Sekilas Pandang
Setiap menjelang lebaran Idul Fitri masyarakat di dunia seringkali dihadapakan pada sebuah perdebatan tentang boleh tidaknya zakat fitrah menggunakan selain makanan pokok. Islam sendiri memerintahkan untuk umatnya agar membayarkan zakat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.
Di berbagai daerah di Indonesia khususnya, mayoritas masyarakatnya membazar zakat fitrahnya menggunakan beras. Karena hal itu dianggap lebih relevan dengan kondisi geografis dan konteks masyarakat terlebih mayoritas mazhab yang dianut adalah mazhab Syafii.
Menurut pendapat arus utama (mainstream) mazhab Syafii yang dianut mayoritas muslimin Indonesia, mengharuskan pembayaran zakat fitrah dengan qutul balad (makanan pokok) yang berupa biji-bijian, seperti jagung, beras, gandum, dan yang jelas tahan lama.
Di Indonesia serealia pangan utama adalah beras. Bila kita mengikuti pendapat mainstream tersebut, maka kewajiban zakat fitrah dibayar dengan beras yang merupakan bagian dari bahan makanan (min tha’amin).
Dinamika di masyarakat sering kali terjadi kesulitan teknis pembayaran zakat fitrah dengan beras, baik karena masyarakat tidak lagi selalu menempatkan beras sebagai satu-satunya kebutuhan utama penopang hidup layak ataupun karena masyarakat merasa lebih mudah membayarnya dengan uang. Masalah ini sering menjadi pertanyanan masyarakat, terutama soal keabsahan zakat fitrahnya tersebut.
Perdebatan di atas ternyata tidak hanya menyasar pada masyarakat kelas awam, namun hal itu sudah terjadi pada zaman imam mazhab fikih yang dianggap sebagai peletak pakem hokum Islam dari masa ke masa.
Pendapat Ulama
Pendapat pertama menyatakan tidak boleh membayar zakat fitrah dengan uang. Pendapat ini menggunakan pendapat kalangan mazhab Maliki, Syafii, dan Hanabilah.
Pendapat ini pertama didasarkan praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw yang membayar zakat dengan makanan. Makanan menjadi penting bagi orang-orang yang lapar pada hari raya Idul Fitri.
Hal didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW:
عن عبد الله بن عمر أن رسول صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر، أو صاعا من شعير ، على كل حر أو عبد ، ذكر أو أنثى من المسلمين. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitri pada manusia di bulan Ramadlan satu sha kurma, atau satu sha gandum. Kewajiban itu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan.
Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh membayar zakat dengan uang. Pendapat ini dinyatakan oleh mazhab Hanafiah. Abu Yusuf yang merupakan ahli fikih kalangan hanafiah cendrung untuk berzakat dengan uang, karena hal itu lebih dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak bercukupan. Pendapat ini juga pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Mazhab Hanafi membolehkan konversi zakat fitrah dari serealia ke bentuk uang. Imam Abu Hanifah RA mengatakan:
فَإِنْ أَعْطَى قِيمَةَ الْحِنْطَةِ جَازَ عِنْدَنَا لأنَّ الْمُعْتَبَرَ حُصُولُ الْغِنَى وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالْقِيمَةِكَمَا يَحْصُلُ بِالْحِنْطَةِ
Artinya: “Andaikan seseorang (dalam menunaikan zakat fitrahnya) dengan menyerahkan uang senilai harga gandum, maka hukumnya boleh menurut kami karena sungguh yang menjadi pertimbangan adalah terciptanya kehidupan yang layak. (Tujuan) tersebut dapat terwujud dengan penyaluran uang sebagaimana juga dapat terwujud dengan menyerahkan gandum. (As-Sarakhshi, Al-Mabsuth, hal. 99).
Zakat fitrah boleh menggunakan uang asalkan setara dengan takaran yang telah ditentukan, yaitu satu sha atau empat mud yang nominalnya disesuaikan dengan harga beras 2,5 kg atau 2,7 kg (takaran zakat fitrah dalam mazhab Syafii).
Yusuf al-Qaradhawi menambahkan bahwa alasan kenapa dahulu pada zaman Rasulullah SAW, sang muzakki menyalurkan zakat dengan makanan karena konteks waktu itu di mana uang (dinar, dirham) masih sedikit dibandingkan dengan makanan yang melimpah. Artinya akan ada kesulitan jika si Muzakki membayar dengan uang. Adapun konteks sekarang, di mana uang menjadi faktor utama dalam memenuhi kebutuhan di hari Idul Fitri, maka menjadi sangat relevan jika uang dijadikan model pembayaran zakat fitri.
