Semenjak masifnya penyebaran virus Corona di Wuhan, China, virus ini menjadi momok yang begitu menakutkan. Keganasan virus terlihat dengan jumlah korban yang membludak. Tidak hanya itu, tingkat kematian yang diakibatkan virus ini pun begitu sangat tinggi. Apalagi dengan beberapa kota yang diisolasi seperti Wuhan, tanah suci Mekah dan kota suci Masyhad di Iran, menambah daftar keganasan virus ini.
Di Indonesia sendiri, sejak adanya kabar dua korban suspect Corona diumumkan positif oleh Presiden Joko Widodo dan Mentri Kesehatan Terawan, hal ini memberikan shock terapi tersendiri bagi warga Indonesia. Buktinya, orang ketakutan untuk berangkat ke tempat-tempat keramaian, orang gampang mencurigai orang lain yang batuk sebagai orang yang terinfeksi virus Corona. Bahkan, orang berbondong-bondong mendatangi tempat belanja untuk memborong kebutuhan makanan karena takut sebagian tempat di Indonesia diisolasi seperti Wuhan.
Tidak hanya itu, orang menjadi gampang percaya terhadap tawaran pencegahan virus Corona. Orang memborong jamu tradisonal karena digadang-gadang mampu menambah daya imun tubuh dari virus Corona. Orang berbondong-bondong membeli masker untuk mencegah penyebaran virus. Sialnya, dalam kondisi yang diframe genting ini, masih ada orang yang memanfaatkan kondisi untuk meraup keuntungan.
Mereka menimbun masker dan menjualnya dengan harga yang melambung tinggi. Mereka menaikkan harga rempah-rempah karena banyak dibutuhkan orang. Keadaan genting ini masih terjadi sampai detik ini. Apalagi keadaan semakin mencekam dengan framing media yang begitu menyeramkan. Keadaan seperti ini menjadikan masyarakat menduga-duga sehingga menjadi penderitaan baru bagi hidup manusia.
Penderitaan yang sangat dirasakan saat ini adalah penderitaan secara psikis. Ketakutan yang dibuat oleh estimasi yang menyiksa diri seseorang.
Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Tulisan ini akan memberikan sebuah analisa terkait kiat menghadapi virus Corona dengan filsafat stoa. Kata “stoa” berasal dari bahasa Yunani yang artinya teras. Alkisah, seorang pebisnis sukses sedang mengarungi lautan dengan membawa harta bendanya. Di tengah perjalanan ombak menerjang perahunya dan menenggelamkan kapal yang dimilikinya.
Singkat cerita, harta yang dibawanya raib tenggelam di laut dan pebisnis itu selamat sampai sebuah tempat tujuannya. Di tempat itu, dia menyambangi sebuah toko buku, dan dia temukan buku filsafat. Akhirnya dia membelinya, dan membacanya. Dia tertarik dengan isi buku itu, seolah hidupnya kembali lagi setelah membacanya.
Bertanyalah dia kepada penjualnya, “siapa penulis buku ini?” Kebetulan penulis buku itu lewat di hadapan toko, sang pemilik toko menunjuk bahwa dialah yang menulisnya. Dia mengikuti sang penulis, dan sampailah dia di suatu teras yang di sana banyak orang berkumpul.
Lalu, orang yang diikutinya itu memberikan sebuah kuliah kepada yang hadir. Ternyata penulis itu adalah seorang filsuf. Teras dalam bahasa Yunani diistilahkan dengan “stoa”.
Dari sinilah bermula filsafat stoa dikenal.
Ciri khas dari filsafat stoa adalah bagaimana filsafat mampu dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dibicarakan di ruang-ruang yang berada di gedung tinggi lagi elit. Lebih spesifik lagi, filsafat stoa memberikan kiat-kiat dalam menghadapi penderitaan. Dan ini cocok dalam konteks kita hari ini. Ketika virus Corona dianggap sebagai penderitaan baru bagi manusia abad ini.
