Bulan Sya’ban adalah bulan yang banyak memiliki fadhilah (keutamaan). Bahkan Nabi Muhammad Saw menganjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan ini.
Pada salah satu hadis ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, dikatakan:
Aku pun tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Tapi di sisi lain Nabi juga melarang untuk berpuasa pada separuh kedua dari bulan Sya’ban. Hal ini berdasarkan hadis berikut:
Bila bulan Sya’ban telah menjadi separuh, janganlah kalian berpuasa.
Hadis ini bertentangan dengan hadis sebelumnya yang menganjurkan untuk memperbanyak berpuasa pada bulan Sya’ban.
Imam As-Syaukani dalam Nailul Authar menjelaskan:
Menurut pendapat mayoritas ulama dari kalangan Syafiiyyah permulaan larangan puasa sya’ban adalah tanggal 16 Sya’ban dengan tendensi hadis riwayat al-‘Allaa’ bin Abdur Rohman dari ayahnya dari Abu hurairah ra “Bila bulan Sya’ban telah menjadi separuh, janganlah kalian berpuasa. (HR . Ashaab Sssunan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya).
Lantas bagaimanakah hukum berpuasa pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban?
Memang para ulama berbeda pendapat mengenai hukum puasa pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban. Ada yang mengharamkan dan ada juga yang membolehkan.
Syekh Wahbab al-Zuhaili dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan:
Ulama mazhab Syafi’i mengatakan, puasa setelah nisfu Sya’ban diharamkan karena termasuk hari syak, kecuali ada sebab tertentu, seperti orang yang sudah terbiasa melakukan puasa dahar, puasa daud, puasa senin-kamis, puasa nadzar, puasa qadha’, baik wajib ataupun sunnah, puasa kafarah, dan melakukan puasa setelah nisfu Sya’ban dengan syarat sudah puasa sebelumnya, meskipun satu hari nisfu Sya’ban. Dalil mereka adalah hadis, ‘Apabila telah melewati nisfu Sya’ban janganlah kalian puasa’. Hadis ini tidak digunakan oleh ulama mazhab Hanbali dan selainnya karena menurut Imam Ahmad dhaif.
Akan tetapi Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan tentang kebolehan berpuasa pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban. Berikut reaksinya:
Mayoritas ulama membolehkan puasa sunnah setelah nishfu Sya’ban dan mereka melemahkan hadis larangan puasa setelah nishfu Syaban. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in mengatakan hadis tersebut munkar.
Menyikapi perbedaan tersebut, Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan:
Hadis-hadis ini sebenarnya tidak bertentangan dengn hadis yang mengharamkan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban. Keharaman berlaku bagi orang yang berpuasa seelah separuh bulan Sya’ban dengan tidak menyambung (dengan puasa sebelumnya). Kebolehan itu (bahkan sunah) belaku bagi orang orang yang berpuasa sebelum pertengahan bulan, kemudian melanjutkan atau berhenti. Tapi kemudian menyambung puasanya setelah separuh terakhir. Atau tidak menyambungnya tapi itu puasa qodlo, nadzar.
Kesimpulannya, bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa Senin Kamis) sejak sebelum memasuki pertegahan kedua bulan Sya’ban, maka boleh berpuasa pada separuh terakhir bulan Sya’ban. Atau jika itu berupa puasa qodlo atau nadzar, juga diperbolehkan melakukan puasa pada separuh bulan tersebut. Tapi jika tidak demikian, maka haram berpuasa pada separuh terakhir dari bulan tersebut (dimulai dari tanggal 16 Sya’ban sampai akhir bulan). Wallahu a’lam.
Tim Redaksi.