Suatu ketika Imam Syafi’i shalat Subuh di masjid milik Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i lantas tidak mengeraskan bacaan basmalah sebelum membaca al-fatihah, dan tidak pula melakukan qunut Subuh karena Imam Abu Hanifah berpandapat bahwa basmalah bukan termasuk ayat al-fatihah, dan begitupun tidak membolehkan qunut Subuh.
Namun meskipun Imam Syafi’i berpendapat bahwa basmalah merupakan bagian dari surat al-fatihah d,an qunut Subuh merupakan hal sunah, ia tidak bersi-kukuh pada pendapatnya itu karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah.
Dijelaskan dalam kitab Tobaqotul Hanafiyah, juz 1, hal. 433:
Imam Syafii shalat subuh di Masjid Abu Hanifah. Ia tidak qunut dan tidak mengeraskan bacaan basmalah. Hal itu sebagai bentuk adab kepada Abu Hanifah.
Jangankan mencela, bahkan Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah dengan perkataannya, “Dalam permasalahan fiqih, manusia itu pengikut/keluarganya Imam Abu Hanifah”.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Siyar A’lami an-Nubala, juz 6, hal. 403:
ويقول الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة
Imam Syafii berkata: Dalam persoalan Fikih, manusia keluarga dengan Abu Hanifah.
Bukan hanya itu, Yunus Ashodafi (salah satu murid Imam Syafi’i) pernah berkata, “Saya belum pernah melihat orang secerdas Imam Syafi’i. Suatu ketika saya berbeda pendapat terkait suatu permasalahan, kemudian kami berpisah, lalu Imam Syafi’i menemulku dan memegang tanganku seraya bekata, ‘wahai Abu Musa (Yunus Ashodafi), maukah kau jaga pertemanan kita, meski kita berbeda pendapat?”
Dijelaskan dalam kitab Tarikh Madinati Dimasyqo karya Ibnu ‘Asakir, juz 51, hal. 302:
Yunus Ashodafi berkata: tidak kulihat orang yang lebih cerdas dibanding Imam Syafii. Suatu saat kamu pernah berbeda pendapat dengannya. Kami berpisah. Kemudian ia menemuiku. Sambil memegang tanganku ia berkata, “Wahai Abu Musa, maukah kau tetap menjadi kawan meski kita beda pandangan?”.
Dari penjelasan di atas dapat diambil hikmah bahwa, betapa indah orang-orang dahulu dalam menyikapi perbedaan pendapat. Padahal perbedaan pendapat dalam masalah agama. Mereka lebih tahu mana yang terbaik. Perbedaan pendapat tidak lantas membuat jarak terpisahkan apalagi saling mengolok satu sama lain.
Mereka lebih mementingkan menjaga ukhuwah (persaudaraan) daripada bersi kukuh terhadap pendapat pribadi yang sebatas perbdaan terkait furu’ (bukan masalah pokok agama). Mereka lebih mendahulukan akhlak dari sekadar persoalan agama yang merupakan cabangnya.
Andai saja kita bisa seperti ini, niscaya tidak ada lagi saling caci, saling buli, saling menghujat, bahkan saling mengkafirkan di negeri ini. Apalagi hanya karena berbeda pandangan politik belaka yang sejatinya hanya masalah duniawi. Mungkinkah model berbeda pendapat dan cara menyikapinya seperti Imam Hanafi dan Imam Syafii ditiru oleh masyarakat Indonesia?
Semoga warga negeri ini bisa berkaca dari ulama-ulama dan imam-imam mereka terdahulu, bagaimana mentafsiri perbedaan adalah hal biasa yang sama sekali tidak layak untuk diperdebatkan sampai membuat jarak antar sesama.
Bersatulah negeriku, karena ulama-ulama dahulu mengajarkan untuk itu. Persatuan adalah tujuan utama dari perbedaan, apapun bentuk perbedaan itu.
Penulis: Muhammad Abror (Ketua BEM Ma’had Aly Ashiddiqiyah, Jakarta).