Filsafat stoa memiliki beberapa rumusan rasional untuk menghadapi penderitaan. Rumusan itu adalah doktrin dualisme realitas, pandangan menyeluruh, memeto mori dan evaluasi diri, masyarakat dunia, amor fati, dan persoalannya adalah pikiran. Akan tetapi, karena keterbatasan ruang opini website ini, tulisan ini hanya menggunakan beberapa analisis saja.
Dalam doktrin filsafat stoa, realitas terbagi dua; eksternal dan internal. Realitas eksternal tidak bisa kita kendalikan dan di luar tanggung jawab kita. Seperti misalnya kekayaan, kedudukan, penyakit dan ketenaran. Sebaliknya, realitas internal bisa kita kendalikan dan di bawah tanggung jawab kita. Seperti misalnya interpretasi dan persepsi. Menurut filsafat stoa, penderitaan terjadi karena kita mengaburkan pemilahan dua realitas. Realitas eksternal yang tidak bisa kendalikan ingin kita kendalikan.
Penderitaan muncul karena kita mengharapkan realitas sebagaimana yang kita kehendaki. Kita misalnya berharap, kesehatan itu selalu menyertai kita. Dalam konteks Corona, virus ini adalah realitas eksternal yang tidak bisa kita kendalikan. Sehingga kapan saja dia mampu menyerang kita. Dia di luar tanggung jawab kita, karena terinfeksinya kita adalah proses hukum alam.
Lalu, apakah kita harus ketakutan dengan menutup rasio kita? Jelas tidak.
Persepsi dan interpretasi di bawah kendali kita sehingga interpretasi kita terhadap virus Corona bisa menyiksa diri kita dan bisa juga tidak. Interpretasi yang menyiksa adalah dengan membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang irasional. Dengan persepsi yang kita miliki, maka kita mampu berinterpretasi bahwa keadaannya sedang genting, sehinga kita harus mencegah secara kemungkian yang bisa menyebabkan kita terinfeksi virus Corona. Seperti misalnya dengan mencuci tangan menggunakan sabun, memakai masker dan selalu menjaga kebersihan.
Doktrin lain dari filsafat stoa adalah pandangan menyeluruh. Artinya, penderitaan terjadi salah satu faktornya adalah kita terlalu membesar-besarkan masalah. Seolah masalah itu lebih besar dari pada dunia ini. Hal ini pun terjadi pada kasus Corona. Memang virus ini mematikan.
Tetapi, jangan bayangkan virus ini akan menelan dunia sehingga rasio malah tidak berfungsi.
Kasus Corona, walaupun mematikan, tidak lebih sebuah virus yang bisa dicegah dengan cara yang telah dijelaskan oleh otoritas lembaga kesehatan. Seperti misalnya, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker bagi yang sakit, makan makanan yang bergizi, rajin olahraga dan selalu menjaga kebersihan. Hal ini demi memperkuat daya imunitas tubuh kita. Virus apapun, jika daya imun kita kuat, tidak akan mampu menyentuh kita.
Doktrin selanjutnya adalah momento mori dan evaluasi diri. Momento mori adalah upaya mempertahankan rasio pada level yang lebih tinggi. Dalam filsafat stoa, tidak ada istilah nafsu atau emosi, keduanya adalah rasio pada level rendah. Filsafat stoa mengajarkan kita agar menghadapi virus Corona dengan rasio tinggi.
Semua hal yang berkaitan dengan penyebaran virus harus dihukumi dengan rasio, bukan perasaan. Jika menghadapinya dengan estimasi (perasaan) maka akan muncul kecemasan yang menyiksa diri sendiri. Selamanya kita akan mengalami ketakutan yang berlebihan. Sehingga menyebabkan aktivitas kita terganggu. Pada intinya, filsafat stoa ingin mengajarkan kita bagaimana berpikir positif dan rasional terhadap kejadian yang menimpa negri ini.
Ketakutan boleh saja, akan tetapi semuanya harus didudukkan dengan rasio yang tinggi. Sehingga ketakutan yang kita persepsi dibarengi dengan pertimbangan yang matang oleh rasio dan dibarengi pula dengan tindakan-tindakan yang rasional.
Penulis: Beta Firmansyah (Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir STFI Sadra Jakarta).