Foto/NU Online
Radikalisme bisa menyasar siapapun, terutama mereka yang awam. Sikap dan tindakan yang ditandai adanya intoleransi, pemahaman agama yang ekslusif, bahkan menjurus kepada kekerasan fisik ini patut dicurigai menyebar di berbagai instansi, termasuk instansi lingkungan tempat kerja swasta, yang gerakannya tidak diawasi oleh pemerintah secara jeli. Meskipun radikalisme itu juga berpotensi lahir di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ditegaskan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo dalam kunjungannya ke BNPT Bogor (07/2020) bahwa radikalisme sangat rentan menyasar ASN yang disebabkan karena dampak negatif dari arus globalisasi. ASN bisa jadi radikal karena mendegradasi nilai Pancasila dan karena pemahaman agama yang belum matang.
Radikalisme merupakan paham yang bahaya dan membahayakan orang lain. Untuk mengidentifikasi gerakan ini, Syahrin Harahap menuturkan beberapa ciri gerakan radikal. Pertama, tekstualis dalam memahami teks. Sebagaimana juga disinggung Abdullah Ahmad An’Naim, kelompok ekstrim radikal meyakini bahwa pemahaman yang tekstualis adalah pemahaman yang paling sahih. Semakin tekstual suatu pemahaman maka semakin benarlah pemahan itu.
Di sisi lain, orang yang memahami suatu teks di luar pemahaman tekstual, dianggap salah dan bahkan liberal. Kedua, gerakan radikal dikenal memiliki pemahaman ekstrim dan kaku serta ekslusif dalam beragama. Aksin Wijaya dalam buku “Dari Membela Tuhan ke Membela Manusi” menyebut, gerakan radikal hampir seperti hendak menyembah pemahamannya sendiri. Sehingga enggan menerima dialog dan diskusi dalam persoalan yang sebenarnya masih bisa dicarikan titik temunya.
Ciri ketiga, gemar bahkan semangat dalam mengoreksi orang lain. Cara yang dilakukan kelompok radikal dalam mengingatkan orang (untuk tidak mengatakan ketika dakwah) penuh dengan sikap menggurui, memaksa, menyalahkan pemahaman yang tidak sejalan dengan apa yang telah diyakininya. Kelompok radikal, sebagaimana ditegaskan Syafi’i Ma’arif dalam Krisis Peradaban Islam, seolah-olah telah langsung mendapatkan wahyu dari Allah. Sehingga seringkali mengklaim hanya pemahaman kelompok dirinyalah yang benar. Sementara yang lain dianggap salah dan menyesatkan.
Ciri keempat, gerakan radikal mengiyakan kekerasan dalam berdakwah. Padahal, nabi saja selama berdakwah, tidak sekalipun beliau melakukan kekerasan kepada musuh. Apalagi melakukan kekerasan sesama muslim. Na’uzubillah.
Ciri yang berikutnya ialah konstruksi musuh yang tidak jelas. Sehingga seringkali kelompok radikal gemar melakukan aksi kekerasannya dengan tanpa memandang siapa yang berdosa dan siapa yang tidak. Bahkan, tidak jarang seperti yang dilakukan gerakan radikal ISIS, justru membunuh dan memperkosa wanita dan membunuh anak-anak yang masih belum dewasa.
Ciri keenam, gerakan radikal gemar membahas negara dalam perspektif agama untuk diterapkan di dunia nyata. Sehingga lahir kelompok seperti Hizbut Tahrir, ISIS, FPI, Jama’ah Ansor Ad-Daulah (JAD). Dan ciri terakhir meyakini tauhidiyyah hakimiyyah, yang lahir darinya klaim bahwa hukum di dunia hanya hukum Allah, sedangkan yang lain seperti Pancasila dan UUD adalah hukum taghut.
Dalam buku “Mencegah Radikalisme di Lingkungan Kerja” yang diterbitkan oleh BNPT pada 2020, radikalisme sangat mungkin masuk di dunia kerja, baik di lingkungan BUMN maupun swasta. Beberapa cirinya, biasanya berpaham ekslusif, intoleran, suka menganggap salah orang lain yang beda.
Gerakannya biasanyamengadakan pertemuan-pertemuan tertutup guna menyembunyikan kegiatannya sekaligus ingin menunjukkan bahwa kegiatannya tidak perlu dilihat oleh orang lain. Puncaknya, karyawan-karyawan yang terindikasi radikalisme biasanya gemar menjelekkan dan merendah-rendahkan kinerja pemerintah, dengan alasan yang satu, tidak menerapkan sistem negara Islam (khilafah).
Secara lebih rinci dalam buku tersebut juga dijelaskan media-media yang digunakan untuk menyebarkan radikalisme di lingkungan kerja. Pertama, melalui pertemuan-pertemuan kecil (liqa‘) yang kajiannya berisi kebencian kepada pemerintah. Kedua, melalui internet yang dikampanyekan secara masif. Ketiga, media elektronik dan cetak sebagaimana koran. Keempat, dengan demonstrasi mengutuk pemerintah.
Kelima, melalui hubungan kekerabatan/perkawinan. Keenam, melalui pendidikan yang biasanya disusupi ideologi yang intoleran dan ekslusif. Dan ketujuh, dakwah yang intoleran dan suka menyalahkan orang lain yang berbeda.
Terdapat tiga langkah untuk mencegah terjadinya radikalisme di lingkungan pekerjaan baik BUMN maupun swasta. Pertama, melalui langkah pencegahan. Direksi atau melalui HRD dapat menutup akses-akses yang dapat menimbulkan tumbuhnya radikalisme. HRD juga dapat menggunakan kewenangannya untuk menutup gerak radikalisme melalui pemberhentian kerja atau yang lainnya.
Kedua, pendekatan persuasif. Tindakan ini dilakukan dengan pendekatan humanis kepada semua karyawan untuk bebas dari radikalisme. Dan ketiga, pendekatan intervensi. Pendekatan ini pendekatan terakhir, bilamana melalui peringatan dan atau persuasif tidak mempan. Itulah tindakan dan langkah-langkah dalam mencegah radikalisme di lingkungan kerja.[]
Penulis: Lufaefi, Penulis Buku Nasionalisme Qur’ani.
Artikel juga dimuat di sangkhalifah.co