dilegalkan secara syariat) maka baginya dosa besar.

Dalam At Targhib wa At Tarhib (1/518) dijelaskan, Nabi Muhammad Saw. bersaba,

“لينتَهينَّ أقوامٌ عن ودْعِهم الجمُعات، أو ليختِمنَّ الله على قلوبهم، ثمَّ ليكونُنَّ من الغافلين”. 

Hendaklah suatu kaum menyudahi meninggalkan shalat Jum’at, atau Allah akan mengunci hati-hati mereka, lalu mereka menjadi termasuk orang-orang yang lupa.

Maksud mengunci hati di situ adalah Allah akan menutup hatinya sehingga tidak ada lagi kebaikan masuk di dalamnya.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:

من سمع النداء فلم يأته، فلا صلاة له إلا من عذر. قالوا: يا رسول الله، وما العذر؟ قال: خوف أو مرض”

Barangsiapa mendengar adzan shalat kemudian tidak menghadirinya. Maka tidak ada shalat baginya keculai karena uzur. Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud uzur itu?” Rasul menjawab, “Adanya rasa takut dan karena kondisi sakit“. (H.R. Abu Dawud)

Lalu, apakah kasus menyebarnya Virus Corona bisa dikategorikan sebagai uzur sehingga boleh untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at?

Berdasarkan instruksi otoritas kesehetan. Untuk mencegah penularan Virus Corona, hindari perkumpulan dengan banyak orang. Hal ini bisa terjadi pada saat shalat Jum’at ataupun shalat Jama’ah di masjid.

Penularan Virus Corona yang begitu mudah, bisa dianalogikan dengan penyakit kusta yang bisa menular dengan mudah melalui kontak langsung dengan penderita dalam waktu yang singkat.

Imam Zakaria al Anshari (1420 – 1520) dari kalangan Syafi’iyah dalam Asna al Mathalib menjelaskan:

وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ. اهـ.

Al Qadli ‘Iyadl mengutip pendapat para ulama bahwa orang yang terkena penyakit kusta dan barosh tidak diperbolehkan menghadiri masjid, shalat Jum’at dan berkumpul dengan orang-orang.

Masih dari Syafi’iyah, Imam Ibnu Hajar al Haitami (1503 – 1566) dalam al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra menegaskan:

سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ. اهــ.

Faktor dilarangnya semisal orang terkena kusta adalah hawatir akan bahanya (menular pada orang lain. Pen), sehingga wajib untuk mencegahnya.

Imam Ibnu Abdi al-Barr (978 – 1071) dari kalangan Malikiyah, dalam At Tahmid (16/243) menegaskan bahwa konteks makna uzur dalam uzur shalat jum’at itu lebih luas. Apapun yang berpotensi membuat tidak nyaman dapat dikatan uzur.

Dalam hal ini rasa hawatir akan menularnya virus Corona bisa dikategorikan uzur.

“وأما قوله في الحديث: “من غير عذر”، فالعذر يتسع القول فيه، وجملته كل مانع حائل بينه وبين الجمعة، مما يتأذى به أو يخاف عدوانه، أو يبطل بذلك فرضاً لابد منه، فمن ذلك السلطان الجائر يظلم، والمطر الوابل المتصل، والمرض الحابس، وما كان مثل ذلك”

Makna sabda nabi dalam hadis “selain katena uzur” maknanya luas mencakup segala sesuatu yang dapat menghalangi seseorang untuk shalat jum’at. Baik berupa sesuatu yang membuat tidak nyaman orang lain, takut adanya musuh, bisa membatalkan kewajiban baginya, adanya penguasa yang sewenang-wenang, hujan deras tidak berkesudahan, sakit yang mengganggu dan lain sebagainya.