Putusan LBM PBNU
Hasil bahtsul masail LBM PBNU tentang kebolehan pembayaran zakat Fitrah dengan uang, tertanggal 18 Mei 2020, dengan mengunakan model intiqal al-mazhab fi badh al-masail (berpindah mazhab dalam sebagian masalah/tidak secara utuh).
Putusan itu berbunyi: Masyarakat diperbolehkan pula membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang sesuai harga beras 2,7 kg atau 3,5 liter atau 2,5 kg sesuai kualitas beras layak konsumsi oleh masyarakat setempat.
Dalam putusan LBM PBNU, sifat dinamis dan maslahatnya tampak dalam memberikan kemudahan (solusi) dengan mendasarkan kebolehan intiqal al-mazhab atau lebih tepatnya talfiq dalam hal mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang, serta dengan mengikuti ukuran yang lebih ringan, ukuran Syafiiyah, yaitu 2,7 kg atau 2,5 kg atau 3,5 liter beras, tidak mengikuti ukuran Hanafiyah yang lebih berat, sebesar 3,8 kg kurma, anggur dan/atau gandum.
Ini merupakan bentuk talfiq yang diperbolehkan oleh para ulama, di antaranya Syaikh Wahbah az-Zuhaili (1932-2015). Talfiq semacam itu diperbolehkan karena tidak termasuk dalam kategori talfiq mamnu‘ (dilarang) karena batal demi hukum (bathil li-dzatih) atau karena faktor eksternal (al-awardh), yang mengakibatkan penentangan terhadap ijma atau rusaknya tatanan hukum (az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuh, Juz I, hal. 98-99).
Pendapat Gus Baha dan KH. Afifuddin Muhajir
KH Bahaudin (Gus Baha) Nursalim menjelaskan, zakat fitrah boleh menggunakan uang asalkan setara dengan takaran yang telah ditentukan, yakni satu sha atau empat mud. Alasannya, pemberian uang ditekankan karena orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja daripada beras yang umumnya mereka sudah punya.
Logika yang dibangun adalah: uang lebih bermanfaat bagi orang-orang. Sekarang orang kalau mau kasih beras, terus yang untuk belanja mana? Inginnya belanja kok dikasih beras.
Gus Baha menceritakan pengalamannya berzakat ketika di perantauan, dirinya mengaku bahwa selalu menambahkan jumlah beras yang hendak ia berikan ke mustahiq. Misalnya 2,5 kg menjadi 3 kg bahkan seringkali dilebihkan menjadi 5 kg beras.
“Saya zakat selalu 3 kg, tidak pernah 2,5 kg. Karena 2,5 kg itu pas-pasan. Makanya saya zakat pertama itu 3 kg, sekarang 5 kg,” ucapnya.
Korversi zakat fitrah dari beras menjadi uang, menurutnya bukan tidak menghargai fatwa Imam Syafii, melainkan pada saat ini kenyataannya orang-orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja, daripada beras.
Senada dengan Gus Baha, KH. Afifudin Muhajir juga berpendapat bahwa boleh zakat fitrah dengan uang yakni senilai beras minimal 2.5 kg atau 2.7 kg.
Di berbagai negara di dunia menurutnya telah mempraktikkan zakat fitrah dengan uang, seperti Mesir maupun Arab Saudi.
Bolehnya zakat fitrah dengan uang dianggap lebih memenuhi kebutuhan para fuqara dan masakin era sekarang. Artinya kebutuhan mereka tidak serta merta tercukupi dengan beras sebagai bahan pokok semata, namun seringkali ditemukan bahwa mereka lebih senang diberi uang ketimbang beras. Bahkan ada juga ketika mereka diberi zakat beras kemudian di jual untuk memenuhi kebutuhan justeru malah harganya lebih rendah.
Kesimpulan
Tujuan diterapkannya kewajiban zakat fitrah (مقاصد الشريعة) adalah agar pada perayaan kemenangan umat Islam di hari Idul Fitri para mustahik dapat menikmati hidup layaknya orang mampu, semua bisa menikmati hidangan yang layak, pantas dan tentu saja enak, pendek kata semua bisa makan enak.
Dengan argumentasi normatif ushuli ini, tentu saja uang akan jauh lebih efektif dan fleksibel dalam mewujudkan maqashid syariah tersebut.
Begitulah pendapat dari kalangan ulama mengenai zakat fitrah yang diganti dengan uang. Dua-duanya boleh digunakan, karena semuanya merupakan mazhab yang terpercaya. Masing-masing mempunyai argumen jelas yang menunjukkan bahwa syariat Islam memang beragam.
Ada baiknya lagi jika kita bisa menimbang pendapat manakah yang cocok dengan diri kita, memandang lokasi daerah, kondisi dan tradisi masyarakat, hukum yang berlaku, dan faktor lain di mana kita tinggal.
Wallahu Alam.[]