Sampai hari ini (Kamis, 02/04/2020), Indonesia belum menemukan titik terang menghadapi wabah Covid-19. Hal ini terlihat dari jumlah pasien positif yang terus meningkat, ODP dan PDP semakin melonjak dan angka kematian terus bertambah. Pemerintah melalui juru bicara untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto menyebutkan bahwa kasus Covid-19 menembus angka 1790 orang positif dan 170 orang meninggal.
Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19, mulai dari pysical distancing (jaga jarak), melarang perkumpulan dalam skala besar, melarang acara-acara seperti seminar, diskusi, pernikahan dan lain sebagainya yang berpotensi besar menjadi jalan penularan virus.
Bahkan, di daerah-daerah sudah banyak yang membuat kebijakan tersendiri yang terkadang berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, seperti menutup ruas jalan dan karantina lokal. Walaupun mereka tidak berani untuk menyebutnya dengan istilah lockdown. Karena secara konstitusional kebijakan demikian merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Dalam bidang keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi manifestasi pemerintah dalam bidang keagamaan juga ikut menetapkan kebijakan untuk menekan penyebaran Covid-19. MUI menetapkan tidak bolehnya mengadakan acara-acara keagamaan dalam skala besar, seperti shalat Jumat, pengajian, tabligh akbar dan lain sebagainya.
Kebijakan tersebut menuai tanggapan yang beragam dari masyarakat. Sebagaian mendukung kebijakan tersebut dan sebagian menolaknya. Mereka yang mendukung berargumentasi dengan keselamatan yang lebih besar. Dan mereka yang menolak berargumentasi bahwa shalat Jumat adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun. Bahkan sempat viral beberapa video yang memperlihatkan bersitegang antara aparat dengan jamaah yang tetap ingin melaksanakan shalat Jumat.
Menanggapi hal di atas, Buya Syakur, pimpinan Pondok Pesantren Candangpinggan Indramayu dan termasuk tiga tokoh yang disebutkan oleh Gus Dur sebagai orang yang kritis di Indonesia selain Quraish Shihab dan Cak Nur, mendukung pandangan yang meliburkan shalat Jumat. Pandangan ini dilontarkan sebagai respon atas pertanyaan seorang jamaahnya dan dirilis dalam chanel youtube KH. Buya Syakur Yasin MA pada 20 Maret 2020.
Buya Syakur memberikan beberapa argumentasi. Di antaranya adalah argumentasi logika dan argumentasi sejarah. Kepada jamaah yang hadir Buya Syakur mengajukan beberapa analogi, yaitu pertama, jika kita sedang melaksanakan shalat, sementara di samping kita ada anak kecil yang akan terjatuh, apakah kita akan meneruskan shalat ataukah menolong anak tersebut? Jamaah sontak menjawab, “membatalkan salat”.
Analogi kedua, jika kita sedang melaksanakan shalat dan kita mendengar ada orang yang hendak mencuri kendaraan kita, apakah kita juga akan melanjutkan shalat? Jamaah menjawab, “tidak”. Dan analogi ketiga yang disebutkan oleh Buya Syakur adalah jika kondisi ibu kita sakit, sementara di rumah tidak ada orang lain, apakah kita harus pergi shalat Jumat ataukah menemani ibu kita? Jelas jawabannya adalah menemani ibu kita.
Sedangkan argumentasi sejarah yang diajukan oleh Buya Syakur adalah dengan menyebutkan bahwa ibadah haji pernah diliburkan dua kali, yaitu ketika Perang Dunia kedua dan ketika Daulah Umawiyyah di bawah kepemimpinan Yazid bin Muawiyah. Pada waktu itu, Ka’bah hancur karena digempur oleh kepemimpinannya. Hal ini menyebabkan haji diliburkan. Menurut Buya Syakur, jika haji saja bisa diliburkan, apalagi shalat Jumat.
Dengan analogi dan sejarah di atas, pada intinya Buya Syakur ingin mengatakan bahwa keselamatan harus lebih diutamakan daripada ibadah yang menimbulkan kemadharatan. Hal ini, karena jika shalat Jumat tetap dilaksanakan akan menimbulkan madharat yang besar karena virus Covid-19 sangat dimungkinkan menular dengan cepat dalam kerumunan masa yang besar. Sehingga tidak ada masalah untuk meliburkannya terlebih dahulu sampai kondisi pulih kembali. Meskipun tetap saja, shalat Jumat dalam kondisi pandemi ini harus diganti dengan shalat Dhuhur.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika suatu ibadah menimbulkan kemadharatan maka harus ditinggalkan. Ibadah bisa ditanggalkan jika ada hal yang menjadi alasan kuat untuk ditinggalkan. Seperti misalnya shalat yang diharuskan untuk berdiri bisa diganti dengan duduk karena ada alasan kuat, seperti enggan mampu untuk berdiri dikarenakan sedang sakit parah.
Begitu juga misalnya, puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi semua kaum Muslimin bisa ditanggalkan dan diganti di bulan lain karena ada alasan kuat, seperti misalnya sakit, dalam perjalanan atau dalam masa lansia. Kenapa diperbolehkan tidak berpuasa? Karena jika memaksa untuk berpuasa keselamatan jiwa seseorang akan terancam. Pada akhirnya, dalam kondisi dharurat, keselamatan harus lebih diutamakan dibanding melakukam ibadah dengan cara-cara sebagaimana mestinya (ikhtiar).
Penulis: Beta Firmansyah (Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STFI Sadra Jakarta).