Dari kalangan Malikiyah, Ibnu Qudamah (1147 – 1223) dalam Al Mughni (1/451) juga menegaskan:

ويعذر في تركهما الخائف؛ لقول النبي – صلى الله عليه وسلم –: “العذر خوف أو مرض”، والخوف ثلاثة أنواع؛ خوف على النفس، وخوف على المال، وخوف على الأهل. فالأول: أن يخاف على نفسه سلطاناً يأخذه، أو عدواً، أو لصاً، أو سبعاً، أو دابة، أو سيلاً، ونحو ذلك، مما يؤذيه في نفسه”. اهـ. 

Orang yang dalam kondisi ketakutan dianggap uzur jika meninggalka shalat Jum’at, berdasarkan sabda Nabi Saw, “Uzur itu berupa rasa takut atau sedang sakit.” Rasa hawatir itu ada tiga macam; hawatir akan keselamatan nyawanya, hawatir akan harta (yang ditinggal di rumah. Pen) dan hawatir akan keberadaan keluarganya. Contoh kehawatiran yang pertama adalah adanya penguasa yang bertindak sewenang-wenang pada dirinya, adanya musuh, pencuri, hewan buas, hewan ternak, banjir dan hal-hal yang bisa menyakiti lainnya.

Masih menurut Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/252). Segala uzur shalat Jama’ah juga berlalu bagi shalat Jum’at.

 “ولا تجب الجمعة على من في طريقه إليها مطر يبل الثياب، أو وحل يشق المشي إليها فيه… ولأنه عذر في الجماعة، فكان عذرا في الجمعة، كالمرض، وتسقط الجمعة بكل عذر يسقط الجماعة”.

Shalat Jum’at tidak wajib bagi orang yang di jalannya ada hujan yang membasahi bajunya atau becek yang menyukitkannya berjalan… itu semua uzur dalam shalat Jama’ah dan juga berlaku dalam shalat Jum’at. Seperti sakit. Kewajiban shalat Jum’at bisa gugur sebab adanya uzur yang menggugurkan kewajiban shaalat Jama’ah.

Dalam kondisi yang dianggap uzur seperti ini juga dianjurkan (disunahkan) bagi muadzin untuk menyerukan “Shollu fi buyutikum” atau “Shollu fi rihalikum”.

Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’ali (1270 H.) dari kalangan Syafi’iyah dalam Busyro al Karim (1/62-63) menjelaskan:

(و يسن (قول : الا صلوا فى الرحال) او فى رحالكم او بيوتكم مرتين كما فى سنن ابى داود (فى الليلة المطيرة) و اليوم المطير و ان لم يكن ريح (او ذات الريح) اى ذى الريح (او) ذات (الظلمة) و فى كل ما هو من اعذار الجماعة للامر به و يقول ذلك (بعد الاذان او) بعد (الحيعلتين) و الاول اولى و جرى الشربينى على ان ذلك يجزى عن الحيعلتين.

Disunahkan mengucapkan “Shalatlah di tempat-temat yang ditemui, atau di rumah-rumah kalian” sebanyak dua kali -sebagaimana dijelaskan dalam Sunan Abu Dawud- saat kondisi malam atau siang dalam kadaan hujan, meski tanpandisertai angin atau langit gelap. (Berlaku juga) pada setiap uzur shalat Jum’at karena adanya perintah akan hal ini. Diucapkan setelah adzan atau setelah Haialatain (ucapan hayya ‘alasholah dan hayya ‘alal falah). Diucakpan setelah Hayya ‘alassholah lebih utama.

Kesimpulannya, keputusan Ulama al-Azhar menetapkan kehawatiran akan menularnya Virus Corona sebagai uzur shalat Jum’at dan Jama’ah di masjid sudah tepat. Begitu pula himbauan untuk mengucapkan “Shallu fi biyutikum” saat adzan karena dianggap sunah dalam kondisi pandemi wabah seperti Corona saat inj. Wallahu a’lam.

Referensi:

Kitab Asna al Mathalib
Kitab al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra
Kitab at Tahmid
Kitab al Mughni
Kitab Busyra al Karim
Kitab At Targhib wa At Tarhib
Kitab Mirqah al Mafatih

Penulis: Nuansanet Website Manager.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Latest Articles